Kini, setahun sudah berlalu sejak aku mulai belajar menulis dan menyelesaikan tulisan tentang masa kecilku. Selama setahun terakhir itu pula, aku baru menyadari jika kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting di atas segala-galanya ialah keberanian. Kesederhaan menuntun kita pada kebahagiaan jika kita bisa menyukurinya, sedangkan keberanian menuntun kita pada keberuntungan jika kita berani mencobanya.
Kemudian, aku tahu jika aku akan menulis cerita tentang masa mudaku yang penuh dengan kepedihan dan kesunyian; tentang Mulan dan Aulia, tentang kenikmatan dan kegembiraan; tentang teman-teman baikku, di mana mereka semua akan menjadi bagian penting dalam novel tersebut.
Aku percaya, perasaan sentimental saat duduk di bangku sekolah sering membuat orang tersenyum mengingat kenangannya, atau bahkan terharu hingga seketika tak mampu berkata-kata dan menghadapi perasaan yang sebenarnya. Dan aku menyadari, ketika SMP, aku adalah "pangeran yang pandai menyembunyikan cinta". Itu bukan sekadar julukan, melainkan memang faktanya seperti itu. Aku tidak pernah menyatakan perasaanku kepada murid-murid perempuan yang kusukai. Secara halus, mungkin bisa dikatakan "cinta tak bertuan yang naif", tetapi kalau boleh jujur, pada dasarnya tidak ada cinta semacam itu.
Jika dipikir-pikir lagi, aku memang sangat pengecut. Namun, kenangan semacam ini sulit dilupakan, karena sangat menggemaskan dan menggregetkan sekali.
Belakangan, pada saat yang bersamaan, aku sibuk menulis cerita tentang masa depanku bersama kekasih khayalanku, sambil menunggu pemberitahuan resmi dari penerbit besar di ibukota yang kukirimi naskah cerita tentang masa kecilku yang begitu indah. Setiap hari, di manapun berada, aku selalu menyempatkan diri untuk memainkan jari-jariku di atas keybord laptop atau ponsel pintarku untuk menulis cerita You Are My Flaky Pain of The Past.
Setiap cerita cinta adalah gambaran kehidupan seseorang. Namun saat aku berusaha keras mengingat dan menata kenangan masa laluku untuk dijadikan sebuah karya tulis dengan sentuhan sastra, bahasa, dan rasa, sehingga menjadi sebuah karya tulis yang indah, aku seperti merasakan sesuatu yang menyentuh perasaan di masa lalu.
Seminggu sebelum adikku terbang ke Jepang, ia mengambil kotak uang yang dulu kugunakan untuk menyisihkan sebagian kecil penghasilanku untuk membayar uang bulanan sekolahnya dan sebuah binder yang terselip di antara buku-buku pelajaran di meja belajarnya, kemudian memberikannya padaku.
Di dalam kotak itu terdapat notes yang berisi coretan-coretan nominal sebagian kecil penghasilanku dan beberapa notes yang berisi lirik-lirik lagu romantis, putus cinta, dan puisi-puisi kesedihan yang kubuat untuk Aulia, juga ada beberapa lembar kertas ukuran A5. Setiap kali aku melihat kertas ukuran tersebut, aku selalu teringat novel dan Eri Potter yang dulu pernah ditanyakan oleh Mulan. Sedangkan binder itu berisi curahan hatiku antara aku dan bu Esti tentang mimpi-mimpiku di masa depan.
Isi kotak itu tidak membuatku membenci masa lalu, justru aku merasa senang karena pernah merasakan hidup di zaman "tanpa media sosial". Aku menggunakan pulpen tebal untuk menulis semua itu, menghiasinya dengan gambar: bola, jangkar, dan bunga-bunga bermekaran, tanpa menggunakan emoticon dan embel-embel serta tetek-mbengek lainnya. Karena menggunakan pulpen, jadi aku menulisnya dengan sangat hati-hati, supaya perasaan yang tertuang juga lebih bermakna.
Namun, aku tak punya banyak waktu untuk mengenang perasaan itu. Perhatianku lebih terfokus pada binder yang kutulis untuk bu Esti.
Di binder itu, aku menulis semua rahasiaku mulai dari SMP hingga saat bersekolah kembali di SMA.
Aku tak pernah menyangka jika aku akan menggunakan perasaanku untuk menulis cerita masa laluku yang sangat menyedihkan itu secara lebih detail lagi. Saat itu aku bersumpah, seandainya karya tulisku ini berhasil menembus penerbit major, aku ingin sekali mendatangi guru-guruku dulu mulai dari SMP hingga SMA yang sangat berarti dalam hidupku, lalu menghadiahi mereka buku You Are My Flaky Pain of The Past: bu Atik yang dulu ingin menyekolahkanku, bu Ning yang pernah mendoakanku untuk menjadi seorang penulis, bu Rahma yang selalu menyemangati hari-hariku di SMA, dan bu Esti yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Kalian semua adalah guru-guru cantik yang sangat beruntung karena telah membimbing murid tampan yang baik hati dan sangat menyayangi binatang sepertiku (Kebalik, woi!).
Ketika tulisan You Are My Flaky Pain of The Past selesai, seketika itu juga air mataku mengalir tanpa henti, namun juga memberiku kehangatan yang tak ternilai harganya. Lalu, saat aku membacanya berulang kali, aku bisa tersenyum manja, geli, ngakak, cemberut, bahkan marah pada diriku sendiri. Namun, aku sangat bangga dengan karyaku ini.
Aku belum pernah menerbitkan buku, tapi aku tahu bahwa orang yang percaya pada karya tulisnya, seharusnya memiliki keyakinan yang lebih untuk bercita-cita menjadi penulis hebat, kemudian dengan setulus hati mulai menulis lagi, lagi, dan lagi sampai akhir hayatnya. Aku juga percaya kalau sebuah karya yang dapat menjadi obat hati, pelecut semangat baru, dan pikiran umat manusia lahir dari kelaparan, kekecewaan, dan penderitaan.
Sejak saat itu, tekatku untuk menulis semakin kuat, sehingga aku sudah tidak mungkin untuk mundur dan berusaha mencari jalan kesuksesanku lagi.
Dengan menulis, aku bisa memahami dan menemukan arti hidupku. Aku bisa menjabarkan banyak hal yang ingin kuekspresikan. Aku juga bisa menjadi apa pun yang aku mau; menjadi seorang pemain sepak bola hebat yang memiliki keluarga harmonis adalah impianku yang selama ini kupendam.
Akhirnya, aku memiliki impian yang nyata, dan dapat kurealisasikan tanpa menggunakan ijasah SMP-ku, yakni menjadi seorang pedagang es cendol yang suka menulis. Sejujurnya, aku percaya bahwa semua itu merupakan semacam trik; tipu muslihat yang biasa diungkapkan dengan kedipan mata. Aku menginginkan pekerjaan ini karena mungkin adalah jalan terakhirku menuju kesuksesan, dan kini aku harus bangga karena aku juga sangat mencintai pekerjaan ini; aku sangat yakin dengan karyaku, aku juga yakin dengan impianku, dan aku selalu menghayati kehidupan yang kubayangkan, maka dengan sepenuh hati aku percaya bahwa aku akan menjadi orang sukses.
Sejujurnya, ketika pertama kali belajar menulis, aku sudah memasuki usia dewasa muda: usia dimana saat kita berkembang secara imajinatif, usia saat kita banyak bereksplorasi, juga usia saat kita sedang menggebu-gebu dalam melakukan sesuatu yang kita sukai.