Namaku Rendy, Rendy Ferdiansyah. Anak dari keluarga berada tapi tidak pernah dianggap keberadaannya. Dari sebelum dilahirkan sampai akan pergi untuk selamanya pun aku tetap tidak akan dianggap.
Aku tinggal bersama kakek dan nenekku di sini, kakekku meninggal di usiaku yang masih sangat kecil. Akhirnya aku hanya tinggal bersama dengan nenekku dan dibantu oleh pamanku.
Saat aku pindah sekolah, aku menjumpai seorang gadis yang sangat cantik dan pintar. Bagi anak seusia biji kacang mungkin perasaan itu hanya perasaan main-main saja, tidak ada yang spesial. Tapi lain bagiku, aku tidak pernah main-main dengan perasaanku.
Hingga lulus sekolah dasar, aku sangat sedih karena akan berpisah dengannya. Aku sudah putus asa lagi dengan hidupku yang sudah tidak ada artinya, tapi Tuhan berkata lain dia mempertemukanku dengannya lagi di saat di sekolah menengah pertama.
Lihatlah senyumnya, dia sangat manis. Aku merasa dia adalah takdirku, hidupku akan menjadi lebih berwarna. Tapi pada saat aku mengetahui bahwa dia mencintai laki-laki lain rasanya hatiku sangat hancur, dan tidak percaya lagi dengan takdir. Dia menyukai teman sebangkuku, bahkan dia menuliskan surat cinta untuknya.
Dengan rasa kecewa aku menempelkan surat itu di mading sekolah dan dari situ dia mulai mengenalku dengan kebencian yang sangat dalam, aku senang bisa di kenal bahkan diberikan nama panggilan.
Pada akhirnya aku mulai percaya lagi dengan takdir, karena laki-laki yang dia sukai harus pergi meninggalkannya artinya laki-laki itu bukan takdirnya. Hingga di sekolah menengan atas kita masih disatukan bahkan kami dapat berkencan di akhir tahun sebelum kelulusan tiba.