"Ayah nggak berhak begini dong, ini 'kan hidupku yah."
"Iya memang hidupmu, tapi sebagai orang tua, ayah jelas punya tanggung jawab untuk mengarahkan anaknya ke hidup yang lebih baik."
Entah sudah berapa kali aku beradu argumen dengan ayah seperti ini. Enggak di kantor, di rumah bahkan di mobil seperti saat ini. Masalahnya pun selalu sama, yaitu tentang satu orang. Fahmi.
Perkenalkan sebelumnya, namaku Clara Wibisana. Anak tunggal dari pasangan Arya Wibisana dan ibuku, Tiara Tirtania. Umurku sudah menginjak duapuluh tujuh tahun dan kalian tahu sendiri, di umur segitu biasanya orang tua lebih 'cerewet' tentang masalah percintaan. Kedua orang tuaku pun sama halnya. Mereka merasa khawatir karena di umur segini aku masih belum bisa menikah layaknya wanita lain di luar sana yang umumnya sudah pada menikah. Apalagi dengan ayahku ini, orang nomor satu untuk selalu mendorongku untuk menikah.
Aku masih ingat, ketika di umur duapuluh lima tahun aku tidak henti-hentinya dijodohkan oleh teman-temannya yang mempunyai anak seumuran denganku. Namun akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan studiku dan beruntung ibu menyetujuinya hingga perlahan ayah juga merelakan anaknya kembali belajar.
Tetapi belakangan ini, aku yang sedang sibuk-sibuknya bekerja di tempat ayah yaitu PT. Buana Mendata, salah satu perusahaan di bidang jasa, selalu dipusingkan dengan keinginan ayah yang seperti dulu, yaitu meninginkan anaknya menikah. Ayah kali ini berupaya keras menjodohkanku dengan Fahmi Rinaldi, anak salah satu komisaris utama di perusahaan.
Aku akui memang, Fahmi memanglah anak yang cerdas, berwawasan tinggi, supel dan tentunya pekerja keras. Tapi, entah mengapa di dalam perasaanku ini bersikeras belum mau untuk menikah dan aku pun belum melihat diri Fahmi itu adalah jodohku.
"Kamu di kasih tahu malah diam saja!" tegas ayah yang melihatku melamun.
"Habis masalahnya itu-itu saja yah, Clara bosan."