Tepat dua hari setelah hari-hari burukku di kantor, aku di ajak ibu untuk mendatangi rumah almarhum eyang yang ada di sebuah desa terpencil. Disupiri oleh Pak Rendi, supir khusus dari kantor, aku dan ibu melepas penat dan lelah yang terbawa dari ibukota.
Sejujurnya ketika ibu mengajakku untuk menemaninya kesini, aku benar-benar bersuka cita dan menyetujuinya. Karena kalian tahu sendiri, aku butuh refreshing dari segala permasalahan yang ada. Seketika itu juga aku mendatangi ayah untuk meminta izin selama lima hari untuk tidak masuk kantor dan ayah pun menyetujuinya, walau bisa dibilang hubungan kami masih tidak begitu baik pasca insiden malam perayaan itu.
Bukan tanpa alasan ibu mengajakku ke sini, ibu mengatakan kalau ia ingin menemui Mbak Sarni dan mengajaknya untuk ke rumah, karena asisten rumah kami yang lama izin pulang ke kampungnya karena orang tuanya sedang sakit. Ibu yang beberapa hari kerepotan akan pekerjaan rumah, akhirnya terbesit untuk mengajak Mbak Sarni untuk ke rumah dan menjadi asisten rumah yang baru.
Sudah sangat lama keluargaku mengenal Mbak Sarni, karena Mbak Sarni pernah menjadi asisten kami juga ketika eyang masih hidup.
Aku punya banyak pengalaman di rumah almarhum eyang, karena aku pernah tinggal di sana hingga aku lulus sekolah dasar sampai akhirnya aku, ibu dan ayah pergi meninggalkan eyang untuk urusan pekerjaan ayah. Menghabiskan waktu enam tahun tinggal di rumah itu sangatlah mengasyikan. Masa-masa kecil yang sama sekali tidak ada beban yang memberatkanmu hingga lingkungan yang masih segar dan sejuk, berbeda jauh dengan di kota.
"Sesampainya di sana saya langsung pulang lagi atau bagaimana nyonya?" tanya Pak Rendi yang memecah keheningan.
"Pulang saja nggak apa-apa pak, kemungkinan hari Minggu kami selesai." balas ibu sambil asyik membuka berita gosip lewat handphonenya.
"Baik nyonya."
Keheningan kembali tercipta di dalam mobil ini, ibu masih sibuk dengan handphonenya, Pak Rendi yang serius menyetir, dan aku yang masih termenung melihat pemandangan luar. Benar-benar ide bagus aku bisa ikut kesini, perlahan aku mulai bisa melupakan beberapa masalahku.
***
Setelah tiga jam berkendara, tibalah kami di rumah eyang dan Mbak Sarni pun menyambut kami.
"Selamat sore nyonya." ucap Mbak Sarni sambil tersenyum kecil dan dilanjutkan dengan bersalaman.
"Sore juga mbak." balas ibu.
"Halo mbak Sarni, lama nggak jumpa ya?"
"Eh ada Non Clara, ih sekarang sudah besar ya? Makin cantik lagi."
"Ah mbak bisa aja." balasku sambil tersipu malu.
Bila diidentifikasikan, Mbak Sarni adalah seorang wanita yang kurang lebih sudah berumur empatpuluh tahun dengan badan yang kecil dan ada tahi lalat di dagunya.
"Ayo-ayo masuk dulu." ajak Mbak Sarni.
"Pak Rendi tolong ya barang bawaan kami bawa masuk dulu." ujar ibu.
"Baik nyonya."
Pak Rendi pun dengan sigap mengambil koper dan tas yang ada di bagasi mobil dan membawanya ke dalam.
***
"Tasnya sudah semua nyonya, ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Sudah kok pak, istirahat dulu aja ya pak. Lagi dibuatin minum sama Mbak Sarni."
"Oh baik nyonya."
Pak Rendi pun keluar dari rumah dan duduk di kursi teras rumah, aku dan ibu masih terkesima memandangi interior rumah ini, tidak berbeda sama sekali ketika aku menempatinya dulu.
"Mandanginnya nggak usah seperti itu kali nak." sindir ibu.
"Ih ibu, nggak ada yang beda ya dari dulu hingga sekarang." balasku sambil tersenyum kecil.
"Dasar kamu sok tahu ya." lagi-lagi ibu menyindirku.
"Ibu nggak percaya, lihat pintu ini bu. Pintu kamar ibu dan ayah dulu. Masih ada bekas coretan Clara pas kecil dulu bu, hingga akhirnya ayah mengecatnya dan diomelin sama eyang karena ayah menghambat kreasi anaknya."
Ibu tertawa kecil mendengar penjelasanku itu.
"Jadi nostalgia ya bu kalau kesini."
"Iya nak, itu coba siapa itu?" tanya ibu sambil menunjukkan jarinya ke sebuah foto yang terpasang di tembok.
"Ya jelas Clara lah, tapi versi imutnya bu."
"Bisa aja ya anak ibu, muji diri sendirinya."
Aku dan ibu tertawa lepas karena ucapan kami berdua. Momen yang hangat dan jarang aku dapatkan.
***