Hari ketiga aku berada di sini begitu betah dan bahagia. Sambil mengendarai sebuah sepeda tua yang kupinjam dari Mbak Sarni, aku menyusuri indahnya pedesaan. Cuaca yang sejuk membuatku merasa ingin tinggal lebih lama disini, tetapi kesepakatan ibu membuatku hanya akan berada di sini sampai hari Minggu. Lagipula, tidak enak juga dengan orang kantor karena aku libur terlalu lama.
Aku bersepeda bukannya tanpa tujuan, tujuanku adalah ke salah satu warung yang kata Mbak Sarni letaknya tidak jauh dari rumah. Mbak Sarni sendiri sambil dibantu ibu tengah memasak makanan untuk makan malam nanti. Sebenarnya Mbak Sarni memintaku nggak usah repot-repot pergi ke warung, namun berhubung aku yang ingin sekali menikmati hawa pedesaan, memintanya agar aku saja yang pergi ke warung.
Sebenarnya sejak tadi aku sudah menemukan warung yang dimaksud, tapi aku mencoba berkeliling desa sambil mengagumi pemandangan yang indah ini, sambil sesekali ku abadikan lewat lensa kamera handphone.
***
Puas berkeliling dan mengabadikan momen, tibalah aku di sebuah warung yang tempatnya agak tertutup oleh sebuah spanduk salah satu produk makanan ringan yang terkenal. Aku merasa tidak asing dengan warung ini, mungkin dulu aku pernah mengunjunginya. Tapi kapan? Aku pun lupa.
"Beli apa mbak?" tanya seorang wanita paruh baya dengan logatnya yang kental.
"Beli cabai bu setengah kilo saja, sama garamnya satu."
"Tunggu sebentar ya mbak."
Wanita paruh baya itu pun masuk ke dalam mungkin untuk mengambil pesanan yang aku pesan. Aku juga merasa tidak asing dengan ibu tersebut.
Tedengar suara rem sepeda yang baru datang di depan warung. Seorang pria muda, tinggi dengan rambut pendeknya turun dari sepedanya. Ia berdiri di sampingku dan terlihat ingin memesan,
"Beli... Beli..." ucap pria tersebut.
"Ibunya lagi ke dalam mas." jawabku kepada pria tersebut.
Seketika pria ini menatapku dengan tajam, hingga akhirnya ia bersuara,
"Cla.. Clara ya?"
Aku jelas heran bagaimana pria ini mengenali namaku.
"Iya, kamu Clara ya?"
"Kamu siapa?" balasku jutek.
"Aku Wendi Ra, masa nggak ingat sih?"
Perlahan aku berpikir dan mencoba mengingat-ngingat siapa pria satu ini,
"Wendi Ra. Blok G. Masa nggak ingat sih?" ucap pria itu dengan semangat.
"Hmm.. Blok G ya?"
"Iya Ra, blok G."
Aku mencoba menguras pikiranku untuk mengingat pria ini. Walau samar, aku teringat akan sesuatu. Semalam ketika aku membuka album foto, Mbak Sarni menunjuk ke salah seorang anak kecil yang menurutku ganteng untuk seumurannya dan Mbak Sarni memanggilnya dengan sebutan Wendi.
Mungkin Wendi ini yang Mbak Sarni maksudkan.
"Oh... Iya, iya. Wendi! Wendi! Apa kabar?"
Dengan masih meraba-raba, aku akhirnya masuk pembicaraan dengan Wendi."
"Baik Ra, kamu bagaimana?"
"Sehat kok Wen. Sehat." jawabku sambil menyalaminya.
Entah mengapa pandanganku tiba-tiba terpaku padanya cukup lama. Bila kugambarkan, Wendi ini adalah pria dengan tinggi mungkin sekitar 170 senti, dengan rambut pendek dan kumis tipisnya. Bisa kukatakan wajahnya tidak berubah sama sekali, masih ganteng seperti dulu. Ah bicara apa aku ini? Dasar...
"Tumben kamu di sini Ra?" tanya Wendi.
"Iya Wen, soalnya lagi..."
Belum selesai aku menjawab pertanyaannya, ibu penjual memberikan pesanan kepadaku.
"Ini mbak, Cabai setengah kilo, sama garamnya."
Belum sempat membalas ucapan ibu itu, Wendi tiba-tiba memotongnya.
"Bu, ini Clara bu. Clara!"
Ibu penjual itu terdiam mendengar Wendi sambil membuka kacamatanya dan melihatku dari dekat. Aku bingung, apa yang terjadi disini?