"Oh iya, iya. Tante inget."
Ternyata janji Wendi untuk bertemu denganku bukanlah bualan semata. Pagi-pagi sekali ia mendatangi rumahku dan mengejutkan aku, ibu dan Mbak Sarni yang sedang sibuk membersihkan halaman. Ibu jelas tidak mengenalnya, hingga akhirnya aku suruh dia masuk dan hingga saat ini ibu dan Wendi masih asyik berbincang-bincang.
Baru saja Wendi bercerita tentang kejadian diriku yang kecebur di kolam.
"Akhirnya ada yang buat tante inget." ucap Wendi yang berulang kali bercerita tentang beberapa kejadian masa kecil aku dan Wendi.
"Tante itu sebenarnya ingat nak Wendi, cuma pangling aja ya. Sudah pada besar soalnya." balas ibu.
"Ibu itu ngeles terus." sindirku sambil tertawa.
Ibu hanya melempar senyum padaku dan terus berbicang ke Wendi.
"Orang tuamu ajak sini nak Wendi."
"Sebenarnya saya pengen tante, cuma ibu lagi sibuk ngawas ujian. Sementara ayah sudah meninggal."
Ternyata benar apa yang Mbak Sarni bilang. Ayahnya telah meninggal.
"Maaf ya nak Wendi, tante nggak tahu. Tante ikut berbelasungkawa ya nak." balas ibu pelan.
"Gak apa-apa kok tante, tante juga kan baru ke sini lagi." jawab Wendi.
"Iya nak Wendi. Oh iya, silahkan di minum dulu tehnya."
Wendi pun langsung meminum teh yang tidak sengaja kubuat lantaran Mbak Sarni masih sibuk membersihkan halaman.
"Disini sampai kapan tante?" tanya Wendi yang selesai meminum tehnya.
"Sampai besok nak Wendi."
"Cepat sekali ya tante?"
"Ya begitulah nak Wendi, soalnya urusan di kantor masih banyak. Oh iya, nak Wendi nggak kerja?"
Aku cukup sungkan ketika ibu bertanya seperti itu, namun terlihat Wendi rupanya tidak masalah dengan hal itu.
"Wendi baru ke terima kerja tante. Kemungkinan hari Senin Wendi mulai ngantor."
"Oh begitu, jabatan apa nak?"
"Ehm... asisten manajer tante." jawab Wendi sungkan.
"Hebat sekali nak, di perusahaan mana?"
Aku coba menghentikan percakapan ibu ini. Aku merasa ibu telah masuk dalam kehidupan Wendi begitu dalam.
"Mungkin cukup ma pertanyaannya. Ngomong-ngomong, pagi-pagi ke sini ada apa Wen?" Tanyaku.
"Sebenarnya mau ngajak kamu sarapan Ra." Balas Wendi pelan.
"Ya sudah deh, ayo kalau gitu."
Seketika, Wendi langsung meminta izin kepada ibu.
"Gimana tante? Boleh saya ajak Clara?"
"Nggak apa-apa. Silahkan, hati-hati ya."
Aku langsung mencium tangan ibu begitu pula dengan Wendi. Kami pun bergegas menaiki sepeda Wendi yang ternyata ada kursi tambahannya.
***
Kami asyik menyantap nasi uduk dan juga segelas teh hangat yang benar-benar membuat sarapan terakhirku di sini berbeda dari biasanya.
"Maafin ibuku ya Wen." ucapku.
"Maafin? Maafin kenapa Ra?" tanya Wendi sambil mengunyah kerupuk.
"Ya tadi, nanya-nanya gitu."
"Ah, biasa itu Ra, mungkin karena kita nggak pernah ketemu aja soalnya."
"Nggak Wen, ibuku terlalu nanya hal-hal personal ke kamu."
Seketika Wendi menghentikan sarapannya.
"Oh yang itu. Nggak usah dipikir lah Ra, aku santai kok."
"Iya kamu sih santai, aku ngerasanya kayak berlebihan aja gitu."
"Udah ah Ra, nggak apa-apa lagi. Udah terusin makannya."
Wendi melemparkan senyum kepadaku dan aku pun langung melanjutkan sarapanku yang terhenti tadi.
"Lagian, ibu kamu asyik kok orangnya. Tapi sayang..."
"Sayang kenapa Wen?" tanyaku pelan.