Tidak terasa, inilah hari terakhir aku berada di desa ini, tepatnya di rumah almarhum eyang. Rumah ini akan ditinggalkan kosong untuk sementara waktu hingga ada keputusan dari keluarga besar. Untuk itu sedari malam, aku telah membawa beberapa barang yang sangat membekas untuk hidupku dan orang tuaku.
"Oh sebentar lagi ya pak? Oke pak, kami sudah siap ya pak. Terima kasih." ucap ibu yang menutup sambungan telepon dengan Pak Rendi.
"Sudah dimana nyonya?" tanya Mbak Sarni.
"Sebentar lagi, Kejebak macet di pasar katanya."
"Oh iya nyonya, mungkin memang hari Minggu juga, ada pasar tumpah." jawab Mbak Sarni.
Aku, ibu dan Mbak Sarni sudah siap menunggu kedatangan Pak Rendi sambil duduk di kursi teras rumah. Ibu terlihat menyibukkan diri dengan handphonenya, Mbak Sarni terlihat masih berat untuk berpisah dengan rumah ini dan aku masih terdiam karena merasa berat juga meninggalkan pengalaman di sini. Khusunya pengalaman bersama Wendi, Wendi sendiri sudah berangkat malam kemarin menggunakan bus. Aku awalnya ingin mengajaknya berangkat bersama, namun Wendi menolak dengan alasan ia berangkat dengan temannya. Mungkin bukan waktunya dan kami pun belum berpacaran juga... Setidaknya.
***
Pak Rendi telah tiba dan kami pun bergegas untuk memasukkan barang masing-masing di bantu Pak Rendi.
"Mbak Sarni, cek lagi ya sekitar rumah." ujar ibu.
"Baik nyonya."
Mbak Sarni pun berkeliling untuk mengecek kondisi sekitar rumah dan mengecek setiap saklar lampu dan kondisi keran air yang harus mati dan tertutup.
Ketika kami telah siap dan bergegas masuk ke dalam mobil, seorang ibu-ibu terlihat masuk ke dalam halaman rumah.
"Siapa itu?" tanya ibu.
"Coba saya datangi nyonya." jawab Mbak Sarni.
"Saya temanin mbak." ucapku yang seperti tidak asing mengenal ibu-ibu itu.
Aku dan mbak Sarni pun mendatangi ibu-ibu paruh baya itu, rupanya itu ibu Yani. Ibu-ibu yang berjualan di warung yang tidak jauh dari rumah.
Mbak Sarni dan Ibu Yani berbincang-bincang dengan Bahasa Jawa yang tidak aku pahami, hingga akhirnya Ibu Yani berbincang padaku dan memberiku sebuah bungkusan.
"Iki mbak Clara, ada titipan."
Aku menerima titipan itu dengan perasaan keheranan. Titipan ini terasa dingin, dingin sekali. Aku yang penasaran, langsung ku buka titipan ini.
"Ih Es Mambo, kesukaan Clara." jawabku yang kegirangan.
"Iya mbak, kata Mas Wendi di makannya jangan sampai ketahuan ibumu, entar dimarahi." balas Ibu Yani.
"Ah ibu bisa aja. Berapa semuanya bu?"
"Nggak usah mbak, ini dari Mas Wendi."