Aku sudah bersiap dengan pakaian rapi seperti biasa yang ku kenakan ke kantor dipagi buta ini. Sengaja aku bersiap lebih pagi dari biasanya. Hanya agar tidak berjumpa dengan keluarga pagi ini. Ya, aku menghindar. Agar aku dapat menenangkan fikiranku.
Aku menuruni anak tangga untuk bergegas pergi sebelum keluargaku terbangun. Namun, tidak biasa lampu di ruangan tengah ini belum menyala. Biasanya jika adzan subuh sudah berkumandang seperti saat ini Bunda sudah bangun. Ah, biarkan saja.
Mobil Jazz berwarna merah sudah ku naiki. Aku memasangkan sabuk pengaman dan langsung ku lesatkan membelah jalanan Kota Bandung.
Jalanan masih sepi hanya beberapa orang saja setianya berjalan memakai sandal jepit dengan baju koko yang dipadankan sarung berkesiap menuju masjid karna adzan subuh sudah berkumandang. Sepinya jalan membawamu hanyut dalam fikiranku.
Air mata nyaris lolos membasahi pipiku. Nyeri di pipi masih terasa oleh ku karna ayah yang dengan tega menamparku semalam.
Ck, Ayah tega menamparku. Gumanku dengan air mata yang terus menetes.
Aku terus melajukan mobilku. Yang ada di fikiranku hanyalah agar aku cepat sampai di kantor, agar aku bisa menenangkan diri disana. Dengan parkiran yang maish sepi, mobil jazz berwarna merah memasuki sebuah parkiran gedung bertingkat.
Meraih tas yang ku letakkan disamping kursi kemudi. Membuka pintu mobil, bergegas keluar dari sana.
"Pagi sekali mba berangkatnya?" Aku tersentak kaget saat seseorang berdiri dibelakangku.
"Ya pak, sengaja soalnya mau ada jumpa klien pagi ini."
Bapak tersebut hanya mengangguk. Ia adalah penjaga di kantor ini. Ia juga tinggal di sebuah rumah kecil yang berada di belakang kantor. Wajar saja jika di pagi seperti ini sudah berkeliaran di kantor ini, karna ia yang di tugas membersihkan kantor sebelum pekerja hadir setiap harinya.
Aku mengambil posisi duduk di meja kerjaku. Membuka map yang berisi pengajuan properti. Menyibukan diri adalah alasan yang tepat buatku. Berusaha melupakan kesedihan yang ku rasa lebih baik ku simpan dalam hati saja. Walaupun begitu mata sembab karna semalaman menangis tak dapat ku tutupi lagi diwajahku.
"Pagi sekali Fa?" Kembali Aku terkejut di buatnya. Suara yang tak asing lagi di telingaku. Yaitu orang yang selalu memahami ku . Antonius.
"Iya." anggukan mengiringiku.
Antonius langsung menduduki kursi yang tepat dihadapan meja Aldira. "Usah sarapan?"
Aku menggeleng.
"Sarapan yuk?" Ajaknya. Antonius langsung menutup map yang sedari tadi membuatnya cemburu, karna segala perhatianku tercurah pada benda tersebut.
Drett. Drett.
Langkahku sedikit terhenti. Menatap ponsel yang ku genggam berdering menandakan ada seseorang menelponku.
Naura adikku.
Aku langsung memutuskan sambungan telepon tersebut. Dan tak berniat untuk mengangkatnya. Aku butuh menetralkan kembali sakit hatiku.