You Can Tell Me

Lilian
Chapter #7

Place And People

Seminggu berlalu. Semua urusan perusahaan sudah selesai. Rekan kerjaku yang lain memilih untuk naik gunung, termasuk Ryan. Aku sendiri memilih untuk pulang lebih awal. Namun, aku berubah pikiran. Aku memilih untuk menemui Mira, teman masa kecilku. Aku ingin meminta maaf kepadanya karena pergi tanpa kabar. Mungkin aku tidak akan pernah kembali ke kota ini. Jadi, aku ingin memberikan salam perpisahan yang layak. Aku mengetahui hal itu sangat telat. Namun, setidaknya aku berusaha meminta maaf. 

Sekitar jam 10 pagi, aku mengunjungi rumah Mira. Ternyata dia masih tinggal di rumah yang sama. Aku mengetahui itu dari pengurus rumah lamaku. Aku sedikit gugup untuk memencet bel rumah Mira. Kami sudah tidak berbicara selama bertahun-tahun. Suasana pasti akan terasa canggung. Namun, aku memberanikan diri untuk memencet bel rumah itu. 

Pintu rumah terbuka. “Ah, Alexa. Apa yang kamu lakukan di rumahku?” tanya Mira. 

“Aku ingin berbicara dengan kamu. Apa kamu sibuk?” jawabku sambil tersenyum tipis. 

Mira mengizinkan aku masuk ke dalam rumahnya. Dia mempersilahkan aku duduk diruang tamu. Aku duduk di sofa yang nyaman. Mira menyuruhku menunggu sebentar, dan membuatkan teh hangat. Setelah tehnya jadi, dia memberi teh itu kepadaku. Mira duduk di hadapanku. Aku menyadari saat menunggu, rumah Mira dipenuhi dengan foto keluarganya. Dia sudah memiliki anak. 

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Mira yang membuatku berhenti memandangi foto keluarganya. 

“Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku ingin pulang hari ini, dan mungkin aku tidak akan mengunjungi tempat ini lagi. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal karena aku belum mengucapkan hal itu. Saat aku pergi aku tidak mengabari. Aku merasa bersalah,” jawabku dengan nada canggung. 

Mira tertawa kecil. “Kamu tidak perlu merasa bersalah. Aku tahu saat itu keluarga kamu sedang berantakan. Aku hanya merasa sedih saat kamu tidak menghubungi aku. Namun, itu sudah sangat lama.”

“Aku minta maaf. Aku kira kamu marah.”

“Aku sempat marah, tapi aku sudah memaafkan kamu. Lagi pula, itu sudah lama sekali,” ucap Mira sambil tertawa kecil. “Sudah, ah. Jangan membicarakan hal yang sudah lama. Aku ingin mendengar kabar dari kamu. Kamu terlihat sangat berbeda saat kita bertemu di minimarket. Aku bahkan tidak mengenali kamu.” 

“Kamu juga. Aku sempat tidak mengenali kamu saat kamu menyapa aku,” balasku yang merasa sedikit malu. “Aku menyadari kamu sudah menikah. Aku tidak menyangka.”

“Ya. Aku menikah 5 tahun yang lalu. Sekarang aku memiliki satu anak perempuan. Kamu sendiri. Apa kamu sudah menikah atau kamu fokus dengan kariermu?” tanya Mira dengan nada menggoda.

“Berhentilah. Aku belum menikah, aku masih fokus dengan pekerjaanku. Namun, aku sedang dekat dengan satu pria,” jawabku dengan malu-malu. 

Mira tertawa mendengar itu. “Rasanya senang sekali bisa berbicara dengan teman terbaikku. Kamu harus memberikan nomor kamu, agar aku bisa menghubungi kamu.”

“Tentu saja.”

“Oh, ya. Apa kamu masih berhubungan dengan Fiona?” 

Aku hampir lupa dengan Fiona. Dia salah satu temanku dan Mira. Namun, Fiona pindah saat berusia 13 tahun. Setahun sebelum aku pindah. Sejujurnya, aku dan Fiona tidak terlalu dekat. Fiona hanya dekat dengan Mira. Saat Fiona pindah, aku dan Mira masih sering mengontaknya. Sekedar bertukar kabar. Namun, saat aku pindah aku hilang kontak dengan Fiona. Aku tidak menduga Mira masih berhubungan dengan Fiona. 

“Tidak. Pasti kamu masih berhubungan dengan dia,” ucapku dengan canggung.

“Masih. Namun, dia menjadi berbeda. Aku menyadari itu saat dia datang ke pernikahanku. Jadi, sekarang kami jarang berbicara. Aku kira kalian masih bertukar kabar. Fiona juga ingin kembali setelah lama tinggal di luar negeri.”

“Apa dia tinggal di luar negeri?”

“Iya. Katanya dia akan berkunjung bulan ini. Namun, dia tidak akan datang ke kota ini. Aku rasa dia datang ke kota pusat perusahaan ayahmu. Kalau aku tidak salah. Aku berniat berkunjung saat dia sudah datang.” 

“Apa aku boleh meminta nomornya? Aku sedikit merindukan dia.” 

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ryan meneleponku. Bukannya dia sedang berada di gunung, harusnya sinyal di sana tidak ada. Aku langsung keluar dari ruang tamu, dan mengangkat panggilan itu. Aku bisa mendengar napas Ryan melalui ponselku. Napasnya terdengar seperti dia habis dikejar beruang. Aku merasa bingung. Aku kira Ryan akan bersenang-senang mendaki gunung bersama yang lain. 

“Syukurlah kamu mengangkat teleponku! Apa kamu sudah pergi? Kalau belum, tolong jemput aku. Aku sudah tahan. Ternyata mendaki gunung itu tidak enak. Tubuhku berubah menjadi merah karena aku gatal-gatal. Lalu, aku digigit nyamuk. Belum lagi kakiku hampir terkilir karena jalan yang berbelit. Aku tidak kuat dan turun saat setengah perjalanan. Jadi, apa kamu bisa menjemputku?” 

Lihat selengkapnya