You Can Tell Me

Lilian
Chapter #8

I Am Afraid

Aku tidak tahu harus merasa senang atau khawatir. Terkadang aku takut hal yang sama akan terjadi lagi. Itu hanya pikiran burukku, tetapi aku tetap takut. Sejauh ini, belum ada wanita yang benar-benar mengerti dan menerima diriku. Terkadang aku tidak percaya, jika ada orang yang mengerti diriku. Hal itu terdengar sangat mustahil. Mungkin itu alasan aku berbohong kepada Alexa. Aku tidak suka berbohong kepadanya. Namun, itu demi kebaikanku. Aku takut dia tidak akan memahami diriku. 

Setidaknya berada di dekatnya membuatku bahagia. Namun, ada satu orang yang tidak menyukai hubungan aku dan Alexa. Siapa lagi kalau bukan ayahku. Ayahku terus-menerus mengatakan Alexa perawan tua dan hal yang tidak pantas lainnya. Entah mengapa, hal itu membuatku marah. Dia menghina Alexa dengan begitu enteng. Tentu saja, aku tidak memberitahu Alexa tentang semua itu. Aku tidak ingin Alexa sakit hati. Namun, aku masih tetap kesal. Sudah 3 bulan berlalu dan ayahku masih memprotes hal yang sama.

“Jadi, bagaimana? Apa kamu suka konsepnya?” tanya Alexa kepadaku. Alexa datang ke kantorku untuk membahas pekerjaan. Namun, aku tidak bisa fokus. Alexa duduk di sampingku, itu yang membuatku tidak fokus. Dia terlihat sangat cantik hari ini. “Ryan! Apa kamu mendengarkan aku?!” tanya Alexa dengan nada tinggi.

“Iya, aku mendengarkan. Aku rasa itu adalah konsep yang bagus. Kamu memang yang terbaik,” pujiku agar Alexa tidak marah. “Apa ayah kamu sudah menyetujui hal ini?” 

“Ya. Aku hanya perlu persetujuan kamu,” ucap Alexa sambil memasukkan dokumen ke dalam tasnya. “Ayahku bilang dia akan menemui kamu besok. Aku rasa aku sudah bilang kepada sekretaris kamu. Ayahku ingin membicarakan lebih lanjut, jika kamu setuju. Lalu—” 

“Apa kamu ingin makan siang bersama?” aku menyela ucapan Alexa. Aku bisa membicarakan hal itu langsung kepada sekretarisku.

“Apa kamu bertanya sebagai pacarku atau bosku?” tanya Alexa dengan nada menggoda. 

“Sebagai pacarmu,” jawabku sambil tersenyum. “Aku tidak punya banyak waktu. Jadi, apa kamu mau?” 

“Tentu saja mau! Siapa yang akan menolak makanan? Lagi pula, aku belum makan dari pagi,” ucap Alexa sambil tertawa kecil. 

“Kamu terlihat sangat cantik hari ini,” pujiku yang membuat wajah Alexa memerah.

“Sudah, ah. Ayo pergi!” ucap Alexa yang langsung bangun dari duduknya. 

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Sekretarisku masuk dengan ekspresi yang tidak mengenakan. Seketika aku merasa ada hal yang tidak beres. “Maaf mengganggu, Tuan. Namun, ayah Anda meminta bertemu dengan Anda.” Tentu saja, meminta sama dengan memaksa. Aku ingin menolak kedatangan ayahku. Namun, ayahku tidak suka menerima penolakan. Aku hanya tidak ingin ayahku bertemu dengan Alexa. Aku tidak ingin menyakiti hati Alexa. 

Aku meminta Alexa menunggu di dalam ruanganku. Aku akan berbicara dengan ayahku di luar. Alexa terlihat curiga saat aku memintanya menunggu di dalam. Aku tidak peduli dengan hal itu. Aku hanya ingin ayahku pergi, sebelum dia menghina Alexa dan menyakiti hatinya. Aku akan mengusir ayahku secepat mungkin. Aku lelah bertengkar dengan ayahku setiap kali kami bertemu. 

“Papa, apa yang Papa lakukan di sini? Aku sedang sangat sibuk,” ucapku dengan penuh kebohongan. 

“Siapa yang berada di dalam ruangan kamu? Apa Papa tidak boleh masuk?” tanya ayahku yang membuatku panik. 

“Klien yang penting. Jika Papa masuk, itu akan terdengar sangat tidak profesional. Jadi, apa yang Papa mau?” jawabku dengan nada panik. 

“Apa kamu menemui si perawan tua itu?” 

“Tidak! Tolong berhenti memanggilnya perawan tua.” 

“Sudah Papa bilang berkali-kali, jangan berhubungan dengan dia. Apa kamu tidak tahu ibunya tukang selingkuh? Bisa saja dia sama dengan ibunya. Kamu tidak tahu dia melakukan apa saja di belakang kamu. Dia bekerja dan pergi ke sana kemari. Apa kamu tidak curiga? Ayah yakin dia tidak ingin memiliki anak. Dia terlalu bangga dengan pekerjaannya.”

“Berhentilah membicarakan Alexa! Aku tidak suka itu. Aku adalah orang dewasa dan aku mampu membuat keputusanku sendiri.”

 “Kamu selalu membicarakan bagaimana kamu takut ini dan itu. Tidak lupa kamu berbohong tentang hal yang benar-benar aneh. Mana mungkin seorang wanita bisa melakukan hal itu. Kamu hanya mencari alasan agar putus dengan gadis yang Papa yakin cocok dengan kamu.” 

“Jangan membahas hal itu! Aku sudah muak!”

Semua ini terdengar sangat bodoh. Setelah bertahun-tahun ayahku masih mengira aku berbohong. Aku tidak mungkin berbohong tentang hal seperti itu. Aku tidak seputus asa itu. Rasanya sakit karena ayahku sendiri tidak percaya kepadaku. Betapa bodohnya aku berharap ayahku percaya tentang kejadian. Apa yang sebenarnya aku harapkan? Ayahku bukanlah orang yang mengerti aku. Aku lelah membahas hal yang sama setiap kali kami bertengkar. Aku tidak peduli ayahku percaya atau tidak. Namun, aku sakit hati mendengar dia mengecap aku sebagai pembohong. 

Setelah bertengkar selama beberapa menit. Akhirnya ayahku menyampaikan saran tentang proyek baru perusahaan. Saran yang dia berikan di akhir argumen kami. Mengapa dia tidak mengatakan sejak awal. Itu sungguh menyebalkan. Setelah menyampaikan sarannya, ayahku langsung pergi begitu saja. Akhirnya aku bisa kembali kepada Alexa. Saat aku membuka pintu ruanganku. Alexa berada tidak jauh dari pintu. Ekspresinya terlihat sedih. Aku rasa dia mendengar semua ucapan ayahku.

***

Lihat selengkapnya