Aku selalu mengatakan kepada ayahku, bahwa aku akan memilih pasangan yang tepat. Namun, tidak ada yang bisa menjamin hal itu. Aku tidak bisa mengontrol segala hal dalam hidupku. Aku hanya berharap, aku tidak mengalami apa yang ayahku alami. Hanya itu harapanku. Aku akan terdengar tidak bersyukur, jika meminta lebih. Namun, aku hanya ingin memiliki pasangan yang setia. Oleh karena itu, Ryan adalah segala impianku di dalam pria. Dia adalah orang yang rumit, tetapi aku bisa mengertinya.
Namun, semua perasaan itu berubah menjadi rasa cemas. Mira meminta untuk bertemu denganku. Berdua saja. Dia ingin membicarakan suatu hal yang berkaitan dengan Ryan. Mira meneleponku dengan suara yang gugup, seakan dia mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu. Aku hanya bisa membayang hal terburuk dari semua itu. Apa Ryan menyembunyikan sesuatu dariku? Apa yang sebenarnya terjadi saat aku tidak bersamanya.
“Alexa ... maaf mengganggu kamu di jam kerja seperti ini,” ucap Mira saat sampai di ruanganku.
“Ah, tidak apa. Ini sudah jam makan siang, kok. Kamu tidak perlu khawatir,” balasku sambil tersenyum tipis. “Ayo, duduk. Jangan berdiri terus.” Mira pun duduk di hadapanku. Jujur, aku semakin takut karena wajah Mira terlihat begitu tegang. Seribu satu kemungkinan sudah terjadi di kepalaku. Namun, aku tidak boleh langsung berasumsi.
“Sebenarnya hari ini aku dan keluargaku ingin pulang. Namun, semalaman aku terus memikirkan kamu. Aku baru memberitahu ini karena suamiku baru mengatakan hal ini. Aku harap kamu tidak marah,” ucap Mira dengan ragu-ragu.
Aku langsung menatap Mira dengan begitu serius. “Memangnya, apa yang ingin kamu bicara? Kamu terlihat serius sekali.” Aku benar-benar berharap itu bukanlah hal buruk. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada aku dan Ryan.
“Apa kamu ingat Minggu lalu saat kita berkumpul bersama Fiona? Aku pulang lebih dulu bersama suamiku karena anakku tiba-tiba sakit. Sebelum pulang, suamiku pergi ke toilet dan ... suamiku tidak sengaja mendengar percakapan Ryan dan seorang wanita. Aku tahu hal itu aneh, mana mungkin seorang wanita berada di toilet laki-laki. Namun, suamiku tidak salah dengar.”
“Memangnya, Apa yang Ryan bicarakan dengan wanita itu?” tanyaku yang semakin takut.
“Mereka bertengkar. Wanita itu adalah ... Fiona. Aku rasa ada masalah yang belum selesai antara mereka berdua.”
Aku terdiam sejenak. Tidak mungkin itu benar. “Bagaimana suami kamu yakin itu Fiona?”
“Suaranya, dan suamiku melihat Fiona ditegur staf karena masuk toilet laki-laki. Aku tidak bermaksud mengurusi masalah pribadi kamu. Namun, aku hanya ingin memberitahu kamu karena aku merasa ada yang tidak beres. Bagaimanapun juga, kita masih berteman.”
Ryan tidak pernah membahas tentang Fiona setelah malam itu. Ryan bahkan tidak pernah menceritakan masa mudanya, di mana Fiona berada di dalamnya. Ryan merupakan lelaki yang tertutup. Aku selalu mengira hal itu karena ayahnya. Ryan selalu menceritakan tekanan yang ayahnya berikan. Ryan selalu memusatkan trauma masa lalunya kepada ayahnya. Tidak ada orang lain, selain ayahnya. Mengapa secara tiba-tiba hubungan Ryan dan Fiona terlihat mencurigakan.
“Alexa ... apa kamu baik-baik saja?” tanya Mira yang terlihat khawatir.
“Iya ... aku rasa aku baik-baik saja. Lebih baik kamu pulang. Pasti keluarga kamu menunggu kamu,” jawabku yang berusaha menahan semuanya. Aku tidak ingin berburuk sangka.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungan aku. Aku harap semuanya baik-baik saja.”
Aku juga berharap seperti itu, dan semua ini hanya kesalahpahaman. Sungguh tidak lucu, jika Ryan merahasiakan hal seperti itu dariku. Aku mengetahui, aku adalah orang baru dalam hidupnya. Namun, ada suatu hal yang membuatku takut. Aku takut, Ryan berbohong kepadaku. Entah mengapa, aku merasa seperti itu. Ryan mengetahui aku tidak suka kebohongan. Tidak mungkin dia berbohong kepadaku.
***
Setelah pembicaraanku dengan Mira. Aku merasa tidak tenang. Aku tidak bisa berhenti berasumsi tentang segala hal. Hari ini aku bertemu dengan Ryan, dalam rapat perusahaan. Belakangan ini Ryan memang sibuk terus-menerus, hingga kami jarang bertemu dan hanya bertemu saat rapat. Setelah rapat selesai, Ryan sibuk berbasa-basi dengan klien kami. Entah mengapa, perasaanku semakin tidak enak.
Setelah klien itu pergi, tersisa aku dan Ryan dalam ruang rapat. Ryan menatapku dengan tatapan penuh rindu. Aku juga merindukannya selama kami tidak bertemu. “Jadi, apa kamu merindukan aku?” tanya Ryan yang membuatku tertawa kecil. Dia bertanya dengan begitu polos, seakan aku masih sedikit menyukainya.
“Apa perlu aku jawab? Tentu saja, tidak. Untuk apa merindukan kamu,” candaku yang membuat Ryan tertawa.
“Alexa ... aku tidak bisa lama-lama. Aku ada pekerjaan lagi. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak melupakan aku,” ucap Ryan yang membuatku tersenyum. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat. Apa kamu sakit?”
“Tidak, hanya sedikit lelah.”
Belum sempat aku bertanya. Tiba-tiba, sekretaris Ryan masuk ke dalam ruang rapat. Wajahnya terlihat khawatir. “Maaf mengganggu, Tuan. Namun, wanita itu datang lagi. Dia memaksa untuk bertemu Tuan.” Aku merasa bingung mendengar itu. Siapa wanita yang dia maksud. Dia mengatakan hal itu seakan Ryan akan marah besar kepadanya.