Tenggelam di dalam kesedihan, merupakan hal yang menyakitkan. Pikiranku tidak bisa berhenti berpikir tentang hal buruk. Hal buruk, hal menyedihkan pasti terjadi. Namun, aku tidak menduga hal itu datang dari orang yang aku cintai. Ryan, menghabiskan waktu bersamanya begitu membahagiakan. Sayang hal itu harus berakhir. Sebulan berlalu, setelah hubungan kami berakhir. Aku jarang bertemu dengannya.
Namun, Ryan maupun diriku tidak memberitahu siapa pun tentang hubungan kami yang berakhir. Aku menunggu Ryan melakukan hal itu, tetapi dia tidak melakukannya. Ibunya bahkan masih sering menghubungiku, seakan tidak terjadi apa-apa. Aku bisa saja mengatakan aku dan Ryan sudah putus. Namun, aku rasa aku tidak berhak. Entah bagaimana, aku malah menerima ajakan ibunya untuk makan malam bersama. Betapa bodohnya diriku.
“Alexa, mengapa kamu melamun?” tanya ibunya Ryan.
“Ah, tidak. Aku melihat kebun Tante yang begitu cantik. Aku sangat iri,” jawabku yang masih memandangi halaman belakang yang begitu indah. Satu hal yang aku sukai dari ibunya Ryan, yaitu kebunnya yang begitu indah. “Omong-omong, apa yang lain masih lama?” Pertanyaan itu tertuju untuk kakak-kakaknya Ryan yang tidak pernah aku temui.
“Ah, paling bentar lagi. Mereka selalu saja terlambat. Setiap Minggu, Tante mengadakan acara makan-makan sederhana bersama anak-anak Tante, kecuali Ryan. Dia tidak pernah ingin ikut. Sebagai pengganti Ryan, lebih baik kamu ikut,” ucapnya lalu tertawa kecil.
“Ah, aku jadi merasa seperti anak Tante.” Aku tersipu mendengar itu. “Mengapa Ryan tidak ingin datang? Apa mereka tidak akur?”
“Ya. Mungkin karena dia anak lelaki satu-satunya. Hubungan mereka sangat rumit, Tante sampai pusing. Mereka selalu saja bertengkar. Memusingkan,” jawabnya sambil merapikan piring di meja makan.
Aku langsung menghampirinya. “Ah, sini biar aku bantu.” Aku langsung membantu ibunya Ryan menata meja makan. Aku terharu melihatnya bersusah payah memasak dan melakukan ini semua untuk anak-anaknya. Wajar saja Ryan selalu membanggakan ibunya. Terkadang aku tidak mengerti mengapa Ryan selalu melakukan itu. Namun, sekarang aku mengerti.
“Perlu kamu tahu, Tante sangat bersyukur kamu berpacaran dengan Ryan,” ucapnya setelah selesai merapikan meja. “Kamu membuat Ryan bahagia. Tante bisa melihat itu. Kamu mengeluarkan sisi baik dari Ryan yang jarang Tante lihat. Pokoknya kalian sempurna. Tante harap kamu juga bahagia bersama Ryan.”
Aku terdiam mendengar itu. Aku akan senang mendengar itu, jika Ryan masih bersamaku. Namun, sekarang terasa aneh mendengar itu. Wajar saja, kami terlihat baik-baik saja selama ini. Tiba-tiba suatu hal yang tidak jelas membuat kami berpisah. Pasti ada suatu hal yang Ryan sembunyikan. Namun, mengapa dia sangat menjaga hal itu. Aku bahkan tidak bisa mengetahui itu.
“Sebenarnya ...,” belum selesai aku berbicara. Tiba-tiba bel berbunyi. Ibunya Ryan langsung bergegas untuk menyambut anak-anaknya. Lalu, aku tidak sempat mengatakan bahwa aku dan Ryan sudah putus. Lebih baik aku pikirkan hal itu nanti. Lagi pula Ryan tidak datang, jadi aku tidak perlu khawatir.
***
Selama makan malam, ibu dan kakak-kakaknya Ryan bercerita banyak hal. Bisa dikatakan kakak-kakaknya Ryan merupakan orang yang lumayan baik. Mereka tidak seburuk yang aku kira. Mungkin terkadang mereka menjelekkan Ryan. Aku hanya diam dan tidak mengeruhkan suasana, walau aku ingin membela Ryan. Selain hal itu, kami hanya berbasa-basi. Semua berjalan dengan lancar sejauh ini.
Setelah selesai makan malam. Aku dan lain membantu membersihkan meja makan. Namun, tiba-tiba suara bel berbunyi. Ibunya Ryan langsung bergegas pergi untuk membuka pintu. Seketika suasana menjadi hening. Hanya ada aku dan kakak-kakaknya Ryan. Aku merasa sedikit canggung karena baru mengenal mereka. Selain itu, aku tidak memiliki topik pembicaraan. Rasanya aku ingin cepat pulang.
“Omong-omong, Alexa. Aku ingin bertanya. Bagaimana rasanya menjadi pacarnya Ryan?” pernyataan itu keluar dari salah satu kakaknya Ryan secara tiba-tiba.
Aku terpaksa menjawabnya, agar tidak terkesan tidak sopan. “Biasa saja. Ryan adalah pria yang baik. Seperti pria pada umumnya,” jawabku dengan nada canggung.
Mereka langsung melihat satu sama lain. “Apa kamu bercanda? Kamu tidak menganggap Ryan aneh atau apa pun. Bukan ingin menjelekkan Ryan. Namun, semua mantannya menganggapnya aneh.”
“Tidak. Ryan bersikap seperti pria normal lainnya. Tidak ada yang aneh darinya.” Entah mengapa, perasaanku terasa tidak enak.
“Namun, kamu tidak terobsesi dengan Ryan, bukan. Seperti mantan pacarnya waktu sekolah. Siapa, ya? Aku lupa namanya.”