You Can Tell Me

Lilian
Chapter #13

Will I Be Happy?

Semua terasa tidak adil. Aku selalu menyalahkan diriku karena aku pengecut dan penakut. Aku adalah orang yang lemah. Tidak pernah bebas dari bayang-bayang masa lalu. Tidak pernah merasa dicintai. Tidak pernah dimengerti. Satu malam dan hidupku berubah sepenuhnya. Tidak ada satu pun orang yang menerimaku. Diremehkan, dianggap pengecut dan banyak hal. Seperti yang ayahku katakan, aku bukanlah lelaki sejati. Namun, ada satu orang yang mengerti sebagian dari diriku.

Aku mencintainya. Dia selalu berusaha mengerti diriku yang aneh ini. Aku jarang bertemu orang sepertinya. Namun, apakah cinta saja cukup. Aku rasa tidak. Dia adalah wanita yang sempurna. Terlalu sempurna untuk pria sepertiku. Dia berusaha mengerti diriku, tetapi aku terus menjauh. Aku tidak mengetahui apa dia akan percaya kepadaku, atau sama seperti yang lain. Menganggap aku lemah, pengecut, pecundang, bukan pria sejati, orang yang lemah. Aku tidak pantas untuk siapa pun.

“Ryan! Bangunlah. Ini sudah pagi, katanya kau ada rapat penting,” ucap Andrew sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.

Namun, tubuhku terasa begitu berat. Aku merasa pusing dan tidak enak badan. Mungkin karena semua mimpi buruk yang alami. “Hari ini aku ingin libur ... aku tidak enak badan,” ucapku sambil menepis Andrew.

“Apa kau sakit? Apa ingin aku panggilan dokter?” tanya Andrew yang terdengar khawatir.

“Tidak ... aku tidak ... berbohong.”

“hei! Jangan mengingau! Aku rasa kau benar-benar sakit. Ryan, ayo pergi ke rumah sakit. Kau sama sekali tidak beres!”

Aku menggenggam tangan Andrew. “Aku tidak berbohong, Papa ... percayalah. Aku mohon percaya ... kepadaku. Aku tidak mungkin ... berbohong.” Seketika aku menangis histeris.

Aku tidak mengingat apa yang terjadi setelah itu. Semenjak Fiona kembali, aku terus-menerus mengalami mimpi buruk. Semua itu tentang dirinya, dan ayahku yang tidak pernah memercayai diriku. Melihat Fiona setelah semua kejadian itu, membuat rasa takutku kembali. Aku takut hal yang sama terulang kembali. Ketakutan itu semakin lama semakin membesar. Aku tidak bisa mengontrol hal itu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang hal itu. Aku hanya bisa diam dan membiarkan hal itu hilang.

Aku terbangun di ranjang rumah sakit, dengan kondisi tanganku diinfus. Aku melihat sekitarku, dan melihat ibuku yang berada di sampingku. Aku tersenyum kepadanya. Pasti aku membuatnya khawatir. Lagi dan lagi, aku merepotkan ibuku. Aku merasa tidak enak. Namun, aku membutuhkan ibuku. Aku hanya bisa bercerita kepadanya. Aku hanya bisa menangis di hadapannya.

“Apa kamu merasa lebih baik?” tanya ibuku.

“Ya. Berapa lama aku pingsan?” tanyaku.

“Kamu pingsan selama 1 hari. Apa kamu tidak sadar. Kamu kelelahan dan dehidrasi. Pasti kamu lupa makan dan sibuk bekerja,” jawab ibuku dengan nada marah.

“Tenang saja, Mah. Aku baik-baik saja. Aku hanya terlalu sibuk,” ucapku sambil tertawa kecil.

Ibuku menatapku dengan tajam. “Ryan, kamu tidak bisa membohongi Mama. Jujur saja. Belakangan ini kamu sangat aneh. Kamu tidak biasanya menyepelekan kesehatan kamu seperti ini. Lalu, kamu bilang kamu sudah putus dengan Alexa tanpa alasan yang jelas. Apa kamu sakit karena patah hati?”

“Tidak. Alexa ... bukan penyebabnya. Dia sempurna. Sebenarnya aku bertemu dengan ... Fiona.” Ibuku terkejut mendengar hal itu. “Entah. Aku merasa seperti waktu itu. Sangat takut.”

“Tenanglah, Ryan. Mama ada di sini. Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya ibuku sambil mengelus pundakku.

“Aku tidak ingin merepotkan Mama. Lagi pula, aku sudah mengurus segalanya. Fiona tidak bisa bertemu denganku. Semua sudah beres,” jawabku dengan enteng.

“Apa kamu yakin? Buktinya sekarang kamu masuk rumah sakit. Apa karena kamu takut dengan Fiona?” tanya ibuku sekali lagi.

Mataku mulai berkaca-kaca. “Aku hanya sedikit takut,” ucapku dengan gugup.

“Apa yang kamu takutkan?”

“Aku selalu berpikir hal yang terjadi padaku malam itu, adalah balasan Tuhan atas tindakan Papa. Papa yang selalu meremehkan dan merendahkan Mama, begitu juga kakak. Membuat kalian semua sakit hati. Sebagai balasan, Papa memiliki anak lelaki yang tidak sempurna. Mungkin itu balasan yang setimpal untuk Papa. Papa tidak bisa membenciku karena aku anak lelaki satu-satunya. Kebanggaannya yang tidak membuatnya bangga ...”

“Ryan ... jangan berpikir seperti itu.” Ibuku terdengar tidak menyukai kata yang keluar dari mulutku.

Lihat selengkapnya