Aku berusaha menjauh dari Alexa. Namun, entah mengapa aku merasa sudah menyakiti hatinya. Aku memilih keputusan terbaik untuk diriku. Namun, keputusan itu membuat Alexa sakit hati tanpa penjelasan. Aku berusaha menjelaskan semua yang terjadi kepadaku saat itu, tetapi mulutku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Susah untuk mengakui hal itu setelah banyak orang meremehkan diriku. Aku hanya lelah diremehkan.
Hari ini aku memutuskan untuk menjelaskan segalanya kepada Alexa. Mungkin hal ini sedikit terlambat. Namun, aku terus-menerus merasa bersalah kepada Alexa. Aku sudah menyakiti hatinya dan membiarkannya pergi tanpa penjelasan. Mengakui semua ini mungkin terasa sulit. Waktu itu, mulutku seakan tidak bisa mengungkapkan hal itu. Semoga saja hari ini aku bisa menjelaskan semuanya kepada Alexa, walau dia akan marah kepadaku.
Saat jam makan siang, aku mengajak Alexa untuk berbicara. Aku mendatangi kantornya dan membuat janji temu dengannya, seperti rekan kerja pada umumnya. Aku mengetuk pintu ruangannya. Beberapa menit tidak ada jawaban. Namun, akhirnya ada suara dari dalam ruangan. “Silakan masuk.” Suara Alexa yang menyuruh masuk, dengan rasa gugup aku langsung masuk ke dalam ruangan Alexa.
“Ah, Ryan kamu sudah datang. Apa terjadi masalah? Karena ada beberapa kesalahan dari bawahanku yang baru. Namun, aku akan segera memperbaikinya,” ucap Alexa saat aku masuk.
“Sebenarnya bukan itu yang aku ingin bicara,” balasku dengan nada canggung.
“Lalu, apa yang ingin kamu bicarakan?” Alexa bangun dari duduknya dan menghampiriku. Itu membuatku semakin gugup. Apa aku belum benar-benar siap untuk jujur. “Apa ada masalah besar? Kamu jangan membuat aku takut.” Tanya Alexa sekali lagi. Ekspresi wajah Alexa terlihat khawatir.
Aku menatap Alexa dan bersiap untuk mengungkapkan semua itu. Namun, aku terhenti karena mata Alexa yang terlihat merah. Matanya terlihat sembab, seperti habis menangis. “Apa kamu habis menangis?” tanyaku yang merasa khawatir.
Alexa seketika memalingkan wajahnya. “Ah, tidak. Aku sedang sakit mata.” Aku mengetahui Alexa berbohong. “Kita sedang membicarakan soal pekerjaan. Jangan membahas hal lain.” Alexa seakan tidak ingin membahas mengapa dia menangis.
“Masalah pekerjaan bisa dibicarakan nanti. Apa kamu sedang ada masalah?” tanyaku yang masih membahas hal yang sama. “Apa kamu baik-baik saja?” seketika Alexa meneteskan air mata. Aku tanpa sengaja membuatnya menangis. Aku seketika panik dan tidak mengetahui harus berbuat apa. Aku tidak bermaksud membuat Alexa kembali menangis. Aku hanya bertanya karena aku khawatir.
“Kamu sialan! Mengapa kamu harus bertanya?! Aku susah payah berhenti menangis karena janji temu kita!” ucap Alexa disela-sela tangisannya.
Aku langsung mengambil tisu di meja, dan berusaha menghapus air mata Alexa. Namun, Alexa langsung menepis tanganku. Dia mengambil tisu yang berada di tanganku, dan menghapus air matanya seorang diri. Aku terdiam melihat itu. Aku tidak mengetahui mengapa Alexa menangis. Aku takut terjadi sesuatu yang membuatnya sedih. Aku mengetahui aku tidak berhak ikut campur dalam urusan pribadinya karena aku bukan siapa-siapa. Namun, aku tetap khawatir kepadanya.
“Apa kamu ingin bercerita?” tanyaku dengan gugup. Aku takut dia menolaknya.
Alexa menyandarkan badannya di meja kerja miliknya. “Ini sungguh memalukan,” ucap Alexa yang masih meneteskan air mata.
“Tidak apa. Kamu bisa bercerita,” balasku sambil menghapus air mata Alexa menggunakan jariku.
“Setelah bertahun-tahun ibuku meneleponku, dan mengatakan dia ingin bertemu denganku. Dia mengatakan dia sudah menikah dan memiliki anak. Bertahun-tahun dia menghilang dari hidupku, lalu kembali dengan keluarga bahagianya. Sungguh menyebalkan,” ucap Alexa. Tangisannya semakin parah hingga dia sesenggukan.
“Hei. Tenanglah. Aku tahu kamu merasa sedih karena ibumu memiliki keluarga baru. Namun, kamu tidak boleh menangis seperti ini. Kamu selalu bilang, kamu tidak akan menangis karena ibumu lagi. Kamu selalu mengatakan hal itu. Jadi, berhentilah menangis. Tolak ibu kamu, jika kamu tidak ingin menemuinya. Untuk apa bertemu orang yang terus membuat kamu sedih,” balasku yang berusaha menyemangati Alexa.
Tiba-tiba Alexa memelukku. Aku membalas pelukan itu. Aku tidak pernah merasakan pelukan senyaman ini. Aku mengelus rambut Alexa agar dia merasa lebih tenang. Dia meletakkan kepalanya di dadaku, dan menangis di kemeja milikku. Aku semakin mengeratkan pelukan. Aku ingin mengurangi rasa sedih yang Alexa rasakan. Memeluknya, membuatku ingin kembali bersamanya dan selalu ada untuknya. Aku sangat merindukan Alexa. Rasa cinta itu tidak bisa hilang.
Beberapa menit berlalu, suara tangisan Alexa tidak terdengar lagi. Aku langsung melepas pelukan dan memastikan dia berhenti menangis. “Baju kamu jadi basah,” ucap Alexa sambil tertawa kecil. Aku melihat kemejaku, dan benar. Kemejaku basah karena air mata Alexa. Aku tertawa melihat itu.
“Kamu harus membelikan aku kemeja baru,” candaku.
“Tidak. Nanti juga kering, untuk apa beli yang baru.” Aku tertawa mendengar hal itu. “Jadi, kamu ingin membicarakan apa. Aku sudah mendingan, jadi kita bisa membahas pekerjaan sekarang.”
Mungkin ini belum saatnya. Alexa baru saja tertawa setelah menangis. Aku tidak ingin menghancurkan suasana hatinya saat ini. Aku merindukan tawanya, yang jarang aku lihat setelah kami berpisah. Akhirnya aku terpaksa membahas pekerjaan, yang seharusnya bisa disampaikan sekretarisku. Aku hanya ingin berbicara dengan Alexa lebih lama lagi. Semakin aku berusaha menjauh, semakin aku merindukannya. Aku tidak mengetahui harus berbuat apa sekarang. Rasa cintaku kepada Alexa, membuatku semakin bimbang setiap hari. Andai aku bisa menceritakan segala ketakutanku kepadanya.
***
Seminggu berlalu. Aku masih belum sempat bercerita kepada Alexa. Dia selalu sibuk dan aku selalu sibuk. Sekalinya kami bertemu itu hanya saat rapat. Sebenarnya itu adalah hal bagus untukku. Aku bisa memikirkan bagaimana mengungkapkan semua hal itu kepada Alexa. Aku juga bisa menyiapkan diriku agar aku tidak merasa gugup dan tertekan. Aku tidak perlu khawatir berlebihan. Aku berusaha sebisaku untuk berkata jujur.
Hari ini aku sedang berada di luar kota melakukan perjalanan bisnis. Awalnya aku ingin menyuruh sekretarisku untuk melakukan pekerjaan ini untukku. Namun, aku tidak ingin merepotkannya. Lagi pula, aku bisa bertemu Alexa walau dia menghabiskan waktu bersama ayahnya. Ya, ayahnya Alexa ikut dalam perjalanan bisnis kali ini. Itu membuatku sedikit canggung untuk berbicara dengan Alexa di depan ayahnya.
“Apa kau sudah mengatakannya kepada Alexa?” tanya Andrew saat aku mengangkat panggilan darinya. Setelah bekerja seharian, malam harinya aku beristirahat di kamar hotelku. Aku berbaring di ranjangku, dan tak lama Andrew menelepon. Andrew selalu saja mengganggu waktu istirahat. Namun, setidaknya aku bisa bercerita kepadanya.