Terkadang aku merasa ibuku tidak pernah menyayangi diriku. Dia pergi dari kehidupanku dan datang dengan keluarga barunya. Mengharapkan aku memaafkannya. Bagaimana aku bisa memaafkannya? Dia berselingkuh dari ayahku dan berhenti peduli tentang anak-anaknya. Dia adalah istri sekaligus ibu yang buruk. Bagaimana aku bisa memaafkan hal itu? Bagiku itu semua sudah menyakitkan. Aku tidak peduli jika dia sudah berubah. Hal itu tidak akan mengubah segalanya.
Aku tidak mengerti. Mengapa ayahku ingin aku bertemu ibuku. Dari semua orang yang ada di dunia ini, hanya ayahku yang mengerti persis bagaimana perasaanku. Aku tidak pernah mengerti bagaimana ayahku bisa memaafkan ibuku. Mungkin aku bisa melupakan semua itu. Namun, aku tidak bisa memaafkan semua itu. Mungkin aku hanya anak kecil saat itu. Namun, aku mengerti apa yang terjadi. Aku bukanlah anak yang bodoh.
“Alexa! Mengapa kamu memanggil aku?” ucap Ryan yang berlari menghampiri diriku. “Mengapa kamu ingin bertemu dipantai pagi-pagi buta seperti ini. Matahari saja belum terbit.” Aku tertawa kecil mendengar itu.
“Aku tidak bisa tidur,” balasku sambil tersenyum tipis. “Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan.”
“Apa perlu bicara di luar seperti ini? Udaranya terasa dingin,” ucap Ryan yang membuatku tertawa.
“Apa kamu ingin memakai jaketku?” tanyaku dan Ryan terlihat bingung.
“Tidak, ah. Nanti kamu kedinginan.”
Aku langsung membuka jaketku dan memakaikan Ryan jaketku. “Apa kamu lupa? Dulu aku tinggal di daerah pegunungan. Aku sudah terbiasa dengan udara dingin.”
“Terima kasih. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Setelah berciuman dengan Ryan, aku terpikir suatu hal. Bagaimana aku bisa memaafkan Ryan karena telah mematah hatiku. Mungkin itu karena cinta. Namun, aku rasa ada hal yang lebih dari itu. Apa pun yang terjadi antara Ryan dan Fiona, aku rasa itu bukanlah yang menyenangkan. Aku baru menyadari perubahan sikap Ryan setelah dia bertemu dengan Fiona. Ryan menjadi kurang percaya diri, seakan dia bukan Ryan yang aku kenal. Semua tentang Ryan terasa aneh setelah Fiona datang. Namun, tidak ada satu pun orang yang bisa menjawab apa yang terjadi di antara mereka.
Aku lelah memikirkan ibuku, dan aku masih tidak ingin menemuinya. Mungkin aku akan berubah pikiran. Namun, tidak sekarang. Setidaknya aku mempunyai satu orang yang mengerti perasaan saat ini, yaitu Ryan. Maka dari itu, aku ingin meminta kepastian dari Ryan. Awalnya dia menjauh, lalu dia mendekat. Aku tidak mengerti apa tujuan Ryan. Selain itu, aku masih butuh penjelasan dari Ryan. Aku tidak suka saat seseorang menyembunyikan sesuatu dariku, apalagi berbohong.
“Apa kamu menganggap aku sebagai perempuan yang bodoh?” tanyaku sambil menatap Ryan.
“Tidak pernah. Selama aku mengenal kamu, aku tidak pernah menganggap kamu bodoh. Kamu adalah wanita yang pintar. Siapa saja yang menjadi pasangan kamu sangat beruntung. Tidak hanya pintar, kamu juga pemberani dan pengertian. Kamu adalah segalanya. Kamu sempurna,” jawab Ryan yang membuatku malu.
“Lalu, mengapa kamu berbohong tentang fobia kamu? Takut disentuh. Mengapa aku memercayai hal itu? Itu tandanya aku bodoh,” tanyaku dengan baik-baik.
Tiba-tiba Ryan menggenggam tanganku. “Tidak, kamu tidak bodoh. Lalu, aku tidak berbohong tentang hal itu. Aku memang takut disentuh, terutama oleh perempuan. Saat kamu bilang itu fobia, aku mengiyakan karena aku tidak ingin kamu bingung. Baru sekarang aku merasa nyaman disentuh oleh kamu.”
“Mengapa? Mengapa kamu nyaman bersamaku?” tanyaku yang tidak memercayai hal itu.
Ryan tersenyum. “Kamu mengerti aku. Selama kita bersama kamu selalu berusaha membuatku nyaman. Tidak semua wanita ingin melakukan hal itu, mengerti diriku dan membuatku nyaman. Aku mengetahui kamu tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak.” Aku bingung mendengar itu.
“Apa yang kamu maksud dengan hal yang tidak-tidak?”
“Sebenarnya ini yang ingin aku ungkapkan. Aku rasa kamu butuh penjelasan,” ucap Ryan yang menatapku begitu dalam. “Namun, sebelum aku bercerita. Bisakah kita pilih tempat lain? Aku akan mati kedinginan, jika terus di sini.” Seketika aku tertawa mendengar itu.
“Baiklah. Ayo kita pergi ke kamarmu,” ucapku yang langsung menarik Ryan pergi.
***