Aku melalui banyak hal dalam hidupku. Tertawa, menangis bahkan membenci. Akan terdengar sangat munafik, jika aku tidak pernah membenci seseorang. Namun, pada akhirnya rasa benci itu berubah menjadi rasa lelah. Rasa lelah itu berubah menjadi hal yang ingin dilupakan, walau tidak bisa dimaafkan. Mungkin hal itu bisa dilupakan. Namun, tidak dimaafkan. Bagiku, aku tidak bisa melupakan maupun memaafkan. Aku tidak peduli seribu orang menganggap aku jahat. Aku akan tetap tidak melupakan ataupun memaafkan.
Mungkin aku terlalu membenci ibuku, atau mungkin aku tidak bisa merelakan apa yang terjadi. Aku hanya menginginkan ibu yang hadir dalam hidupku, peduli kepadaku. Namun, aku tidak pernah mendapatkan hal itu. Selalu iri kepada orang lain karena ibu mereka ada bersama mereka. Setidaknya aku mempunyai ayah yang menyayangiku, jadi untuk apa aku mengharapkan ibuku. Bagiku, ibuku hanya orang asing.
“Apa kamu masih marah dengan Ayah?” tanya ayahku yang entah muncul dari mana. Aku memiliki janji untuk bertemu dengan Ryan di taman yang tidak jauh dari hotel setelah semua pekerjaan kami selesai. Mengapa ayahku yang datang dan bukan Ryan yang datang. Aku memang mengatakan kepada Ryan, aku akan marah lebih lama kepada ayahku. Namun, aku tidak menduga dia menjebak aku untuk bertemu ayahku.
“Ryan, sialan. Pasti dia yang memberitahu aku ada di sini,” ucapku dengan kesal.
Ayahku malah tertawa, dan duduk di ayunan sampingku. “Ayah rasa kalian sudah berbaik. Jadi, kamu sudah mengetahui rahasianya.”
“Ugh, bukannya Ayah memiliki pekerjaan dan klien yang Ayah harus puji-puji. Lebih baik Ayah pergi. Aku masih marah.” Sekali lagi, ayahku malah tertawa. Mendengar ayahku tertawa membuatku kesal. “Ih, Ayah jangan tertawa. Ayah terlihat seperti orang gila.”
“Kamu sama seperti Ayah saat masih muda. Selalu marah dan menghina orang lain, bahkan keras kepala.” Aku tertawa mendengar itu. Ayahku seakan sedang membuat lelucon.
“Ayah berhenti bercanda. Mana ada Ayah marah-marah tidak jelas, dan keras kepala. Aku rasa itu Ayah dari dimensi lain. Ayah adalah orang yang tenang dan bijak, seperti orang tua pada umumnya. Ayah adalah orang terbaik di dunia ini. Terlalu baik menurutku.” Tentu saja aku tidak akan percaya hal seperti itu. Ayahku bahkan tidak pernah marah, dia hanya tegas.
“Asal kamu tahu, saat Ayah mengetahui ibumu berselingkuh. Ayah sempat meragukan kamu dan adikmu adalah anak Ayah. Namun, melihat kelakuan kalian terutama kamu. Ayah sangat yakin bahwa kalian adalah anak Ayah. Kamu selalu marah dan adikmu selalu tenang. Saat melihat kalian, Ayah seperti sedang melihat sebuah cermin. Mungkin ada satu hal yang membuatmu mirip dengan ibumu, yaitu wajah kalian.”
Aku memang sangat mirip dengan ibuku, bahkan saat aku kecil orang-orang memanggilku kembaran ibuku. Aku bagaikan versi kecil dari ibuku. Aku tidak pernah membahasnya karena aku merasa malu. Aku tidak ingin wajahku disamakan dengan orang yang mengabaikan anaknya. Aku bahkan pernah meminta operasi plastik tanpa alasan kepada ayahku. Tentu saja ayahku menolak, dan mengatakan tidak ada yang salah dengan wajahku. Aku terkadang berpikir, apa saat ayahku melihat wajahku dia teringat ibuku.
“Aku masih tidak mengerti. Mengapa Ayah bisa memaafkan ibu?” tanyaku dengan nada bingung dan frustrasi.
Ayahku tertawa kecil dan mengelus rambutku seakan aku anak kecil. “Awalnya Ayah sangat membenci ibumu hingga Ayah mengutuknya setiap hari. Namun, Ayah menyadari kalau membencinya tidak ada hasil. Jadi, Ayah memilih melupakan hal itu dan menjalani hidup Ayah. Mungkin Ayah tidak sepenuhnya memaafkan ibumu. Ayah hanya mengatakan Ayah sudah memaafkannya agar kamu tidak membenci ibumu.”
“Tetap. Ayah seakan sudah merelakan hal itu terjadi. Namun, aku masih membenci ibu. Aku tidak tahu. Sifatku masih sangat kekanak-kanakan.” Aku berusaha menahan air mataku. Aku tidak ingin menangis di depan ayahku.
“Memangnya, mengapa kamu sangat membenci ibumu? Apa karena dia berselingkuh atau karena dia mengabaikan kamu?”
Aku seketika meneteskan air mata. “Aku tidak tahu. Mungkin karena saat itu, aku menganggap kalian adalah pasangan yang harmonis. Mungkin karena Ayah rela melakukan apa saja untuk ibu. Ayah hampir meninggalkan perusahaan Ayah karena ibu tidak suka Ayah terus pergi keluar kota. Ayah mewujudkan segala mimpi yang ibu miliki. Ayah bahkan tidak ingin memiliki anak lagi karena tidak ingin melihat ibu sakit. Ayah melakukan segala hal yang ibu minta. Namun, ibu masih memilih lelaki lain. Setelah semua hal, memiliki keluarga yang sempurna, suami yang sempurna. Ibu menghancurkan hal itu begitu saja.”
“Mungkin Ayah mencintai ibumu, tetapi belum tentu ibumu mencintai Ayah. Sesimpel itu. Mau Ayah memberikan segala hal kepada ibumu, jika ibumu tidak mencintai Ayah. Hal itu akan terkesan biasa saja, dan kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Ayah mengerti mungkin kamu takut bernasib seperti ayah. Namun, tidak ada pria yang berani berselingkuh dari perempuan seperti kamu. Mencari masalah dengan kamu sama dengan mencari mati.” Aku tertawa mendengar itu. Ayahku selalu saja mengatakan itu seakan aku akan membunuh seseorang yang aku benci. “Lalu, kamu tidak benci ibumu karena dia mengabaikan kamu.”
“Ada saat di mana aku membenci ibu karena hal itu. Terkadang aku merasa aku merindukan sosok ibu. Aku merasa ibu memberikan hukuman karena aku membocorkan rahasianya. Namun, aku tidak menyesal membocorkan rahasia itu. Aku tidak bisa membayangkan aku diam dan melihat pernikahan ayah baik-baik saja, padahal tidak. Mungkin aku bisa mencoba memaafkan ibu. Namun, aku belum siap bertemu dengannya.”
Faktanya aku lebih membenci ibuku karena dia berselingkuh. Jika aku kembali ke masa lalu, aku akan tetap mengatakan kepada ayahku bahwa ibuku berselingkuh. Mungkin aku akan kehilangan sosok ibu dalam hidupku. Namun, aku akan merasa bahagia dan lebih menghargai hubunganku dengan pasanganku. Jika aku memilih bungkam, mungkin aku akan merasa bersalah kepada ayahku seumur hidup. Aku tidak pernah menyesal memilih untuk memberitahu ayahku. Bagiku, itu adalah hal yang benar. Hidupku sempurna hanya dengan ayahku dan adikku. Aku tidak pernah benar-benar membutuhkan ibuku. Mungkin saat itu aku merasa iri dengan teman-temanku karena ibu mereka tidak mengabaikan mereka. Namun, sekarang aku tidak merasa iri karena aku menyadari ibuku bukanlah ibu yang baik.
“Jadi, kamu tetap tidak ingin bertemu ibumu. Baiklah. Ayah tidak akan memaksa kamu kali ini. Ayah minta maaf karena memaksa kamu untuk bertemu ibu kamu,” ucap ayahku yang membuatku senang. “Namun, apa kamu bahagia? Ayah takut karena ibumu tidak ada, kamu merasa tidak bahagia.”