“Rama, tadi pagi Marlo titip pesan, katanya jangan lupa weekend ini ditunggu abis magrib di lapangan,” kata ibu sambil menyiapkan sarapan.
“O iyaa, semoga aku gak ada liputan ya. Nanti deh aku chat dia lagi,” ucapku.
“Emang kalian mau ngapain sih?”
“Dia minta latihan ekstra. Katanya minggu depan sekolahnya mau ada class meeting. Kelas dia sama kelas….siapa namanya aku lupa, mau tanding,” aku menjelaskan.
“Kamu tuh ya, umur udah 26 tahun, mainnya masih sama anak 14 tahun.”
“Anak 14 tahun zaman sekarang, Bu, pola pikirnya udah kayak anak kuliahan. Apalagi kalau Marlo udah curhat soal galau-galaunya dia. Hiburan tau, Bu…” aku menghabiskan gigitan terakhir rotiku, karena suara klakson taksi online yang kupesan sudah datang. “Ya udah, Rama jalan ya Bu. Assalamualaikum…”
***
“Ram, pulang kantor, temenin gue makan, mau nggak?” tanya Baron, fotografer kantorku.
“No,” jawabku singkat.
“Ish, gila dingin banget,” balas Baron.
“Lagian gue kan emang jarang makan malam, Bar,” aku masih beralasan.
“Gue kan nggak ngajak lo buat makan bareng, gue ngajak lo buat temenin gue makan,” Baron kembali berusaha.
Aku menatap Baron sambil tersenyum dan menggeleng. Laki-laki ini kalau sudah bermain kata-kata, memang tidak ada lawannya.
“Keseringan nolak, malah bikin lo kehabisan alasan, Ram. Sesekali diiyain juga nggak bakal bikin lo rugi. Start a new relationship,” Ray tiba-tiba bicara padaku dari kubikel sebelah.
“Nggak usah sok ngajar-ngajarin gue!” kataku nyolot kepadanya.
“Minta temenin makan doang, masa ngajarin lo sih, Ram?” Baron bertanya salah paham.
“Hahaha, gue mau cabut dulu. Selamat ‘bersih-bersih’,” ucap Ray sambil berjalan keluar.
“I’m not talking to you,” ujarku pada Baron, dengan nada meminta pengertian.
“Jangan terlalu asyik sama dunia sendiri, Ram. Nanti lo malah bisa kelewatan yang asyik beneran di dunia nyata,” Baron menimpali.
Aku tersenyum ke arah Baron. Setidaknya, beberapa teman kantorku sudah mengerti keadaanku yang sering teralihkan perhatiannya oleh Ray.
Baru saja ingin memulai mengetik artikel regular, ada chat masuk ke handphone-ku. Dari Abian, salah satu sahabat baikku.
· Ada liputan gak nanti malam?
· Nope.
· Ketemuan yuk, Ram. Butuh curhat nih.
· Gue merasakan alarm tanda bahaya bunyi nih.
· Kind of.
· Arki sama Sashi?
· Udah gue kabarin juga. Gue booking jam 8 di Orange ya. Mau gue jemput gak?
· Nope. Be there ON TIME!!!
***
Sewaktu kelas 2 SMP, aku akhirnya memiliki dua sahabat baik, Abian dan Arki. Persahabatan yang dimulai dari kecelakaan karena kami satu kelompok dalam tugas fisika. Abian si juara kelas, Arki si murid slengean, dan aku si pendiam dan penyendiri. What a team!
Waktu itu kami sedang membuat alat penghantar listrik sederhana untuk menyalakan satu buah bohlam. Saat aku bersiap untuk menyolder gulungan timah, Arki lalu mengambil solder tersebut dari tanganku. Aku menarik paksa solder dan ingin melakukannya sendiri. Tanpa sengaja, solder yang sudah dipanaskan malah mengenai tanganku. Pak Agus, guru fisikaku, mengantarku ke ruang UKS agar luka bakarku diobati. Sampai jam pulang sekolah, aku sama sekali tidak mau kembali ke laboratorium atau pun ke kelas.
Lewat satu jam dari jam pulang sekolah, Abian dan Arki masuk ke ruang UKS dan membawakan buku serta tasku. Aku memandang aneh ke arah mereka.
“Ngapain mereka ke sini?” tanya Ray bingung.
“Gimana tangan lo, Ram?” tanya Abian.
Aku tidak menjawab, hanya menunjukkan balutan perban di telapak tanganku.
“Lagian lo main ambil soldernya dari tangan gue. Melepuh kan tuh jadinya,” kata Arki sambil duduk di sampingku.
Abian lalu duduk di hadapanku, di tempat tidur satunya. Aku masih tidak menggubris perkataan mereka. Aku memperhatikan Abian, dia membuka topinya, dan menatap kami berdua sambil tertawa nyengir.
“Lo ngapain di sini? Kalian ngapain sih di sini?” akhirnya aku bertanya karena merasa risih.
“Bawain buku sama tas lo. Sengaja madol lo ya, abis diobatin nggak balik lagi ke kelas?” tuduh Arki, tapi dengan nada santai.
“Tegas ke mereka, Ram, kalau lo nggak butuh basa-basi mereka,” Ray membisikkanku lagi.
“Nggak perlu, gue bisa ambil tas sama buku gue sendiri,” ujarku setengah kasar, menuruti omongan Ray.
“Yah, udah telanjur gini dibawain, masa mau dibalikin lagi ke kelas?” Arki menimpali lagi.
“Kalian ngapain sih ke sini?” aku kembali bertanya, karena keringat dingin sudah mulai datang menyelimutiku.
“Kalau tangannya udah sembuh, besok datang ke sekolah agak pagian ya, Ram. Gue tadi udah minta izin Pak Agus, kalau tugas kelompok kita dikumpulin besok pagi sebelum bel pelajaran pertama,” kali ini Abian bicara sambil menatapku.
“Tuh kan Ram, mereka nggak benar-benar tulus mau bawain tas sama buku lo. Mereka butuh lo demi nilai,” Ray kali ini turun dari tempat tidur, dan menuduh Abian dan Arki.
“Kenapa tadi nggak selesaiin aja maketnya dan dikumpulin langsung?” aku masih bertanya dengan nada heran.
“Karena ini kerja kelompok, cewek kepala batu. Jadi harus diserahin secara kelompok. Kalau tadi kita serahin berdua, lo nggak bakal dapet nilai kelompok,” kata Arki cuek.
DEG! Ada hantaman hebat di dadaku saat Arki mengatakan hal tersebut. Ternyata, ini bukan demi nilai mereka. Justru mereka melakukan ini demi menyelamatkan nilaiku. Ray salah sangka. Kulihat Ray pun memandang bingung ke arah mereka berdua.
“Ya udah, gue sama Arki cabut dulu, Ram. Besok pagi di lab, ya,” kata Abian sambil turun dari tempat tidur, dan mengisyaratkan Arki untuk ikut bersamanya.
Setelah ditinggal mereka berdua, aku mulai seperti kehilangan akal. Apa iya, teman akan dengan senang hati mau membawa buku dan tas ke ruang UKS, hanya karena aku tidak mau kembali lagi ke kelas? Apa iya, teman juga rela menunda memberikan tugas kelompok, agar aku tetap mendapat nilai?
“Kayaknya, mereka bukan tipe teman kayak Adis, Ayu, dan Reni ya, Ram,” Ray duduk di sampingku, masih dengan pandangan bingungnya.
“Padahal gue nggak akrab sama mereka. Kalau gue yang nggak dapat nilai, mereka juga nggak rugi sama sekali,” aku mencoba menenangkan perasaan terhimpit dalam dadaku.
Pelan-pelan aku terisak, karena rasa sesak yang ingin keluar ini. Kukendalikan diriku saat memoriku memaksa untuk mengingat kejadian di mana Adis, Ayu, dan Reni tidak mau menggubris kehadiranku di pesta ulang tahun Adis. Rasa sesak ini tidak tertahan lagi. Aku mulai memukul-mukul pelan dadaku. Ray lalu memelukku dari samping. Saat isakku sudah semakin tersedu, Abian, atau Arki, entahlah, masuk kembali ke ruang UKS.
“Rama, topi gue...”
Aku melirik cepat dan menyeka air mataku. Ternyata Abian yang kembali, diikuti Arki di belakangnya.