You, K

Racelis Iskandar
Chapter #5

SI BRENGSEK NOMOR SATU

Aku langsung mencuci piring sehabis makan malam. Malam ini aku sudah janjian dengan Marlo untuk membantunya latihan basket. Tapi, sepertinya aku hanya bisa menemani Marlo, tanpa ikut latihan bareng dengannya. Perutku masih terasa penuh.

“Udah, nanti Ibu aja yang cuci piringnya. Kamu cepetan ke lapangan. Marlo nanti nungguin lama,” kata ibu sambil melap meja makan.

“Tenang aja, Bu. Dia juga paling masih latihan sendiri. Lagian kita janjian jam tujuh. Ini baru setengah tujuh,” ucapku beralasan.

Ibu datang menghampiriku, membantu untuk menyusun piring ke dalam rak.

“Anak itu kok semangat banget sih, malam-malam gini mau latihan. Kan cuma class meeting, bukan pertandingan besar antar sekolah, kan?” ibu bertanya heran.

“Katanya sih, musuh bebuyutan dia ada di kelas yang bakal tanding ngelawan kelas dia. Sekalian, dia juga mau tebar pesona di depan Alisha,” kataku.

“Siapa tuh Alisha?” tanya ibu.

“Gebetannya dia dari kelas lawan. Kan kalau dia menang, bisa bikin Alisha jadi merhatiin dia,” jelasku.

“Hahaha, teenage love, ya. Ibu jadi ingat teenage love-nya kamu dulu ke Abian kayak apa,” goda ibu.

“Udah deh, nggak usah dibahas lagi. Udah belasan tahun yang lalu, udah basi,” aku memberikan defense sebisanya.

“Yee, tapi kan Abian kemarin ngajuin diri buat jadi pacar lo. Masa lo nggak goyang lagi sih?” Ray tiba-tiba ikut nimbrung dari arah meja makan.

“Jangan ngaco lo!” aku memelototi Ray.

“Apa lagi nih? Ray bilang apa?” tanya ibu.

“Dia bilang ati-ati, nanti Rama bisa goyang lagi. Soalnya waktu ngumpul kemarin, Bian bilang dia mau jadi pacar Rama,” aku menjelaskan ke ibu.

“Aduuuuhh, setelah sekian lama, luluh juga Bian sama kamu,” ibu masih menggoda.

“Hah, basi! Madingnya udah siap terbit!” aku berkata sarkas, mengikuti dialog Dian Sastrowardoyo dari film AADC.

Ibu hanya tersenyum saja. Selesai mencuci piring, aku langsung berpamitan pada ibu. Ibu mengantarku sampai pintu depan.

“Nanti pulangnya jangan terlalu malam ya, Ram. Kalau takut pulang sendiri, telepon Ibu biar dijemput,” ucap ibu.

“Tenang aja, Bu. Ray yang temenin Rama sampai pulang,” kata Ray, sambil mengikutiku pergi, dan dadah-dadah ke arah ibu.


Lihat selengkapnya