Keesokan harinya, untuk pertama kalinya, aku menghampiri Baron di studio, yang sedang prepare untuk photo shoot nanti. Beberapa hari kemarin, rasanya memoriku selalu dipaksa untuk mengenang orang-orang yang harusnya sudah kulupakan. Aku butuh pengalihan.
“Bar…” sapaku, saat Baron sedang memasang ring light.
“Yes,” jawabnya.
“Nanti malam, lo makan nggak?” tanyaku ragu-ragu.
Baron langsung menoleh dengan mata yang menyipit kepadaku. “Pertanyaan lo aneh,” katanya bingung.
“Masih mau gue temanin buat makan malam, nggak?” kali ini aku yang menawarkan ajakan itu padanya.
“Mau lah,” ucap Baron tanpa basa-basi.
“Oke,” jawabku singkat.
***
“Lo mau jalan sama Baron?” tanya Tyas, salah satu anak redaksi, sekaligus teman dekatku.
“Enggak,” jawabku berbohong.
“Lah, gue dengar lo mau makan malam sama dia,” Tyas mencecar lagi.
“Kata siapa lo?” aku mencoba menyangkal.
“Tadi kan gue ada di studio juga, Ram. Di ruang wardrobe sebelah, cari baju buat photo shoot,” jelas Tyas tidak sabar.
Honestly, aku tidak ingin rencanaku dan Baron untuk makan malam diketahui oleh siapa pun. Aku toh baru akan mencoba berkenalan lebih dekat dengan Baron nanti.
“Gue tuh nanti cuma makan malam biasa aja sama Baron. Nggak ada yang spesial. Kayak lo sering ngajakin Ijul buat nonton bareng, atau Boy buat hangout kalau weekend,” aku masih mencoba membuat alasan agar Tyas percaya.
“Baron ngarep banget, tahu nggak sih lo. Tadi abis lo cabut dari studio, dia bilang ke gue, akhirnya setelah puluhan kali dia ngajak lo jalan, lo mau juga. Kasihan tahu, dia kayaknya niat banget,” Tyas mencecarku, seperti punya maksud tertentu.
“Dih, kok kasihan sih? Kan dia juga pasti tahu, kalau ini cuma makan malam biasa. Nggak ada ngasih harapan apa-apa kok,” aku tetap berusaha membela diri.
“Kalau dia nunjukkin tanda-tanda mau serius sama lo, gimana Ram?” Tyas bertanya penasaran.
“Apaan sih? Lo dari tadi kayaknya ngebelain Baron mulu. Naksir lo ya?” aku menembak Tyas. Pandangannya langsung ditundukkan, salah tingkah.
“Tenang aja Yas, gue sama sekali bukan mau buka peluang sama Baron. Dia udah puluhan kali ngajak gue jalan, jadi gue cuma ngerasa, why not? Toh selama ini, gue emang nggak pernah kenal Baron kalau lagi di luar kantor. Nothing special Yas,” aku kembali meyakinkan Tyas.
“Lo udah bisa lupain Januar?” Tyas kali ini bertanya tepat di tempat yang paling sakit.
Tyas adalah teman kampus yang berlanjut menjadi teman kantor. Cerita tentang Januar, tentu saja dia pasti tahu. Januar dulu sempat mengisi masa akhir kuliahku sampai beberapa tahun setelah aku bekerja.
“Ya nggak bakal bisa lah,” aku berguman.
“Ram, di luar sana, mau lo ketemuan sama orang lain selain Baron, nggak akan ada yang bisa kayak Januar. Nggak akan ada yang bisa kayak Abian, atau kayak pelatih basket di SMA lo itu. Mereka punya porsinya masing-masing, Ram. Nggak akan bisa diganti,” jelas Tyas.
Tyas benar. Mau dicari ke mana pun, orang-orang yang pernah singgah, tidak akan bisa digantikan oleh orang lain.
“Sekarang gini Ram, coba sesekali lo cek contact list di handphone lo. Sapa teman-teman cowok lo dari mulai SD sampai kuliah. Mulai deh tuh ‘Proyek Menghadap Depan’. Siapa tahu ada yang bisa lo ajak jalan dan berlanjut,” Tyas memberikan saran out of the box-nya.
“Kalau nggak ada yang cocok, gimana?” tanyaku ragu.
“At least you try. Dan kalau emang nggak ada yang cocok, seenggaknya kehidupan sosial lo bisa sedikit bener. Hangout sama orang lain, bukan sama temen lo yang itu-itu aja,” Tyas menceramahi.
“Gue udah selesai makan nih. Lo masih mau di sini makanin piring sama mangkok-mangkoknya?” aku bertanya sinis.
“Sama mejanya juga bakalan gue makan kalau emang bisa dimakan.”
***
“Lo serius nggak mau makan, Ram?”
Aku sedang berada di salah satu restoran cepat saji, menemani Baron makan malam. Sementara ia memilih menu paket lengkap, aku hanya menjadi penonton dengan satu cup es krim di tanganku. Tentu, dengan tempat dan makanan seperti ini, ini jauh dari istilah makan makan romantis.
“Nggak, gue nggak lapar,” ucapku, dan bukan berbasa-basi.
“Gue jarang banget lihat lo makan. Kalau di kantor, nggak setiap hari juga lo makan siang. Aneh banget perut lo,” Baron mulai berkomentar, mencari tahu tentang kebiasaanku yang jarang makan.
“Perhatian nih Ram. Boleh juga buat digebet.”
Ray, of course. Dia pasti akan selalu datang di saat-saat yang tidak tepat. Setelah beberapa hari menghilang, ia kini dengan santainya duduk di meja samping kami, dan mulai memakan hamburger yang ada di nampannya. Aku mengisyaratkan agar Ray diam. Setidaknya di luar kantor, aku ingin Baron melihatku sebagai perempuan tanpa teman imajinernya.
“Ya, gue juga nggak tahu, kenapa gue bisa jarang laper. Lambung gue isinya jelly kali, makanya ngerasa kenyang terus,” aku mencoba melucu. Baron tertawa tertahan.
“Gitu dong, Ram, be fun. Di kantor lo serius banget, jarang bercanda,” ujar Baron.
“Tiap hari makan malem lo fast food?” tanyaku mengalihkan pembicaraan tentang diriku.
“Hampir,” jawab Baron.
“Kenapa nggak makan di rumah aja? Nyokap lo emang nggak masak?”
“Lo nyuruh gue bolak-balik Tebet-Semarang tiap hari?”
“Maksudnya?” aku bertanya bingung.
“Ya kalau mau makan rumahan masakan nyokap, gue harus balik ke Semarang, Ram. Gue kan di sini ngekos. Orang tua gue di Semarang,” jelas Baron, memberikan informasi tambahan tentang dirinya.
“Gue baru tahu lo orang Semarang. Gue orang Solo,” kataku sambil memberikan informasi tambahan juga.
“I know. Kalau Lebaran lo pulang kampung, gue bisa aja nyamperin lo ke Solo. Semarang – Solo, ya kira-kira dua jam lah. Boleh nggak?” Baron melirik sambil meminum soft drink-nya.
“Jangan dulu Ram. Baru sekali ketemuan di luar kantor, udah mau serius aja nih orang,” Ray terlihat panik.
“Macam gue pernah pulang kampung aja, Bar, kalau Lebaran. Udah bertahun-tahun, gue kalau Lebaran ya di sini doang, nggak ke mana-mana,” ucapku beralasan.
“Kenapa nggak mudik ke Solo?”
“Complicated story. No complicated story on first round,” aku menolak menjawab rasa ingin tahu Baron.
Baron lalu mengangkat alis dan bahunya. Ia pergi ke wastafel, mencuci tangannya. Setelah kembali ke meja, ia lalu menyulut sebatang rokok.
“Gue ngerokok, nggak apa-apa kan?” tanya Baron, sembari meminta izin.
“Sure, kita kan duduk di luar.”
“Takutnya lo kayak Tyas. Baru ngeliat gue ngeluarin rokok aja, bawelnya udah minta ampun.”
“Berarti dia perhatian sama lo,” aku mencoba mencari tahu, apakah sorot wajah Baron sama seperti sorot wajah Tyas siang tadi.
“Topiknya melenceng nih, Ram. Jangan gitu dong. Gue kan nggak setiap hari bisa dapat jatah ditemanin makan malam sama lo,” Baron sepertinya tahu, kalau aku mengalihkan topik.
Aku tersenyum tipis, lalu menyuap es krim yang masih tersisa. Kulihat Ray hendak berkomentar lagi, tapi langsung kupelototi. Ray sepertinya capek melihat lirikan sinisku, jadi ia memutuskan untuk pergi. Tentu saja, dengan muka yang kesal.
“Eh, lo udah preview foto buat halaman mode bulan depan? Tadi gue udah pindahin ke bank naskah,” kata Baron, membicarakan pekerjaan kami.
“Belum sempat, Bar, sorry ya. Gue masih stuck untuk nulis soal feature skizo bulan ini. Minggu depan deadline lagi,” aku sedikit mengeluh soal artikel yang sedang kukerjakan.
“Lusa bukannya ada undangan dari komunitas skizo ya. Bisa tuh lo cari angle di sana,” kata Baron.
“Ya, lihat nanti deh. Gue masih belom kepikiran soalnya.”
Baron menghisap dalam rokoknya. Pandangannya dibuang jauh ke atas, sambil sesekali menoleh ke arahku.
“Bar, kok lo masih bertahan di media kita sih?” aku bertanya, mengingat kemampuan fotografi Baron yang harusnya bisa membuatnya ada di tempat lebih baik, dibanding di media kami.
“Kenapa emangnya?” tanya Baron.
“Your photos are more than good. Jaringan klien dan pertemanan lo juga luas. Lo bisa jadi fotografer profesional, buka studio dan kelas lo sendiri, Bar,” jelasku.
“Gue kepikiran ke arah sana kok, Ram. Mungkin untuk awalnya mau freelance atau collab dulu sama fotografer yang udah punya nama,” kata Baron.
“Kapan mau mulainya?”
“Nanti, kalau gue udah nikah.”
“Kalau udah nikah dan lo cuma ngandelin freelance dan collab, bukannya lo nggak bakal dapet penghasilan tetap, ya. Anak-istri lo mau dikasih makan apa nanti kalau lagi nggak ada job?” tanyaku heran.
“Cinta,” jawab Baron spontan.
“Bisa kenyang, emangnya?”
“Kan cari istri yang nggak doyan makan. Siapa tahu anaknya nanti juga nggak doyan makan,” ucap Baron sambil menghisap rokoknya dan kembali menatapku.
Aku hanya tertawa aneh saja sambil geleng-geleng kepala. Baron juga menyeringai, merasa malu dengan ucapannya.
“Kecepetan ya, Ram?” tanya Baron sambil cengengesan.
“Bad timing. Gue geli iiih Bar,” aku mengangkat bahuku, dan tertawa menanggapinya.
“Forget it. Lain waktu gue coba lagi,” ledeknya.
Sejujurnya, aku tidak merasa risih dengan obrolan ini. Hanya saja, di mataku Baron sudah seperti teman kerja yang solid. Tim yang tidak bisa digoyang. Aneh rasanya kalau aku harus berusaha menumbuhkan perasaan suka padanya. Jadi untuk ke depannya, aku tentu saja masih mau jalan lagi dengan Baron, tapi tidak dengan obrolan seperti ini.
***
Ketika misi pertamaku dengan Baron cukup berhasil, -aku menyebutnya berhasil, karena bisa membuatku yakin, aku bisa mengobrol santai dengan laki-laki lain, selain dengan Abian dan Arki-, aku memikirkan misi yang lainnya. Tyas mengatakan bahwa aku juga harus follow up beberapa teman lamaku. Maka aku memikirkan misi kedua.
Laki-laki kedua yang berhasil kuajak untuk bernostalgia adalah Reza, temanku ketika di SMP. Sebelum memutuskan menerima ajakannya untuk makan malam bersama, aku mencoba mengingat-ingat lagi seperti apa Reza dulu. Hmm, berkulit gelap, dengan potongan rambut yang selalu rapi dan wajahnya memiliki garis tegas keturunan Arab. Well, not bad. Mungkin, mengikuti bahasa Sashi, dia bisa diprospek. Malam ini, aku janjian bertemu dengannya di restoran daerah Kemang.
“Hai Ram, susah nggak nyari tempatnya?” tanya Reza saat aku baru saja sampai. Dengan sopan, ia berdiri menyambutku. Okay, plus one.
“Nggak kok, kebetulan pernah beberapa kali ke sini,” kataku sambil membiarkan Reza menarik kursi untukku.
Dari segi tampang, Reza tidak terlalu banyak berubah dari apa yang kupikirkan. Tetap berkulit gelap dan garis wajahnya makin mempertegas ke-Arab-annya. Di balik kemeja lengan panjangnya, aku bisa melihat tangannya yang kekar dan sekilas melihat bagian perutnya yang rata. Hmm, plus two.
Kami berbasa-basi sejenak dan menikmati makanan yang telah dipesan. Selesai makan, here we go, find the chemistry.
“Jadi, udah lama kerja di Pertamina?” tanyaku yang mencoba menggali sisi kemapanannya.
“Udah mau jalan lima tahun ini deh, Ram,” ujar Reza, berbangga diri.
“Bagian lapangan?” aku mencoba mengorek informasi sebanyak-banyaknya.
“Tukang minyak keliling, maksud lo?” ia mencoba bercanda.
Wow, good sense of humor. Plus three. “Petugas SPBU, mungkin…” aku mengimbangi candaannya. Ia tertawa lepas.
“Bukan, gue dibagian finance,” akhirnya ia menjawab dengan benar.
Dalam benakku, Reza pasti sudah mapan sekarang. Yeah, aku tidak ingin memunafikkan diriku sendiri. Aku butuh laki-laki yang sudah mapan untuk bisa kujadikan pilihan.