“Hey, stop! Ruangan udah mau aku kunci."
“Ruangannya aku yang kunci, boleh gak, Coach?"
“Nope. Kamu udah lebih dua jam latihan sendirian. Sepuluh menit lagi kamu bisa muntah air.”
Aku lalu melemparkan bola dari jarak three points dan menuju pinggir lapangan. Laki-laki itu lalu menyodorkan sebotol air mineral padaku.
“Pelampiasan gara-gara ditolak Bian, ya?”
Aku mengernyitkan dahiku kesal. Seminggu ini, sudah cukup berita aku ditolak Bian berseliweran di antara teman-temanku. Gila rasanya kalau sampai laki-laki ini juga tahu.
“Coach tahu juga, kalau aku ditolak Bian?” aku bertanya bingung, sekaligus kesal.
“Ya siapa juga yang nggak tahu. Semua anak-anak di tim kayaknya ngomongin itu doang. Lagian kamu mau nembak nggak pake strategi. Udah tahu Bian pacaran sama Lia, masih aja nekat buat ditembak,” katanya tanpa hati dan basa-basi.
“He is my best friend. Aku cuma mau kasih tahu ke Bian, kalau option-nya terbuka. Pilihan dia bukan cuma Lia doang,” aku mulai menaikkan tone suaraku, kesal karena berita penolakanku dibahas saat ini.
“Kalau emang best friend, ya udah jadi best friend aja. Jangan ngarep jadi pacar,” lagi-lagi ia berkomentar tanpa hati. Dingin sekali laki-laki ini.
Aku melempar botol air mineral kosong kepadanya. Ia menghindar sambil tertawa, lalu ikut duduk di sampingku. Sedangkan Ray, yang dari tadi ternyata sibuk bermain sendirian, kini ikut duduk bersama kami.
“Emang menurut lo, Lia lebih oke dibanding gue?” tanyaku pada Ray.
“Lia is hotter than you,” jawab Ray lugas.
“Lia kapten tim, jelas dia lebih oke dari kamu,” laki-laki menjawab pertanyaan yang kuberikan untuk Ray. Aku semakin kesal. Aku memandangnya, lalu memandang Ray bergantian. “I hate you, both,” ujarku, sambil berdiri dan bersiap pulang.
“Dijemput ibu nggak?” tanyanya.
“Nope,” jawabku sambil berdiri, mengambil tas, dan menuju ruang ganti.
“Mau nebeng?” ajaknya.
Aku menggeleng. “Arki udah nungguin dari tadi. Aku bisa ditampol sama papan skate-nya kalau tiba-tiba gak pulang bareng dia.”
Ia hanya tertawa saja, melambai ke arahku saat aku masuk ke ruang ganti.
***
Yandhi Ra Saputra, pelatih basketku di SMA. Jangan tanya kenapa akhirnya aku bisa masuk ekskul basket. Apalagi alasannya kalau bukan karena Bian. Sejak akhir masa SMP, Bian tiba-tiba menjadi tergila-gila dengan basket. Memasang parabola di rumahnya dan mulai menonton pertandingan basket luar negeri. Segala macam kartu basket dikoleksinya. Aku, yang tentu saja ingin menjadi teman cerita yang seru untuk Bian, segera menceburkan diri untuk suka juga dengan basket. Maka ketika masuk SMA, tanpa pikir panjang, aku mendaftarkan diri masuk ekskul basket. Sayangnya, cinta pertamaku itu hanya suka menonton pertandingan, bukan bermain basket. Maka di sinilah aku terdampar, menjalani kerasnya latihan fisik, semantara Bian asyik menjadi gitaris di ekskul musik.
Yandhi, seperti pada umumnya pelatih basket, sangat disiplin dengan latihan. Ia adalah laki-laki pertama yang membuatku muntah air, saat kami harus lari keliling lapangan sepuluh putaran. Bukannya menyuruhku istirahat, ia malah memintaku ambil posisi. Sebenarnya, aku menyukai karakter Yandhi yang simple, pembawaannya yang tenang dan tegas. Hanya saja, rasa sukaku padanya tidak seperti rasa sukaku pada Bian.
Perhatiannya pada tim cukup detail. Misalnya saja, ia mencari tahu semua nilai-nilai ujian kami. Jika ada yang di bawah rata-rata, ia langsung merekomendasikan tempat bimbingan belajar untuk kami ikuti. Bagi yang nilainya cukup, ia bersedia menjadi guru privat dadakan jika mendekati pekan ujian. Bahkan, ia juga tidak segan-segan menawarkan rumahnya sebagai markas anak-anak tim. Kadang, satu atau dua senior dari tim putra, sering menjadikan rumahnya sebagai tempat pelarian kalau sedang kabur dari rumah.
Sewaktu tes penerimaan tim inti, aku menjadi satu-satunya anak kelas satu yang lolos. Sejak akhir SMP, aku sering berlatih basket dengan anak-anak di komplek rumahku. Aku pikir jika aku masuk tim inti di SMA nanti, maka poin plusku di mata Bian akan bertambah. Tetapi menjadi tim inti, berarti akan semakin banyak lagi cobaan untukku.
“Kania…”
Aku memelankan langkahku saat mendengar seseorang memanggil nama Kania. Kania memang nama tengahku, tapi belum pernah ada orang yang memanggilku Kania. Jadi kupikir, suara itu untuk memanggil orang lain.
“Kania…Kania Sujaswanto…..”
Oke, aku fix berhenti. Sepertinya Kania yang dimaksud adalah aku. Aku menoleh mencari suara yang memanggilku. Yandhi.
“Eh, Coach, ada apa?”
Aku kaget, karena dia langsung membawaku ke ruang kelas yang kosong untuk bicara padaku. Ia membicarakan kemungkinan yang akan terjadi ketika aku masuk tim inti. Gencetan dari senior yang tidak pernah terpilih, kesibukan dobel karena tim inti latihan tiga kali seminggu dan efek-efek lainnya hingga ke pelajaran.
“Kalau kamu dapat gencetan dari anak kelas dua dan tiga, langsung bilang aku. Kalau pelajaran keteteran karena jadwal latihan, harus langsung bilang juga. Oke?” ujarnya tanpa jeda.
“Baru sekarang gue ngeliat ada pelatih yang care begini. Biasanya yang kayak gini ada maunya, Ram,” todong Ray, yang juga ikut ke ruang ganti.
“Oke,” aku mengangguk bingung, entah pada penjelasan Yandhi, atau tuduhan Ray.
“Rumah kamu di mana?” tanyanya lagi.
“Jangan kasih tahu!” perintah Ray.
“Ciragil…Coach,” jawabku, berbarengan dengan larangan dari Ray.
“Mau nebeng nggak? Aku lewat situ juga soalnya,” tawarnya, dengan pandangan mata yang tidak fokus kepadaku, seperti salah tingkah.
“Gak usah, Coach. Udah janjian mau pulang bareng teman,” tolakku.
Ia mengangguk pelan, dan aku pamit dari hadapannya. Keluar dari ruang kelas, aku berjalan cepat menuju pos satpam. Dadaku deg-degan setengah mati. Aku bahkan sampai lupa memberitahunya, kalau nama panggilanku Rama, bukan Kania.
“Lama amat latihannya” kata Bian yang mulai mengomel saat aku baru sampai pos satpam.
“Bawel lo. Kalau nggak mau pulang bareng, ya udah balik duluan sana. Gue pulang sendiri,” aku bersungut.
“Gue tampol papan skate lo, Ram. Udah nungguin lama, terus lo nyuruh kita pulang duluan,” kali ini Arki yang mencecarku.
“Pada cepat tua lo kalau ngomel melulu. Udah, ayo jalan.”
Kami bertiga akhirnya jalan bersama keluar gerbang sekolah. Arah rumah kami memang berlainan, tapi kalau sudah terlalu sore seperti ini, Bian dan Arki biasanya menemaniku pulang naik angkot bersama. Waktu kami berjalan menuju jalan raya, sebuah mobil Misubishi Galant cokelat mengklakson. Kami berhenti.
“Bokap gue nih,” ucap Arki.
Kaca mobil dibuka, dan kami bertiga, ditambah dengan Ray yang tiba-tiba muncul, agak menunduk untuk melihat siapa yang mengklakson. Bukan papanya Arki ternyata, melainkan Yandhi.
“Kania..."
“Ada apa, Coach?” tanyaku bingung. Arki dan Bian menungguiku sambil ikut memandang heran ke arah Yandhi.
“Next latihan, tangan kirinya coba dipake ya. Harus bisa dribble pakai dua tangan…”
Lagi-lagi, aku mengangguk pelan dan ragu. Kenapa pembicaraan seperti ini dilakukan saat dia sedang ada di mobil dan aku sedang menunggu angkot bersama dua sahabatku?
“Nama dia Rama, bukan Kania!” Bian tiba-tiba menyelak kami dengan nada yang tidak bersahabat.
“Rama terlalu boyish buat nama perempuan. Kania better,” ujar Yandhi sambil menaikkan alisnya, lalu berjalan pelan meninggalkan kami.
“What’s wrong with him?” Ray bertanya jengah.
“Wow. He is cool,” komentar Arki dengan wajah takjub.
“Cool pala lo! Lo jangan mau nengok kalau dipanggil Kania, ya Ram,” Bian masih emosi saat bicara padaku. Aku melihat Ray mengangguk padaku, mendukung permintaan Bian.
Hanya Arki yang cengengesan, lalu merangkulku sambil menunggu angkot. “Baru kali ini ada orang yang mau panggil lo pakai nama Kania. Sweet, right?” goda Arki.
Aku masih terdiam, tidak bisa menanggapi omongan Arki. Di dalam dadaku, rasanya ada gejolak yang ingin keluar. Rasanya seperti sedang naik rollercoaster yang menukik tajam. Kania. Arki is right. This is the first time someone calls me with my middle name.
***
Ini sudah keempat kalinya Yandhi menggantiku dengan pemain lain saat bertanding melawan SMA Nusantara. Di menit kesembilan quarter tiga, saat aku terjatuh dan tanganku tidak sengaja terinjak oleh tim lawan, Yandhi kembali menarikku dari lapangan.
“Kenapa sih Coach, gue ditarik terus? Gue belom capek,” kataku emosi sambil bernapas ngos-ngosan, antara mengatur napas, menahan emosi, dan menahan nyeri pada pergelangan tanganku yang baru saja terinjak.
“Duduk, istirahat dulu,” ujar Yandhi tenang, sambil memberikanku handuk, dan menempelkan ice bag di tanganku. Aku duduk di sampingnya. “Rara, nomor delapan, dari tadi nempelin kamu terus. Dia yang udah dua kali ngebuat kamu jatuh. Kayaknya mereka mau main curang,” jelas Yandhi, yang nada suaranya sangat tenang. Heran, sebenarnya dia pelatih atau bukan, sih?
“Main curang gimana?” aku bertanya, masih emosi.
“Bikin cedera pemain lawan yang bagus-bagus.”
Aku hanya diam saja sambil melihat ke arah lapangan. Kelihatannya memang ada yang tidak beres. Ketika Yandhi menarikku keluar dari lapangan, pelatih SMA lawan kemudian memanggil Rara, dan berbisik. Kemudian, ketika ia berbaur kembali dengan teman-temannya, ia mengicar Lia, kapten timku.
Di tengah panasnya pertandingan, bukannya membaca peta permainan, mataku malah sibuk mencari Bian di bangku penonton. Cinta pertamaku itu kini berteriak-teriak menyemangati Lia. Kadang-kadang, ia menoleh sesekali ke arahku.
“Lihat tuh sekarang, dia ngincer Lia,” kata Yandhi padaku, yang sama sekali tidak memerhatikan ke arah lapangan.
Yandhi lagi-lagi menarik Lia keluar. Walaupun kesal, Lia sepertinya tahu kalau si nomor Rara itu punya misi khusus.
“Rama, lo perhatiin si Rara ya, nomor delapan. Taik tuh orang, beraninya main curang,” kata Lia emosi ke arahku.
Yang paling menyenangkan dari sebuah pertandingan adalah, tidak peduli seberapa besar aku dan Lia saling benci di sekolah, saat semua ada di lapangan, kami akan saling dukung.
“Coach, lihat deh, beberapa kali dia main kasar banget, tapi wasit nggak kasih fault ke dia,” Lia protes sambil merepet ke arah Yandhi. “Ini kan curang namanya!”
“Sit down, drink, and breath,” Yandhi memerintahkan Lia.
Saat Lia duduk di sebelahnya, ia memegang bahu Lia. Perutku tiba-tiba bergolak melihat mereka. Aneh.
“Ini sekolah mereka, dan ini cuma pertandingan persahabatan. Of course, wasitnya akan dukung mereka. Lo perhatiin ya, selain Rara, yang turun semua itu anak-anak baru. Tujuan mereka cuma mau kasih pengalaman ke anak baru untuk main di lapangan, lawan sekolah lain. Tujuan kita, latihan strategi sebelum pertandingan antar SMA dua bulan lagi. Jadi, kalau lo lihat cara main kayak gini, bukan nggak mungkin nanti waktu kita lawan sekolah lain, mereka pakai cara yang sama kasarnya. Think. Learn. You’re the captain,” ucap Yandhi.
Lia lalu menarik napas panjang dan konsentrasi lagi melihat permainan. Sesekali matanya juga mencari Bian di tribun. Aku memperhatikan detail sekali. Saat mata mereka bertemu, Bian terkadang menggambar tanda love dengan jarinya untuk Lia. Double fuck!
“Udahlah Ram, mereka itu sweet couple. Lo nggak ada peluang,” ujar Ray yang tiba-tiba berdiri di sampingku, ikut menyemangati tim sedari tadi.
“Taik lo!” aku memaki pelan ke arahnya.
Waktu istirahat menuju quarter terakhir, Yandhi membahas strategi bertahan. Ia tidak peduli dengan skor yang kalah, yang penting tim dalam keadaan aman, tidak cidera. Aku bertekad, walaupun Yandhi sudah meminta agar aku tidak turun lagi di quarter terakhir ini, dan memberi kesempatan pada pemain cadangan, aku toh nanti bakal masuk lagi tanpa persetujuan dia.
“Jangan masuk lagi di quarter empat ya, Ka. Kasih anak cadangan aja buat main,” ujar Yandhi mewanti-wanti.
Aku tidak menjawab dan tidak mengangguk. Yandhi masih membahas strategi, dan aku memilih untuk duduk agak menjauh dari tim. Ice bag yang ada di pergelangan tanganku, terus kutekan untuk menghilangkan rasa nyeri ini.
Peluit quarter terakhir dibunyikan. Aku, yang tidak dimasukkan lagi oleh Yandhi ke lapangan, memilih duduk di bench cadangan. Ia lalu menghampiri dan duduk di sampingku.
“Masih sakit tangannya?” tanyanya sambil menekan ice bag lebih keras ke pergelangan tanganku.
“Udah nggak,” ucapku bohong.
“Ngapain pakai bohong segala sih, Ram? Bilang aja tangan lo nyeri,” Ray menasihati. Aku tidak menggubris.
Yandhi lalu membuka wristband-nya, dan memakaikannya pada pergelangan tanganku yang nyeri. “For good luck charmed. Aku tahu kamu pasti nanti akan tetap nekat masuk ke lapangan."
Aku melongo mendengar todongannya. Kenapa dia sepertinya bisa membaca pikrianku? Yandhi hanya memandangku dari sudut matanya, dan tersenyum tipis.
Kejar-kejaran skor sengit. Sekolah kami tertinggal empat poin, dan sisa waktu kurang dari lima menit. Yandhi masih diam tidak mau beranjak dari sampingku. Aku sudah mulai tidak sabar ingin kembali masuk ke lapangan.
“Kamu masih bisa buat pegang bola terakhir?” tanya Yandhi tiba-tiba.
Aku mengangguk ragu.
“Worst case?” tanyanya.
“Rebound. Harus ada yang berhasil rebound untuk cetak angka terakhir,” aku menjawab.
Yandhi masih terdiam sebentar. Ia lalu memandangku. “Cari orang yang kamu percaya untuk bisa assist kamu. Use your feeling. Rebut bola terakhir.”
Aku tiba-tiba berdiri, membuang ice bag, dan menunggu bola out untuk masuk menggantikan Dian. Setelah masuk kembali ke lapangan, aku langsung memberi isyarat pada Lia agar memberikan bola padaku. Lia mengerti maksudku. Saat mencoba melakukan tembakan terakhir dengan menerobos beberapa pemain lawan, Rara menempelku lagi. Kali ini, di luar skenario, beberapa rekannya ikut membantu mempersulit langkahku. Aku mengisyaratkan agar Lia menjadi assist, kalau-kalau tembakanku tidak masuk, dia harus melakukan rebound untuk menyelamatkan skor kami.
Dan benar saja, di detik terakhir, waktu aku ingin mencetak angka, Rara, yang dibayangi beberapa temannya, menjegal kakiku cukup kuat. Bola yang sempat kulempar hanya mengenai bibir ring. Aku, yang sudah merasakan nyeri pada kaki dan tanganku, tidak sanggup berdiri lagi untuk melihat rebound dari Lia.
Sorakan riuh terdengar dari tribun kami. Aku tahu, Lia pasti berhasil memasukkan bola, dan membuat kami menang satu bola. Luapan kegembiraan teman-teman timku pecah. Mereka langsung masuk ke lapangan, dan memeluk Lia. Dengan posisi masih terduduk, aku menunggu juga pelukan dan sorakan dari timku. Sial, mereka hanya fokus pada Lia, yang mencetak skor terakhir.
Dengan hati kesal, aku mencoba berdiri dengan kaki yang nyeri. Tiba-tiba, sebuah rangkulan besar dan hangat terasa di bahuku. Yandhi menuntunku pelan ke pinggir lapangan.
“Tunggu di sini, aku mau ngomong dulu sama pelatih Nusantara,” ujarnya dengan nada kesal.
Aku tidak takut dengan kekesalannya. Toh bukan salahnya kalau aku sampai cidera. Ini murni karena kemauanku untuk masuk lagi di game terakhir. Kalau pun dia marah dan ingin menghukumku, paling-paling hukumannya hanya berlari sepuluh lapangan, atau membereskan ruang olahraga selama sebulan.
Aku melihat Yandhi bicara serius dengan pelatih Nusantara. Tidak ada senyum sama sekali di wajahnya. Benarkah dia sekesal itu dengan pelatih lawan, karena cara main mereka yang curang?
Perhatianku pada Yandhi teralihkan dengan kedatangan tim yang beriringan kembali ke bench. Mereka lalu memberikan pelukan tertunda kepadaku. Aku hanya senyum saja, sambil menahan nyeri di kakiku. Bian, yang entah kapan sudah bergabung dengan kerumunan tim, mengangkat jempolnya padaku. Aku tersenyum paksa, mengingat saat jempol kanannya terarah padaku, tangan kirinya sedang merangkul Lia.
Aku memutuskan untuk diam-diam pergi dari kerumunan. Buat apa berada lebih lama di sana, kalau hanya untuk melihat Bian dan Lia bermesraan. Aku menemukan toilet tidak jauh dari lapangan, dan memutuskan untuk mengunci diri di sana. Kali ini, saat sendirian, kaki dan tanganku dua kali terasa lebih nyeri. Yang paling parah, bukan hanya kaki dan tanganku saja yang nyeri, hatiku juga terasa sesak. Kupukul-pukul dadaku agar rasa sesak ini bisa hilang. Perlahan, isak yang kutahan mulai keluar.
***
Entah sudah berapa lama aku berada di toilet. Sesekali, aku mendengar ada orang masuk ke bilik sebelah, dan aku tetap berusaha menahan isakku. Saat keadaan sudah sepi, aku baru keluar dari bilik toilet. Kutatap wajahku di cermin wastafel. Dengan rambut dikuncir seadanya, poni acak-acakan, dan mata sembap, aku memutuskan untuk membasuh wajahku.
“Pulang yuk, Ram.”
Ray ada di sana. Tentu saja, dia pasti tidak akan tega meninggalkanku sendirian.
“Gue babak belur,” ujarku, masih dengan nada suara yang sedih.
“I know. Gue di sini kok, nggak akan ke mana-mana.”
Ray lalu mengulurkan tangannya padaku. Kuterima uluran tangannya, yang terasa seperti perahu penyelamat. Sambil bergandengan, kami keluar dari toilet. Baru saja berjalan beberapa langkah, aku melihat Yandhi berdiri bersandar tidak jauh dari toilet.
“Coach…” panggilku.
Ia menoleh, dan langsung menghampiriku. Matanya terlihat kesal, sekaligus khawatir. Ray mempererat genggaman tangannya padaku.
“Tadi kan aku bilang tunggu, kenapa ngilang gitu aja?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Ia menarik tanganku yang sedang digandeng oleh Ray. Seketika, genggaman tangan Ray menghilang, dan aku tidak bisa menemukannya lagi. Yandhi mendudukkanku di bangku panjang di depan ruang kelas. Ia lalu membuka paksa sepatuku.
“Coach, mau ngapain?” aku kebingungan dengan tindakannya.
“Aku mau merban engkel sama tangan kamu, boleh?”
Aku terdiam. Dia sadar kalau kakiku nyeri saat dijegal oleh Rara. Dia bahkan masih ingat kalau pergelangan tanganku juga sempat cidera.
“Kalau gak boleh, aku terpaksa bawa kamu ke klinik atau rumah sakit untuk di ronsen. Kalau kelamaan didiemin, bisa bengkak nanti kakinya.”
Kali ini, aku mengangguk pelan. “Boleh, Coach.”
Diambilnya perban elastis dari dalam tasnya. Pelan dan perlahan, ia mulai memerban kakiku yang terasa nyeri.
“Kalau kekencangan, bilang ya,” ucapnya sambil terus memerban.
Saat ia memerban kakiku, aku celingukan mencari Ray. Ke mana dia? Biasanya dia tidak pernah menghilang secara tiba-tiba begini.
“Nyari siapa?” tanya Yandhi yang tetap fokus memerbanku.
“Ray,” jawabku singkat.
“Your invisible friend?” tanyanya lagi.
“Imaginary.”
Waktu awal aku menjalani sesi latihan rutin, Yandhi sering menugurku saat aku sedang bicara dengan Ray. Ia selalu bingung dan bertanya, dengan siapa aku bicara. Mulanya ia mengira aku bisa melihat hantu. Saat kujelaskan bahwa aku bicara dengan Ray, my imaginary best friend, ia lalu mengangguk, seolah mengerti.
Tidak ada obrolan lagi di antara kami. Aku masih tidak tahu harus berbuat apa dengan posisi seperti ini. Aku sama sekali tidak pernah menyangka Yandhi akan memerban kakiku. Selesai memerban kakiku, ia lanjut memerban pergelangan tanganku.
Aku tahu kalau ia memang seperhatian itu pada tim, khususnya tim inti. Tapi hubungan kami tidak pernah sedekat ini. Sesekali ia masih tetap menawariku untuk pulang bareng saat latihan selesai terlalu sore, tapi aku selalu menolak. Membayangkan berada hanya berdua saja di mobilnya, membuat ulu hatiku dingin.
Selesai memerban tanganku, ia kembali memakaikan wristband-nya pada pergelangan tanganku. Dimasukkannya perban dan gunting ke dalam tas, lalu ia menarik tas ranselku dan dipakainya di bahu kirinya. Aku masih menatapnya bengong, sampai akhirnya aku melihatnya mengulurkan tangan padaku.
“Aku antar. Arki hari ini nggak nonton, kan?”
Aku hanya menggeleng pelan. Entahlah gelenganku untuk menjawab kalau Arki tidak menonton pertandingan, atau untuk menolak tawarannya mengantarku pulang. Yandhi sepertinya tidak sabar menungguku membalas uluran tangannya. Ia lalu mengambil tanganku untuk membantuku berdiri, dan merangkulku berjalan pelan.
Aku mengikuti langkahnya pelan ke parkiran. Sudah lah, sepertinya kali ini aku memang harus diantar pulang olehnya. Arki, yang biasanya selalu datang ke setiap pertandingan dan menungguiku untuk pulang bareng, hari ini sedang ada acara keluarga. Ketika sudah hampir sampai di parkiran, aku melihat Bian dan Lia sedang duduk di motor tidak jauh dari mobil Yandhi. Langkahku sempat terhenti sejenak, tapi rangkulan Yandhi memaksaku untuk tetap jalan. Aku menoleh padanya, meminta pengertian agar kami berhenti sampai Bian dan Lia pergi.
“It’s okay…” ucapnya sambil terus merangkulku.
Aku menundukkan wajahku, enggan melihat Bian dan Lia. Aku enggan melihat wajah bahagia mereka.
“Ram, kaki lo kenapa?” tanya Bian, ketika aku dan Yandhi sudah mendekat ke arah mobil.
“Cuma nyeri engkel. Kalian pulang aja, biar gue yang antar Kania,” Yandhi menjawab pertanyaan Bian.
“Ram, serius lo nggak apa-apa?” Bian mencoba memastikan, dan tidak menggubris jawaban Yandhi.
“Udah lah Yang, kan tadi coach bilang dia nggak apa-apa. Ayo kita pulang aja, dia udah diantar juga kok,” ujar Lia, yang kali ini aku bisa melihat dari sudut mataku, dia dengan manjanya bergelayut pada lengan Bian. Hatiku sakit.
Yandhi membuka pintu mobil, lalu meletakkan tasnya di bawah kakiku. Sebelum ia masuk ke kursi kemudi, ia lalu bicara pada Lia.
“Nice rebound, Li, tapi kalau bukan karena Kania, assist lo juga nggak bakalan bisa bikin tim menang,” sindir Yandhi.
Aku melihat ke arah Lia. Dia pasti luar biasa kesal disindir seperti itu oleh Yandhi. Lia menatapku sinis, lalu naik ke motor Bian. Dengan erat, ia menempelkan seluruh tubuhnya untuk memeluk Bian. Aku tahu, ia sengaja melakukan itu untuk membuatku cemburu.
“Kalau besok kaki lo masih sakit, bilang gue ya. Gue jemput berangat sekolah,” kata Bian sambil menggas motornya dan pergi.
Yandhi lalu men-starter mobilnya, dan menginjak gas pelan. Dengan rasa cemburu dan sakit hati yang tertahan, aku mencoba mengendalikan air mataku agar tidak tumpah.
“Nanti malam kakinya dikompres es, abis itu diperban lagi ya. Kalau tidur, usahain posisi kakinya lebih tinggi dari kepala. Sama kalau nyeri, minum pain killer,” ujar Yandhi padaku saat kami sudah keluar dari SMA Nusantara.
Aku hanya diam saja mendengar sarannya. Hatiku masih terasa remuk dengan adegan pelukan Lia pada Bian tadi. I wish I can hug him right now.
Aku tidak memperhatikan jalanan sama sekali. Tiba-tiba, Yandhi meminta izin untuk berhenti sebentar di depan sebuah minimarket. Ia keluar, dan aku langsung menarik napas panjang sesering mungkin. Rasa kesal karena tidak digubris oleh tim, dan rasa cemburu karena pelukan Lia pada Bian tadi, bercampur jadi satu. Aku memukul-mukul dadaku agar rasa sakitnya bisa hilang.
“Woouuw…. stop it!” Yandhi memintaku untuk berhenti memukul dadaku saat ia masuk kembali ke dalam mobil. “Something wrong?” tanyanya.
Lagi-lagi, aku cuma bisa menggeleng saja. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan dua perasaanku pada pelatih basketku ini.
Yandhi menyodorkan eskrim cone untukku. Aku mengambilnya ragu, tapi tidak membukanya. Aku melihatnya membuka eskrim cone miliknya, dan memakannya cepat-cepat. Aku tidak mengerti tujuannya.
“You won the game, we have to celebrate it,” ucap Yandhi, yang sepertinya tahu kalau aku kebingungan dan minta penjelasan.
“Lia saved the game, not me…” ucapku lirih sambil menunduk. Aku lalu membuka bungkusan eskrim cone, dan mulai menggigit es banyak-banyak. Aku butuh sesuatu yang dingin masuk ke tenggorokan dan dadaku agar rasa kesal ini bisa hilang.
“Lia gak bisa buat pegang bola terakhir. Gengsinya masih gede untuk minta juniornya jadi assist. That’s why I asked you to take the chance….”
“But she got the spotlight,” aku masih mencoba mengeluarkan kekesalanku.
Yandhi memakan habis eskrimnya. Dibukanya air mineral, dan meminumnya sampai setengah botol. Sementara aku masih menikmati bagian akhir dari cone-ku.
“But no one take care of her.”
“Maksudnya?”
“Waktu Lia rebound, salah satu anak Nusantara sempat nyikut punggung dia. Dan itu gak pelan. Lia tetap bertahan dan nge-shot….” Yandhi menahan ceritanya, membukakan air mineral lain untukku, dan menyodorkannya saat eskrimku sudah habis. Sementara, aku masih menunggu potongan ceritanya.
“Semua orang kasih ucapan selamat buat Lia. Bahkan Abian, sahabat kamu, pacarnya Lia, juga kasih selamat buat dia…”
“Ya terus kenapa?” aku semakin tidak sabar.
“Gak ada yang nanyain apa punggungnya baik-baik aja. But look at you, didn’t get the spotlight, but I take care of you…and also Bian…”
Aku kembali diam dan bingung waktu Yandhi menyebut nama Bian. Bagian mana dari sikap Bian yang menunjukkan kalau dia memperhatikan aku?
“Tadi waktu kamu ngilang pas selesai pertandingan, Bian ngikutin kamu sampai ke toilet. Dia nungguin lama, tapi kamu nggak keluar-keluar. Lia udah keburu ngajak dia pulang. Terus dia nyamperin aku, dan minta tolong nungguin sampai kamu keluar dari toilet. He said you’re not okay,” jelas Yandhi sambil memandang lurus ke depan. Ia lalu menyalakan mobilnya kembali, dan kami melanjutkan perjalanan.
Tidak ada yang kami bicarakan sepanjang jalan pulang. Awalnya aku sempat GR karena kupikir Yandhi menungguiku karena khawatir padaku. Ternyata karena permintaan Bian. Aku jadi sedikit kesal dan malu. Aneh, harusnya aku senang karena mendapat perhatian tidak langsung dari Bian.
Sampai di daerah Ciragil, Yandhi menanyakan arah jalan ke rumahku. Baru di situ ada suara lagi di antara kami. Saat sampai di depan rumah, Yandhi memberikan kesan agar aku jangan dulu turun dari mobil.
“Mama sama papa kamu ada di rumah?” tanyanya.
“Nggak. Ibu kayaknya keluar. Mobil nggak ada soalnya. Mungkin lagi janjian sama pasien di luar rumah sakit,” jelasku.
“Ibu kamu dokter?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Obgyn,” jawabku singkat.
“Kalau papa ada?” ia kembali bertanya.
“Ada, tapi di rumah perempuan lain,” aku mencoba mengajaknya bercanda dengan dark joke milikku.
“Ouch, hard topic. No hard topic on first round,” ujarnya sambil mengangkat kedua alisnya. Aku tersenyum setuju dan senang, karena ia bisa menangkap leluconku.
“Thank you, Coach,” kataku sambil bersiap akan turun dari mobilnya. “Mau masuk dulu nggak?” tawarku.
“Next time deh. Nggak enak kalau nggak ada orang di rumah.”
Aku mengangguk, dan turun dari mobilnya. Aku baru sadar, kalau pergelangan tanganku masih terbalut oleh wristband miliknya. Waktu berbalik, Yandhi ternyata keluar dari mobilnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Dia pasti ingin meminta wristband-nya. Of course, it’s Swoosh.
“Coach…” aku berjalan pelan menghampirinya.
“Ka…” selaknya. “Kamu punya nomor handphone aku kan?” tanyanya. Aku mengangguk bingung. “Besok kalau kaki kamu masih sakit, telepon aku ya, jangan telepon Bian. Biar aku yang antar ke sekolah,” ia mengucapkan kata-kata yang tidak pernah terpikirkan sama sekali olehku.
Aku terdiam.
“Are you there?” tanyanya memastikan, sambil menggerakkan tangannya di depan mukaku.
“Nggak usah Coach, aku bisa minta antar ibu kok. Tenang aja, aku nggak sebego itu untuk nerima tawaran Bian. He’s someone’s boyfriend now.”
Yandhi lalu tertawa nyengir sambil mengangguk. “Kamu tadi mau ngomong apa?” tanyanya.
Aku kembali tersadar akan wristband-nya di pergelangan tanganku. Kulepas wristband tersebut dan kukembalikan.
“Gak usah, buat kamu,” ucapnya sambil tersenyum.
“It’s Swoosh. We know the price,” tolakku, yang tahu bahwa harga wristband ini bisa setara uang jajanku sebulan.
“It’s you, Ka, priceless.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dan membuatku freeze seperti terkena tembakan Sub Zero, Yandhi langsung masuk mobil. Dibukanya kaca dan ia menatapku sambil tersenyum.
“Bye Ka, see you in practice.”
Melambaikan tangan, mengklakson sekali, Yandhi lalu pergi dari depan rumahku. Kali ini, detak jantungku tidak bisa kukontrol. Wajahku hanya ingin selalu tersenyum. Baru saja membuka pintu rumah, Ray sudah berdiri di sana, dengan raut muka marah, yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
***
Ray protes mati-matian. Sejujurnya, aku bahkan tidak ingat mencari Ray saat dia menghilang dari genggaman tanganku. Perhatianku sepenuhnya teralihkan oleh Yandhi.
“Lo tau gak sih Ram, ada yang aneh sama pelatih lo itu. Dulu-dulu gue gak pernah kelempar kalau lagi jalan sama lo. Ini dia ngelempar gue, Ram,” Ray kesal setengah mati.
“Ngelempar gimana?” aku bertanya bingung.
“Ya waktu tadi gue lagi gandeng tangan lo, terus dia tiba-tiba gandeng tangan lo juga, gue kelempar, Ram,” Ray menjelaskan, masih dengan emosi yang meledak.
“Ya berarti bukan dia yang ngelempar elo dong. Lo nya kelempar sendiri,” aku mencoba membela Yandhi.
“Lo ngebelain dia, Ram?” nada bertanya Ray sudah berubah menjadi curiga.
“Loh, gue bukan ngebelain dia. Kan tadi lo bilang, kalau dia yang ngelempar lo. Gue sama sekali gak ngeliat gerakan dia ngelempar elo.”
Ray membelalakkan matanya. Aku belum pernah melihatnya semarah ini. Selama tiga tahun kami bersama, Ray tidak pernah berteriak seperti ini padaku. Aku seperti melihat kemarahan ayah di matanya.
Perlahan, kutundukkan pandanganku dari matanya. Rasa takut menyelimutiku. Aku takut kejadian selanjutnya terjadi seperti yang dialami oleh ibu. Aku takut Ray memukulku, seperti ayah memukul ibu.
Tidak tahu sudah berapa lama aku menunduk dalam ketakutan. Aku juga tidak mendapatkan pukulan dari Ray. Aku mencoba mendengakkan kepala, dan melihat Ray terduduk di tempat tidur. Ia tidak lagi membelalakkan matanya. Napasnya sudah tidak secepat saat ia berteriak ke arahku tadi. Ia hanya memandangku, tanpa emosi apa-apa. Tanpa satu kalimat apa pun, ia lalu keluar dari kamarku.
***
Waktu makan malam dengan ibu, aku menceritakan tentang cidera kaki dan tanganku, juga tentang Yandhi. Ibu terlihat tertarik dengan topik ini. Tentu saja, anak gadisnya sekarang sudah 16 tahun, sudah mengalami puber pertamanya.
“Jadi tadi yang anterin kamu pulang, si Yandhi Yandhi ini? Pelatih basket kamu?” tanya ibu, mencoba santai saat ingin mengorek informasi tentang Yandhi.
“Rama biasa manggil dia coach, Bu. Di sekolah, kalau lagi latihan, semua anak-anak juga manggil dia coach,” aku menjelaskan pelan-pelan.
“Waktu dia merban kaki sama tangan kamu, dia izin dulu gak ke kamu?”
“Izin…dia bilang kalau Rama gak kasih izin, dia terpaksa bawa Rama ke klinik buat di ronsen.”
Ibu mengangguk. Entah apa arti anggukannya.
“Tapi waktu dia merban kamu, dia gak megang-megang badan kamu kan? Cuma mata kaki sama pergelangan tangan aja?” ibu kembali mengeluarkan pertanyaan menjurus.
“Ya Allah, Ibu…Rama ngerti kali. Dari kelas 5 SD Ibu udah ngajarin Rama soal kepemilikan tubuh. Gak bakalan lah Rama izinin orang lain pegang-pegang Rama,” aku mencoba men-defense diriku dari pertanyaan ibu.
“Good girl. Itu baru namanya anak Ibu,” kata ibu sambil menyelesaikan suapan terakhirnya. “Tapi benar, tangan sama kaki kamu udah nggak apa-apa? Masih nyeri gak?”
“Udah gak apa-apa, Bu. Coach bilang nanti pas tidur, posisi kakinya harus lebih tinggi dari kepala biar gak nyeri dan bengkak.”
“Terus tadi waktu nganterin kamu pulang, dia sempat mampir masuk ke dalam rumah?” ibu kembali lagi pada bahasan Yandhi.
“Enggak kok. Tadi sempat Rama tawarin buat mampir, tapi dia bilang gak enak kalau gak ada orang di rumah.”
“Wow, nice!”
Aku mengernyit, keheranan dan kebingungan. Apanya yang nice?
“Apalagi tadi yang dia lakuin ke kamu?” ibu masih terus mencecar pertanyaan seputar Yandhi.
Aku mencoba memilah-milah, adegan mana yang ingin aku bagikan dengan ibu. Menceritakan kalau dia bisa membaca rasa kesal dan cemburu yang kurasakan, atau tentang wristband yang ia berikan padaku, atau tentang permintaannya agar aku menghubunginya untuk diantar ke sekolah kalau kakiku masih sakit?
“Tadi waktu pertandingan, pas tangan Rama cidera, dia sempat ngasih pinjam wristband-nya buat Rama. Terus pas tadi sampe rumah dan Rama mau balikin wristband-nya, dia bilang gak usah, buat Rama aja.”
“Menurut kamu itu spesial?” tanya ibu.
“It’s Swoosh, Mom. Harganya bisa setara uang jajan Rama sebulan.”
“Aduh, jangan diterima. Besok pas latihan, kamu balikin ya,” ibu mewanti-wanti.
“Waktu Rama mau balikin dengan alasan kalau harganya mahal, dia cuma bilang gini, ‘It’s you, Ka, priceless.”
“Ka?” ibu kebingungan.
“Dia manggil Rama, Kania. Dia bilang, Rama terlalu boyish untuk panggilan anak perempuan.”
Ibu langsung tersenyum lebar, lalu cekikikan sendiri. Aku mengernyit, menatap heran. Minta penjelasan. Tapi ibu tetap cekikikan saja sendirian.
“Si Yandhi ini, umurnya berapa?” topik bahasan ibu masih seputar Yandhi.
“Mana Rama tahu. Anak kuliahan lah pokoknya.”
“Bukan guru olahraga tetap berarti di sekolah?”
“Kalau ekskul tuh, pelatihnya jarang yang guru tetap, Bu. Ekskul musiknya Bian, pelatihnya bukan guru sekolah. Ada gitaris sama vokalis dari sekolah musik yang ngajarin mereka. Anak-anak paskibra, pelatihnya mantan-mantan pengibar bendera di istana. Sama kayak coach, di sekolah ya dia cuma ngelatih doang,” aku menjelaskan pada ibu.
“Berarti dia pemain basket? Timnas?”
“Aduh Ibu…Rama gak tahu. Rama gak sedeket itu juga sama coach buat nyari tahu dia kerjanya apa, kuliah di mana, ambil jurusan apa….”
“Ya tapi Ibu kepengin tahu, Ram…”
“Buat apa?” aku bertanya bingung.
“Ada laki-laki sesopan itu sama kamu, usianya di atas kamu, dan kayaknya lagi berusaha deketin anak Ibu, wajar dong kalau Ibu pengin tahu…”
“Wait…wait…stop di situ. ‘Kayaknya lagi berusaha deketin anak ibu’, itu harus diapus deh, Bu,” aku mengoreksi.
“Hahahahaha...dasar gak peka… Dia itu suka sama kamu.”
“Diiih, Ibu apaan deh. Rama itu sukanya cuma sama Bian. Abian Akhadiyat Biraja,” aku menegaskan.
“Orang udah punya pacar kok masih diharepin. Yang udah jelas-jelas ada di depan mata aja yang dikejar. Emang kamu gak sadar, dari tadi kamu ceritain Yandhi, muka kamu blushing terus.”
Aku lalu mengambil napas panjang. Kalau dipikir-pikir, menceritakan tentang Bian pada ibu, rasanya tidak pernah semenyenangkan tadi saat aku bercerita tentang Yandhi.
“Besok-besok kalau dia antar kamu pulang dan ibu ada di rumah, kamu suruh dia mampir ya."
“Mau ngapain?”
“Ya Ibu mau kenalan lah. Mau bilang makasih, karena udah perhatian sama anak Ibu.”
“Iiih, jangan macem-macem ya, Bu,” kataku sambil mengambil minum dan berdiri, bermaksud menyudahi sesi curhat kami. “Jangan sampe bikin aku malu di sekolahan, Bu,” aku setengah berteriak saat meninggalkan ibu sendirian di meja makan.
***
Aku meletakkan beberapa bantal di kakiku, agar posisinya lebih tinggi dari kepala. Saat mencoba mendatangkan rasa kantuk, bayangan soal Yandhi tiba-tiba terus-terusan menggempur. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Tidak…tidak….ini hanya euforia karena ia memperhatikanku saja. Next time ketika latihan, detak jantung ini pasti sudah kembali normal.
Sebuah tangan kekar tiba-tiba memelukku hangat. Ray datang. Gila, bagaimana bisa aku melupakan kemarahan Ray saat tadi bercerita dengan ibu. Biasanya kalau Ray ngambek, aku selalu cerita pada ibu.
“Ini pertama kalinya gue kelempar gitu aja pas lagi sama lo, Ram. Biasanya gue pergi atas keinginan gue sendiri. Tadi, kontak fisik lo sama dia, bikin gue out of nowhere,” Ray tiba-tiba mengungkit soal pertengkaran kami tadi siang.
Aku membalikkan badanku ke arahnya. Kami saling bertatapan, seperti biasa. Aku melihat ada ketakutan di mata Ray.
“Lo jangan dekat-dekat sama dia ya, Ram,” pinta Ray.
“Kenapa?” aku bertanya bingung.
“Kayaknya, kalau lo dekat sama dia, gue nggak bakal punya tempat lagi di samping lo.”
Aku memejamkan mata paksa. Tidak ku-iya-kan permintaan Ray. Kuanggap teorinya sudah berlebihan. Aku hanya ingin beristirahat malam ini. Kugerak-gerakkan kaki kiriku yang masih diperban, agar rasa nyeri itu bisa kurasakan, walaupun cuma sedikit. Setidaknya, rasa nyeri ini bisa membuatku mengingat Yandhi dengan jelas.
“Why you so blushing?” tanya Ray, sambil mendekatkan wajahnya padaku.
Aku membuka mataku. Ray menatap penuh curiga. Debaran di dadaku makin tak karuan.
“Nothing. I’m tired,” jawabku sambil menarik selimut sampai menutupi kepalaku.
***
Keesokan harinya, waktu aku bersiap akan berangkat sekolah, ibu masuk ke kamarku dengan muka heran.
“Kamu minta Yandhi buat jemput ke sekolah?” tanya ibu.
“Enggak. Emang kenapa Bu?” aku balik bertanya, keheranan.
Ibu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Cepetan pakai baju, terus sarapan. Yandhi udah nungguin kamu buat berangkat bareng ke sekolah. Dia bilang, kaki kamu belum boleh jalan lama-lama dulu.”
Dadaku deg-degan. Gila! Dia benar-benar muncul untuk mengantarku ke sekolah, padahal aku sama sekali tidak memintanya. Aku lalu cepat-cepat memakai baju dan menguncir rambutku seadanya. Kusambar cardigan dari gantungan, dan keluar kamar secepat kilat. Di ruang tamu, aku sudah melihat Yandhi ada di sana sambil mengobrol dengan ibu. Jantungku makin tidak karuan.
“Sarapan dulu Ram, baru berangkat,” kata ibu.
“Gak usah Bu, Rama nggak lapar. Mau langsung berangkat aja,” tolakku, dan tidak bisa mengalihkan pandangan mataku dari Yandhi.
“Masih sempat buat sarapan kok, Ka. Sarapan aja dulu, aku tungguin,” Yandhi kali ini bicara langsung padaku.
Aku hanya menggeleng saja. Dengan detak jantung seperti ini, dan perut yang bergolak, mana bisa aku sarapan. Bisa-bisa nanti aku mual.
Aku dan Yandhi berpamitan pada ibu. Yandhi lalu membukakan pintu mobilnya untukku. Di dalam mobil, aku melihat Ray sudah duduk di kursi belakang. Mengklakson sekali, Yandhi lalu menggas pelan mobilnya dari depan rumahku. Sepanjang jalan, ia hanya senyum-senyum sendiri saja.
“He’s crazy, you know? Gak ada angin nggak ada apa, dia senyum aja gitu dari tadi,” komentar Ray dari kursi belakang. Aku mendiamkannya.
“Kaki kamu gimana? Masih sakit?” tanya Yandhi sambil melihat ke arah kakiku.
“Udah gak terlalu kok, Coach. Udah bisa dibawa jalan,” aku menjawab dengan suara pelan. “Aku kan nggak telepon buat minta jemput, Coach. Kok tiba-tiba datang buat jemput ke sekolah?” aku bertanya bingung pada Yandhi, tapi dalam hati luar biasa senang.
“Sekalian jalan. Aku ada kuliah pagi, jadi sekalian aja aku antar kamu ke sekolah,” jawabnya, sambil sesekali melihat ke arahku.
“Emang kampus dia dekat dari sekolah lo, Ram?” tanya Ray.
“Kampus Coach, dekat dari sekolahan?” aku mencoba memastikan pertanyaan Ray, dan juga mencari tahu bahwa kata ‘sekalian jalan’ itu memang benar-benar kampusnya searah dengan sekolahku.
“Nggak,” jawabnya enteng.
“Kalau gitu bukan sekalian dong, Coach?”
“Sekalian kok, kan sama-sama masuk pagi. Kamu sekolah pagi, aku kuliah pagi,” ucapnya sambil menoleh kepadaku, dan lagi-lagi masih senyum-senyum sendiri.
“Ah, fuck!” ucap Ray dengan nada kesal.
Aku menggigit bibir, berusaha untuk tidak senyum-senyum sendiri seperti dia. Sama sekali tidak ada topik obrolan yang ingin aku bicarakan. Aku hanya ingin menikmati keadaan ini. Ray sepertinya tidak terima dengan atmosfer ini. Dari belakang kursi, ia lalu mendekap bahuku. Aku tahu, pelukannya ingin menunjukkan bahwa ia juga ada di sini, bersama kami.
Waktu mobil Yandhi akan memasuki area sekolah, aku baru dilanda kebingungan. Bukan tidak mungkin ada anak tim yang melihatku turun dari mobilnya. Ini bisa jadi bahan gosip. Aku tidak ingin jadi bahan pembicaraan anak-anak tim lagi. Sudah cukup aku jadi bahan omongan saat Bian menolakku dulu.
“Coach stop…” aku memintanya berhenti.
Ia lalu meminggirkan mobilnya dan berhenti. Ia menatapku khawatir. “Kenapa Ka?”
“Aku turun di sini aja deh,” ucapku sambil membuka seat belt, dan bersiap memakai tas.
Ray, yang masih memeluk dari belakang, melonggarkan pelukannya agar aku bisa memakai tasku. Dengan cepat, Yandhi menahanku. Tangannya memegang lenganku agar aku tidak turun. Seketika, pelukan Ray terlepas begitu saja. Aku celingukan menoleh ke belakang, mencari dirinya.
“Kamu kenapa Ka?” nada suara Yandhi semakin khawatir.
“Ray hilang,” jawabku.
“Dari tadi Ray ikut sama kita?” ia bertanya takjub.
“He hugged me all the way.”
Yandhi menarik napas panjang, dan memandangku tidak percaya. “Lucky bastard,” gumamnya pelan.
Aku lalu bersiap untuk turun dari mobilnya. Yandhi tetap menahanku dan memegang lenganku.
“Kenapa sih, kok mau turun di sini?” Yandhi bertanya bingung.
“Aku nggak mau ada anak tim yang lihat aku diantar sama Coach. Nanti malah jadi omongan anak-anak. Aku turun di sini aja ya,” pintaku.
“Biar aku yang jelasin ke anak-anak kalau ada yang lihat,” Yandhi meyakinkanku.
Aku masih berusaha untuk tetap turun. Dari spion luar, kulihat Arki sedang mendekat dengan menaiki papan skate-nya. Aku langsung berusaha melepaskan pegangan tangan Yandhi.
“Aku bareng Arki aja. Tuh dia anaknya,” aku lalu membuka pintu mobil cepat-cepat.
Untungnya tidak ada anak tim yang lewat saat aku turun. Aku langsung mencegat Arki, dan menahannya. Arki bingung melihatku turun dari mobil. Ia lalu menunduk untuk melihat aku turun dari mobil siapa. Ketika dilihatnya Yandhi di kursi kemudi, Arki tertawa ke arahku.
“Morning, Coach,” sapanya.
“Morning Ar,” balas Yandhi.
“Nginep di rumah Rama, Coach?” tanya Arki dengan nada menggoda.
“Hopefully…someday,” Yandhi menjawab godaan Arki sambil tertawa juga.
Aku hanya menunduk saja ke arah Yandhi, dan mengucapkan terima kasih. Dengan cepat, aku berjalan menjauh dari mobilnya. Arki lalu menyusul dan merangkulku. Aku tahu, seharian ini, dia pasti akan mengorek cerita tentang aku dan Yandhi.
***
Sudah lewat beberapa minggu sejak Yandhi mengantarku ke sekolah. Kali ini, setiap selesai latihan, ia selalu menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku masih selalu menolak, karena tidak ingin jadi bahan omongan di tim. Arki, yang setuju-setuju saja kalau Yandhi mau mengantarku pulang, selalu menggoda setiap ada kesempatan. Bian, setelah mendengar cerita Arki bahwa Yandhi mengantarku ke sekolah waktu itu, kesal setengah mati. Dia bilang, pelatih basket tidak boleh pilih kasih. Ray tidak jauh berbeda dari Bian. Ia juga kesal karena ia sudah beberapa kali terlempar kalau aku mulai dekat dengan Yandhi.
Hari ini, aku seharian merongrong Bian agar ia mau mencarikan tiket pertandingan basket yang ingin kutonton. Satria Muda vs Aspac. Aku kehabisan tiket mereka, dan aku tahu kalau Bian sudah memiliki tiket untuk pertandingan sore nanti dari Lia.
“Abiaaaaan, ayolah, minta dua tiket lagi buat gue sama Arki. Kalau nggak bisa dua tiket, satu juga nggak apa-apa kok. Nanti gue bisa pergi naik taksi atau nebeng sama anak-anak tim yang mau nonton,” aku mengguncang-guncang tangan Bian saat mampir ke kelasnya.
“Yang punya tiketnya Lia, Ram, bukan gue. Gue aja diajak sama dia. Kalau tiketnya gue yang pegang, bakalan gue kasih buat elo.”
Aku menghentakkan kaki dan tanganku dengan kesal. Aku keluar dari kelasnya dengan muka super cemberut. Di lapangan, aku melihat Arki dan teman-teman pembuat onarnya sedang panas-panasan bermain skate. Heran, setahuku sekolah ini tidak memperbolehkan membawa papan skate ke sekolah. Entah bagaimana Arki dan genk-nya bisa santai bermain skate, tanpa menerima hukuman sama sekali.
“Arkiiiiiiii…!!!” teriakku ke arah lapangan.
Arki menoleh, menginjak papan skate-nya sampai terbang, dan mengambilnya. Ia lalu berseluncur menghampiriku.
“Kenapa komuk lo ditekuk gitu?” tanya Arki cengengesan.
“Gue belom dapat tiket SM-Aspac,” ujarku frustasi.
“Ya udah, sekali doang nggak nonton mereka juga nggak bikin lo mati.”
“Tapi Bian punya tiketnya. Dia nggak mau ngasih ke gue,” aku minta dukungan dari Arki, agar ia mau bicara pada Bian untuk memberikan tiketnya padaku.
“Kok pelit dia?” Arki terdengar seperti akan mendukungku.
“Soalnya tiketnya dia dipegang Lia.”
“Heuuh, itu mah bukan dia nggak mau ngasih, tapi emang dia nggak megang tiketnya. Udah, sabar aja. Siapa tahu nanti pas lo abis latihan, ada anak tim yang mau jual tiketnya ke elo,” kata Arki menyemangati.
Aku bersungut padanya. Kukira, ia akan mencoba bicara pada Bian untuk membujuk Lia memberikan tiketnya padaku.
“Lo kok bisa sih, main skate di lapangan tapi nggak kena hukum guru?” aku bertanya bingung.
“Makanya temanan sama Nando,” kata Arki sambil menunjuk salah satu temannya pembuat onarnya yang sedang melakukan freestyle skate di lapangan. “Bapaknya anggota dewan, jadi dia udah dititip bapaknya ke kepsek. Otomatis teman-temannya, termasuk gue, udah dititip juga ke kepsek,” jelas Arki sambil cengengesan.
“Bokap lo kan politisi. Kenapa lo gak dititipin juga sama bokap lo?” aku bertanya bingung.
“Kalau bisa nebeng, ngapain ribet,” jawab Arki santai. “Eh, gue minta nomor coach, dong,” kata Arki tiba-tiba.
“Buat apa?” aku bertanya bingung.
“Si Rengga ribut mau masuk tim inti di SMP. Latihan di sekolah aja kayaknya nggak cukup. Siapa tahu coach mau ngasih latihan privat buat dia,” kata Arki.
Rengga adalah adik bungsu Arki. Berbeda dari Arki yang tergila-gila dengan skate, Rengga sepertinya memilih menjadi normal untuk menyukai basket. Aku lalu merogoh kantung rokku, mengambil handphone dan mencari nama Coach. Aku menyodorkan nomornya untuk dicatat oleh Arki di handphone-nya. Setelah mencatat, Arki lalu menyuruhku untuk masuk kelas, agar dia bisa kembali lagi main di lapangan.
Hari ini rasanya hidupku tidak semangat. Latihan nanti pun enggan untuk kuhadiri. Aku hanya ingin bermuram durja saja seharian.