Dua tahun aku menyelesaikan S2 di Singapura. Sesekali pulang ke Jakarta waktu libur semester, selebihnya mengasingkan diriku di sana dan mengambil banyak part time job. Waktu pulang ke Jakarta untuk pertama kalinya, aku langsung mendatangi sekolah Kania. Di ruang olahraga, saat jam latihan, aku sama sekali tidak menemukan Kania. Teman angkatannya bilang, kalau selepas acara perpisahan di rumahku waktu itu, Kania tidak masuk sekolah sampai tahun ajaran baru tiba. Saat sudah resmi menjadi senior, Kania malah mengundurkan diri dari tim basket putri dengan alasan kesehatan.
Aku sempat bertemu Arki. Untung saja aku ketemu Arki, bukan Bian. Arki bilang, setelah kejadian di rumahku, Kania hanya mengurung diri saja di kamarnya. Setiap hari ia hanya bertengkar dengan Ray. Sampai akhirnya pada pertengkaran kesekian, Kania mulai membanting apa saja dalam kamarnya. Ia mengunci kamarnya. Ibu panik, dan meminta tetangganya untuk mendobrak pintu kamar Kania. Kania hancur babak belur. Kamarnya berantakan, dan ibu menemukan beberapa sayatan di sekujur tubuh Kania. Ia dilarikan ke rumah sakit.
Aku tidak ingin mendengar kelanjutan ceritanya, karena itu saja sudah membuatku hancur luluh lantak. Aku merasa, sudah tidak berhak lagi muncul di hadapan Kania. Saat itu, aku seratus persen menyalahkan diriku. Bagaimana bisa, demi mengejar ambisiku, aku mengorbankan kehidupan seseorang sampai terpuruk seperti itu.
Akhirnya, aku tidak pernah datang lagi ke sekolah Kania. Kuputuskan kalau bukan aku yang pantas untuk menjadi pacar Kania. Mungkin Bian bisa lebih baik dariku. Arki sempat cerita, kalau selepas kejadian di rumahku, Abian dan Lia putus. Setelah putus, perhatian Abian diberikan seratus persen untuk Kania.
Sudah tidak ada lagi keinginan untuk kembali setelah dua tahun aku menyelesaikan master degree-ku. Aku terus melanjutkan untuk menerima pekerjaan di Singapur sampai tujuh tahun sesudahnya. Total, sudah hampir sembilan tahun kuhabiskan untuk sekolah dan bekerja di Singapura. Kania sudah bukan lagi menjadi prioritasku.
Dalam satu dan banyak hal, saat aku ingin memulai hubungan yang serius dengan perempuan, bayangan Kania selalu muncul. Beberapa kali hubunganku kalah dengan kenangan akan Kania. Ada dua hubungan sebenarnya yang bisa membuatku lupa akan Kania.
Hubungan pertama dengan Michelle, teman satu angkatanku saat mengambil master degree. Orangnya menyenangkan. Bisa menebak jalan pikiranku. Sayangnya, ketika kami lulus, ia mendesakku untuk segera menikah. Aku belum siap. Jadi, kulepaskan saja dia. Michelle kini sudah menikah dan punya dua anak.
Hubungan kedua yang ingin kuseriusi, adalah dengan Benazir. Bena. Berdarah Arab-Amerika, Bena sosok yang luar biasa cantik dan sempurna. Hubunganku kandas, lagi-lagi karena paksaan menikah. Kali ini bukan karena ketidaksiapan, tapi karena pengkhianatan. Bena mendesakku untuk segera menikahinya. Aku, yang waktu itu sudah bekerja tiga tahun dan merasa cukup mapan untuk membina rumah tangga dengan Bena, setuju untuk menikahinya. Hanya saja, dalam perjalanan menuju Amerika untuk menemui orang tuanya, di pesawat, Bena pendarahan hebat. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tim medis yang ada di pesawat segera merawat Bena. Bahkan sebelum mendarat, salah satu pramugari mengajakku bicara dan mengatakan kalau Bena keguguran. Wait…wait…I always using protection while having sex with her. Jadi ketika kami mendarat, dan Bena langsung dilarikan ke rumah sakit dengan ambulance, aku memutuskan untuk tidak mau melanjutkan rencana bertemu keluarganya. Di rumah sakit, saat ia sudah siuman, aku tidak menuntut penjelasan apa-apa. Bena hanya menangis, dan mengatakan maaf ratusan kali. Ia mengatakan kalau anak yang dikandungnya adalah anak dari sahabatnya. Perasaanku sudah lenyap untuknya. Aku hanya bertahan di rumah sakit sampai ia pulih, dan memutuskan untuk kembali ke Singapur.
Setelah Bena, aku tidak memiliki keinginan untuk cepat-cepat mencari pacar baru. Perempuan lain yang datang selama ini, hanya singgah sementara. Di setahun terakhir, sebelum kepindahanku kembali ke Jakarta, entah kenapa bayangan Kania terus-menerus lewat di kepalaku. Mimpi-mimpiku selalu tentang dia. Entah kenapa, perempuan yang aku sadar memiliki mental illness itu, bisa membuat hatiku hangat saat mengingatnya.
Bilang aku kolot, cheesy, atau innocent, tapi sejak pertama kali ia datang ke lapangan untuk ikut tes masuk anggota inti, jantungku sudah tidak berdetak secara normal lagi saat melihatnya. Awalnya, ia adalah peserta pertama yang muncul, bahkan sebelum aku datang. Di ruang olahraga yang kosong, aku melihatnya duduk sendiri di pinggir lapangan. Pandangannya matanya jauh menerawang, kosong. Sampai akhirnya ia berbicara, entah dengan siapa.
“Dan lo lihat dia daftar ekskul musik? Fucking asshole! Setelah setahun kemarin dia ngeracunin gue sama semua hal tentang Kobe Bryant, Yao Ming, Tim Duncan!!! Aaarrggh!!!”
Aku melihat mata yang tadi hanya menerawang saja, kini terlihat frustasi. Ia terus-terusan menoleh ke sebelah kanan, seolah-olah ada orang yang diajak bicara. Sampai setengah jam ke depan, anak ini hanya mengobrol sambil marah-marah sendiri saja. Dari obrolannya, yang entah dengan siapa, ia merasa telah tertipu karena harus masuk ekskul basket.
Waktu aku mulai mengabsen, aku terus memperhatikan anak-anak kelas satu yang namanya kusebut. Anak itu belum juga mengangkat tangannya. Sampai pada anggota tim putri terakhir, ia tetap tidak mengangkat tangan.
“Coach, saya belum dipanggil,” ia akhirnya mengangkat tangannya.
“Sudah isi absen?” tanyaku, yang juga bingung, dan mengecek ulang nama-nama yang sudah kuberi stabilo pink untuk anggota tim putri.
“Sudah, Coach. Ramadhani. Ramadhani Kania Sujaswanto.”
Aku lalu mengecek lagi. Shit. I gave her name blue mark.
“Ah, maaf kelewat. Oke, Ramadhani,” kataku sambil meniban warna pink pada stabilo biru namanya. Why she has a boyish name?
Saat tes untuk anggota tim inti berlangsung, hanya anak ini saja perwakilan kelas satu yang bisa mengimbangi kecepatan dan ketangkasan anggota inti yang lebih senior. Tentu saja ia menjadi calon tunggal anak kelas satu untuk bisa masuk tim inti. Lalu buat apa tadi dia marah-marah?
Setelah tes dan pengumuman tim diumumkan, aku beres-beres pulang. Kulihat dia masih duduk-duduk santai di pinggir lapangan, melihat anak-anak tim putra sedang bermain. Aku sebenarnya ingin menghampiri dan mengajaknya ngobrol, tapi rasanya hari ini bukan waktu yang tepat. Masih banyak waktu. Saat melewati ruang loker, aku mendengar beberapa anak kelas dua, Lia cs, sedang membicarakan Rama.
“Gila ya, nggak pernah tuh ada sejarahnya anak kelas satu masuk tim inti. Lo bisa bayangin kayak apa besar kepalanya nanti dia.”
“Pasti sok-sok akrab sama kita, belagu di sekolah, karena merasa punya backing senior di tim.”
“Lo juga sih, Mar, udah tahu hari ini mau ada tes tim inti, tapi kenapa kemampuan lo gitu-gitu doang sih? Nyerang kek, nge-shoot kek, malu lo dikalahin sama anak kelas satu.”
Aku sudah bisa memprediksi apa lagi yang akan kudengar. Aku hanya bersandar saja pada dinding agar tidak kelihatan. Saat mereka keluar, aku lalu menunggu Rama keluar dari ruang olahraga. Saat ia keluar, ia berlari kecil ke arah pos satpam. Sudah ada dua orang laki-laki yang melambai padanya. Nekat, aku memanggilnya.