Checkmate! Orang yang paling ingin kuhindari ternyata malah menabrakku.
“Ram, lo nggak apa-apa?” tanya Abian, kebingungan, karena mendapatiku terdiam dan, mungkin, pucat pasi.
“Nggak apa-apa. Kita cabut sekarang, boleh nggak? Gue pusing di sini,” ucapku beralasan sambil menghindari kontak mata dengan Yandhi.
Bian lalu mengangguk sambil menggandeng tanganku. Ia masih belum sadar, siapa yang kuhindari. Baru saja Bian mengajakku keluar, Yandhi sudah menahan kami. Rasanya adegan ini bukan yang pertama kali pernah terjadi.
“Kania, bisa bicara sebentar?” Yandhi berdiri tepat di depan aku dan Bian.
Kurasakan tangan Abian juga mengencang pada lenganku yang satunya. Bian sudah mulai sadar, dengan siapa kami akan berurusan malam ini.
“Menghindar, dorong dia, Ram,” kata Ray, memberi instruksi.
Mengikuti saran Ray, aku lalu menabrak lengan Yandhi dan melewatinya. Aku memperkuat peganganku pada Bian, karena merasa sebentar lagi akan tumbang. Kami lalu berjalan cepat ke parkiran. Bisa kulihat, Arki dan Sashi juga mengikuti kami ke parkiran. Dan tidak perlu dipastikan juga, kalau Yandhi pun akan mengikuti kami.
Sampai di parkiran, napasku tercekat. Rasa sesak yang tiba-tiba datang ini membuatku seperti kehabisan napas. Kuambil napas panjang, tapi selalu terputus. Kupukul-pukul dadaku, agar rasa sesaknya keluar.
“Rama, relax. Gue di sini, dan nggak akan biarin dia untuk dekatin lo,” Bian mencoba menenangkanku.
“Tenang ya Ram. Dia nggak akan bisa nyakitin lo lagi,” kali ini, Ray merangkulku ke dalam pelukannya.
Aku tahu, Bian dan Ray tidak akan mungkin meninggalkanku. Kulihat Arki dan Sashi juga sudah datang menghampiri. Sashi langsung maju ke arahku dan memeluk kencang.
“It’s okay…it’s okay…Ada gue, Arki, sama Bian. Lo nggak sendirian. You need to relax, Ram,” kata Sashi yang masih memeluk erat tubuhku.
Rasa sesaknya tetap tidak mau keluar. Aku mau rasa sesak ini keluar. Aku tidak suka rasa terhimpit yang bisa membuatku mengingat kejadian menyakitkan dalam hidupku.
“Dia kenapa?”
Suara Yandhi terdengar olehku. Aku makin kencang mencengkeram pelukanku pada Sashi.
“INI SEMUA GARA-GARA LO, BANGSAT!” Ray tiba-tiba mengamuk dan melepas rangkulannya padaku. Dihampirinya Yandhi, bersiap untuk memukulnya. Sayang, kepalan tangannya yang sudah mau melayang, terhalang oleh Arki, yang kini memblokade jalan Yandhi untuk menghampiriku.
“Coach, she needs time,” kata Arki, yang mencoba menghentikannya.
“Ka, are you okay?” Yandhi mengacuhkan Arki, dan bertanya langsung padaku. Aku masih membenamkan wajahku di pelukan Sashi, dan menekan dadaku kencang, karena rasa sesaknya masih bersarang di dadaku.
Aku melihat Bian maju dan langsung mengcengkeram kerah baju Yandhi. Yandhi menahan, dan bersiap melakukan pertahanan diri. Tidak. Pertengkaran fisik bukan hal yang kuinginkan sekarang. Aku masih menenggelamkan kepalaku di pelukan Sashi, berusaha bernapas secara normal.
“Lo bisa pergi sekarang gak?!!” Bian meminta, atau lebih tepatnya memerintah Yandhi untuk pergi dari sini.
“Gue pergi kalau Kania yang minta gue untuk pergi!” jawab Yandhi, menantang.
“Udah Bi, lo bawa Rama pulang sekarang,” perintah Arki. “Yang, kamu temanin Rama di mobil Bian, aku ikutin kamu dari belakang,” jelas Arki pada Sashi.
Abian membuka pintu mobil tengah. Aku langsung masuk bersama Sashi. Baru saja pintu ditutup, tangisku sudah pecah. Meraung. Aku yakin, suara tangisku bisa terdengar sampai ke luar. Kali ini, aku bisa merasakan Ray mendekap dari belakang.
“I’m here Ram. We’re here,” ucap Ray dengan tangan yang gemetaran memelukku.
***
Udara malam ini di lapangan terasa sangat dingin. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, atau badanku yang sedang tidak fit, entahlah. Sepanjang jalan menuju rumah, aku hanya bisa meraung sekeras kubisa. Sashi tetap memegangi tanganku, karena aku tidak henti memukul-mukul dadaku. Ray mencoba mengunciku beberapa kali, tapi selalu bisa kulepaskan.
Aku meminta Bian untuk tidak langsung pulang ke rumah. Kusuruh dia untuk berhenti di lapangan komplek rumahku. Untungnya, sedang tidak ada siapa-siapa di sana.
Aku duduk di pinggir lapangan, ditemani Sashi dengan perutnya yang sudah membesar. Usia kehamilannya sudah masuk trimester kedua, tapi ia masih bersedia duduk di bawah, di sampingku. Ray dan Bian sementara itu, hanya berjalan mondar-mandir saja di depanku. Kulihat mobil Arki dan Range Rover berwarna silver berhenti di belakang mobil Abian. Mobil silver itu pasti milik Yandhi.
Arki turun dari mobil, diikuti oleh Yandhi. Arki masih menahannya untuk tidak mendekatiku. Ray memutuskan untuk turun dan menghampiri Arki, mungkin ikut ambil bagian untuk menahan Yandhi. Bian akhirnya duduk di hadapanku. Sesekali matanya memandang marah ke arah Yandhi dan Arki yang sedang bicara. Aku percaya, Arki lebih bisa menangani Yandhi dibanding Bian.
“Lo udah enakan, Ram?” tanya Bian.
Aku menggeleng.
“Lo tahu kalau dia bakal muncul di nikahan Nova malam ini?” tanya Bian lagi.
Lagi-lagi, aku menggeleng.
“It’s been nine years, Ram. Lo pasti udah lupain dia, kan?”
Aku memandang Abian. Aku tahu, pertanyaannya penuh kekhawatiran akan posisinya saat ini. Ia pasti tahu, kembalinya Yandhi bisa lebih membahayakan posisinya dibanding aku balikan lagi dengan Januar.
“I don’t know…” jawabku pelan dan tercekat.
“Gue gak mau lo disakitin lagi, Ram. Gue gak mau dia nyakitin lo lagi. Lo udah lupain dia kan, Ram?” Bian mengulang pertanyaannya.
“Sorry nih Bi, gue emang nggak tahu detail cerita SMA kalian, cuma tahu dari cerita Arki doang. Gue juga cuma tahu tentang coach, ya dari cerita Arki doang. Bukannya mau ikut campur, tapi perkara udah berapa tahun coach ninggalin Rama, kayaknya lo nggak bisa maksa Rama harus lupa sama dia deh, Bi,” kata Sashi pada Abian.
Balasan omongan Bian untuk Sashi terhenti oleh kedatangan Arki. Arki lalu berjongkok di depanku, dan menatapku serius.
“Dia mau ngomong sama lo, Ram,” kata Arki.
“Ya nggak boleh dong!” Bian meyambar menjawab Arki.
“Bukan keputusan kita Rama boleh atau nggak untuk ngomong sama coach. Itu keputusan Rama, haknya dia,” Arki mendebat Bian.
“I thought you’re my best friend. Our best friend!” Bian memojokkan Arki.
“Gini ya Bi, gue bukan mau memihak siapa-siapa. Gue nggak memihak lo, nggak memihak coach, dan juga nggak memihak Rama. Kita semua di sini punya hak masing-masing. Walaupun udah sembilan tahun, tapi coach punya hak untuk ngasih penjelasan ke lo,” kata Arki padaku.
“Lo juga punya hak, untuk mau atau nggak mau nerima penjelasan dari dia,” Arki masih fokus padaku. “Dan kita berdua,” ucapnya ke arah Bian. “nggak berhak ikut campur urusan mereka,” Arki menegaskan.
Aku menoleh ke belakang, dan melihat Yandhi masih berdiri, melihat kami, melihatku, di depan mobilnya. Ray sudah tidak ada. Mungkin sudah terlempar lagi. Aku lalu menatap Sashi.
“I’m sorry…I’m sorry…” ucapku lirih, tapi tidak bisa melanjutkan kalimat, bahwa aku minta maaf karena sudah membuatnya duduk di bawah menemaniku, bertahan memelukku, padahal aku selalu berusaha untuk melepaskan diri dan mendorongnya, serta tidak pergi ke mana-mana sampai saat ini.
“I know Rama,” balas Sashi, yang sepertinya mengerti maksud dari permintaan maafku. “Buat gue, yang penting lo baik-baik aja. Lo gak akan pernah sendirian. Lo harus ingat itu ya, Ram,” ucap Sashi padaku.
Aku lalu memeluknya lagi, lalu mencoba berdiri. Arki mengulurkan tangannya pada Sashi, dan langsung merangkulnya saat berdiri. Bian kini berdiri di hadapanku. Matanya memohon agar aku tidak mau mendengar penjelasan dari Yandhi.
“Lo benar, it’s been nine years. Gue udah berubah, dan dia juga pasti udah berubah. Dia mungkin udah punya istri, udah punya anak, atau malah lagi dalam proses cerai. Who knows? Apa pun keadaan dia sekarang, gue tetap butuh dengar penjelasan dia, Bi. Kalau nggak, rasa sakitnya akan terus kebawa sampai kapan pun,” jelasku.
Bian menghela napas panjang. Amarah di matanya kulihat mereda.
“Gue antar lo pulang ya,” ucap Bian.
Aku mengangguk.
“Nanti biar gue yang suruh coach buat ikutin kalian,” kata Arki padaku.
Aku dan Bian berjalan kembali ke mobil. Kulihat Arki bicara pada Yandhi, dan Yandhi langsung masuk ke mobilnya untuk mengikuti kami.
Sampai di depan rumahku, Arki mengklakson sekali dan langsung pergi. Aku dan Bian turun dari mobil. Bian lalu memegang kedua bahuku, dan menatapku cemas. Aku bisa melihat kami disorot oleh lampu mobil Yandhi yang baru saja tiba. Ia keluar, dan menunggui kami di depan pintu mobilnya.
“Dia nyakitin lo lebih dari Dita nyakitin gue, Ram. I’m just trying to protect you,” kata Bian sambil meremas pundakku.
Perlahan, kugerakkan kedua tanganku untuk memegang lengan Bian. Aku tahu, perasaannya pasti sedang cemas sekarang.
“I know, you always protecting me all the time, and still will. Setelah sembilan tahun luka gue tanpa kejelasan, karena keegoisan gue sendiri, kayaknya udah saatnya gue berusaha untuk sembuh, Bi,” jelasku.
“Dan kalau ternyata lo nggak sembuh juga?” Bian menuntut.
“At least I try,” ucapku sambil melepaskan lengan Bian.