Pasca pertemuanku dengan Yandhi, orang-orang terdekatku tiba-tiba berubah menjadi protektif. Bian, yang entah tiap berapa jam sekali, selalu menelepon atau mengirim chat, mengecek keberadaanku. Arki, yang dalam sehari bisa mengirim empat sampai lima jokes garing lewat chat, berharap aku bisa tertawa dan tidak stres memikirkan Yandhi.
“Asli ya, waktu gue putus sama Januar, mereka nggak gini-gini amat kayaknya!” aku mulai kesal karena handphone-ku tidak berhenti berbunyi.
“Everyone worried about you,” Ray kali ini sepertinya ada di pihak Bian dan Arki.
“Why they have to? Gue toh nggak berencana buat kawin lari sama Yandhi!” aku mengomeli Ray di ruang redaksi.
Untungnya hanya ada Boy, Redaktur Pelaksana Boga, dan Baron di sana, mereka yang sudah terbiasa dengan kemampuanku berbicara sendiri.
“Take a breath, Rama. Deadline tomorrow,” kata Boy sambil tetap fokus ke monitornya.
Ray kini menarik kursi terdekat dan duduk di sebelahku. “Kita bukan takut lo kawin lari. Kita cuma takut dia nyakitin lo lagi,” kata Ray sambil menatap mataku.
“It’s been nine years, Ray. Mungkin sekarang bisa aja gue yang nyakitin dia. We’ll never know?”
Ray mengangguk. Aku tahu, anggukannya bukan seratus persen tanda setuju. Ia hanya tidak mau membebaniku saat ini. Tidak di saat deadline besok.
“Sekarang gue mau ngetik dulu ya. PR gue masih banyak,” kataku pada Ray.
Ia lalu beranjak dari duduknya, dan keluar lewat pintu belakang. Sementara aku meletakkan handphone yang sudah di silent, dan mulai fokus pada artikel skizofrenia yang sedang kukerjakan.
***
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, waktu Baron menegurku. Aku melihat ruangan yang sudah kosong.
“Anak-anak udah pada pulang. Lo udah hampir dua jam ngetik tanpa jeda. Sadar nggak sih lo, ruangan udah kosong gini?” katanya sambil memakan pisang.
Aku lalu melakukan stretching dan melihat sekeliling. Benar saja, hampir semua meja sudah kosong sekarang. Kuambil gelas air minum yang isinya sudah setengah, lalu meminumnya.
“Masih ngerjain skizo?” tanya Baron.
“Iya nih. Besok pagi Bu Donna mau lihat dulu soalnya. Jadi, gue deadline-nya malam ini deh.”
“Udah beres?”
“Udah, tinggal closing cerita aja sih.”
“Jadinya ngambil angle apa?” tanya Baron, yang kini duduk di tempat Ray tadi duduk.
“Penderitanya. Mantan skizonya. Dia selalu dengar suara yang bilang kalau dia itu Tuhan.”
“Anjiir. Serem yaaa.”
“Lo sendiri ngapain masih di sini?” aku gantian bertanya.
“Abis milihin foto. Tyas tuh bawel banget. Udah gue bikin di bank naskah, tapi dia minta lihat mentahnya. Jadinya gue kirimin deh tuh 25 foto buat dia pilih ulang,” Baron setengah ngedumel.
“Kenapa dia nggak milih sendiri?”
“Dari tadi sore dia udah jalan liputan fashion show. Paling pulang tengah malam tuh anak.”
“Jemput lah. Masa udah tahu dia pulang tengah malam, lo nggak jemput sih.”
“Aduh Raaam, rumahnya dia di Ciledug. Gue masih belum mau bersahabat sama kawasan Ciledug.”
Aku tersenyum mendengar penjelasan Baron. “Hati-hati, nanti ketulah,” ledekku.
Baron menggelengkan kepala, lalu berjalan menuju mejanya. Ia langsung bersiap untuk pulang.
“Gue balik duluan ya, Ram. Lo nggak apa-apa gue tinggal sendiri?”
“Selow. Awal-awal kerja gue malah hobinya nginap di kantor, Bar.”
“Old sucks days!” makinya sambil tertawa. “Gue cabut ya, Ram. Kalau mau makan pisang, nih ambil di meja gue.”
Aku tidak menjawab, hanya mengangkat jempolku saja ke arahnya. Kuambil handphone dari samping keyboard. Ada sebelas missed call dari Bian, dan chat dari Arki. Aku membuka pesan Arki.
· Ram, lo cepetan angkat teleponnya si Bian deh. Resek tuh orang, udah kayak kebakaran jenggot lo nggak angkat telepon dia!
Aku menghela napas. Kutekan keningku ke meja, untuk menghilangkan rasa pusing yang datang. Tiba-tiba, satpam kantor datang ke mejaku.
“Mba Rama.”
“Astagfirulloh, Pak Hartono bikin kaget saya aja.”
“Maaf Mba, habis saya panggil dari luar tadi Mba Rama nggak dengar. Itu di luar ada yang jemput, Mba.”
Ada yang jemput? Wait, terakhir kali ada yang menjemputku, itu sudah dua tahun lalu. Januar adalah orang terakhir yang pernah menjemputku ke kantor. Belum sempat aku keluar untuk memastikan, Abian sudah berjalan masuk ke ruang redaksi. Pak Hartono meninggalkan kami berdua.
“Ngapain lo ke sini?” tanyaku bingung sekaligus kesal.
“Coba cek handphone lo, berapa belas kali gue coba telepon, dan nggak diangkat sama sekali,” Bian terlihat kesal sekaligus khawatir.
“Gue kan lagi deadline, nggak bisa dong tiap menit cek handphone. Kenapa sih, lo? Gue baik-baik aja kok,” aku mulai sewot.
“Deadline sendirian? Yang lain pada ke mana? Karaokean?” Bian menyindir sinis.
“Gue harus serahin tulisan ini besok pagi ke pemred, Bi. Ini artikel feature eksklusif gue tiap bulan. Malam ini harus gue selesaiin untuk deadline besok.”
“Udah selesai?” tanya Bian.
“Udah. Lo tunggu di luar aja sana, bentar lagi gue keluar.”
***
Sepanjang jalan menuju rumahku, obrolanku dengan Bian banyak bertema nostalgia. Bukan tentang bagaimana dulu aku menginginkannya, tapi tentang hubungan kami dengan orang lain.
“Bi, gue mau nanya deh. Lo dulu kenapa bisa betah banget pacaran sama Lia, sih?”
Abian tertawa kecil. Diliriknya aku sambil geleng-geleng kepala. Mungkin ia menganggap kalau pertanyaanku sangat tidak penting.
“Lia is hotter than you…” Ray menyambar dari kursi belakang. Sejak kapan dia sudah duduk rebah di kursi belakang? Dan kenapa juga ia mengulang kata-katanya yang dulu, saat aku bertanya apa kelebihan Lia.
“Gue tahu nih, lo pasti bakalan kesal setengah mati sama jawaban gue,” kata Bian, masih tetap menahan tawa.
“Apa?”
“Sebenarnya Lia gak semenyebalkan yang lo sama Arki pikirin. Gue bukannya mau ngebelain dia ya, Ram, tapi kalau dia lagi sama gue, dia sama sekali gak menyebalkan.”
“Terus kenapa lo putusin?”
“Karena ada beberapa prinsip, yang akhirnya gak bisa kita jalanin bareng-bareng. Lia tuh anaknya dewasa banget. Mungkin karena dia anak pertama dari enam bersaudara. Waktu dia kelas 3 SMA, adiknya paling kecil belom ada satu tahun. Keluarganya juga biasa-biasa aja. Dia udah diwanti-wanti sama bapaknya kalau gak akan bisa lanjutin kuliah, kecuali dia dapet beasiswa…” Bian menjeda ceritanya.
Aku tersentak mendengar cerita ini. Sisi Lia yang ini, sama sekali belum pernah diceritakan oleh Bian selama kami masih SMA.
“Lia sempat stres. Dia tahu jalur buat dapat beasiswa gak gampang. Jadi kayaknya dia emang pasrah aja mau cari kerja setelah lulus.”
“Terus, prinsip apa yang gak bisa dijalanin bareng-bareng?” aku mencoba mengorek kisah Bian dan Lia.
“Waktu dia udah mau lulus, dia bilang kalau dia bakalan nunggu gue sampe lulus kuliah. Dia janji bakalan setia, kerja yang bener dan nabung. Tapi dia minta setelah gue lulus kuliah, gue langsung nikahin dia. Dia mau melarikan diri dari tanggung jawab sebagai kakak untuk ngebantuin biaya hidup adik-adiknya,” jelas Bian.
“Sorry nih Bi, tapi untuk yang satu ini, gue sependapat sama Lia,” aku menjelaskan.
“Okay, tapi boleh tahu alasan lo apa?” tanya Bian.
“Because family is suck!” Ray menggumam, tapi masih bisa kudengar.
“Buat gue, adik-adiknya sama sekali bukan tanggung jawab Lia. Anak adalah tanggung jawab orang tua. Titik. Don’t produce another, if you can’t afford the previous one. Jadi keinginannya untuk melarikan diri dengan cara menikah, gue rasa gak salah sama sekali,” jelasku.
“Agree…” jawab Bian.
“Ya terus kenapa lo putus?”
“Karena gue yang gak siap jadi pelarian itu, Ram. We can’t predict the future. Oke, waktu itu gue sempat cerita ke Lia, kalau gue berencana mau masuk STAN, biar setelah lulus kuliah, gue bisa langsung dapat kerja ikatan dinas. Tapi gimana kalau, worst case, gue gak masuk STAN? Orang tua gue juga bukan orang kaya yang bisa masukin gue ke kampus swasta keren. Lo tahu kan, jaman kita dulu, info lowongan kerja buat mahasiswa dari kampus swasta itu, dipilih dari kampus swasta mahal. Kalau gue gak lolos STAN, dan cuma bisa kuliah di kampus swasta kelas B, gimana bisa gue nikahin Lia? Gimana bisa gue bikin anak orang nunggu empat tahun, tapi gak ada kepastian apa-apa untuk dia?”
Okay. He still my best friend. Tidak berubah sama sekali. Abian adalah orang yang memegang prinsip sebab-akibat. Dia masih menjadi orang yang lebih dulu memikirkan akibat untuk orang lain, sebelum ia bertindak menjadi penyebab dari akibat itu.
“But you did it. Lo berhasil lolos masuk STAN, and look at you now…” ujarku sambil memerhatikannya. “Lo gak pernah kepikiran untuk cari Lia?” aku bertanya penasaran.
Abian menarik napas panjang. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Dan sepertinya, aku juga harus menghentikan sesi wawancaraku ini. Mungkin ada hal-hal yang memang tidak ingin dibicarakan lebih jauh oleh Bian.
“Bi, menurut lo, Yandhi kayak lo gak?” kali ini aku bertanya random.
“Apa nih maksudnya?”
“Tadi lo bilang kan, gimana bisa lo bikin anak orang nunggu lo empat tahun, tapi gak ada kepastian apa-apa untuk dia. Menurut lo, kenapa dulu Yandhi gak macarin gue, atau at least minta gue buat nunggu, karena alasan yang sama kayak lo, dia gak bisa kasih kepastian apa-apa. Dan sekarang pas dia udah punya semuanya, dia baru nyari gue lagi,” kataku, meminta pendapat Bian.
“Jangan disamain dong, Ram. Buat gue tuh Yandhi brengsek aja, titik. Lo itu inceran dia yang gak pernah dia dapetin. Jadi masih penasaran sampe sekarang,” Bian mencoba menghasutku.
“Lo tuh kenapa benci banget sama dia sih, Bi?” tanyaku penasaran.
“Cemburu…” Ray masih saja menyambar tipis-tipis obrolan kami.
“Lo tahu nggak sih, dulu itu dia dekatin lo karena mau cari tahu tentang Dian. Dia sukanya sama Dian, Ram.”
Aku mengernyit. Oke, teori Bian kali ini melenceng terlalu jauh.
“Wait…wait…wait…topiknya jadi aneh nih. Kenapa sahabat mantan pacar lo jadi dibawa-bawa sama urusan lo ngebenci Yandhi??”
“Lia sendiri yang cerita sama gue, kalau Dian sama Yandhi itu saling suka. Yandhi sengaja dekatin lo buat bikin Dian cemburu!”
“Udah gila nih anak,” aku melihat Ray geleng-geleng kepala dari spion tengah.
“Taik! Yandhi tuh nggak pernah dekat sama Dian. Suka aja nggak, apalagi dekat. Dian aja tuh yang halu sendiri naksir Yandhi, dan ngira kalau Yandhi naksir balik sama dia!”
“Kok lo bilangnya gitu?”
“Lo ingat, kejadian waktu pulang sekolah, lo lihat gue di pinggir jalan? Baju robek, muka dicoret-coret, dan kata satpam sekolah gue dikerjain sama anak kelas tiga?”
“Ram, stop. Lo nggak usah ingat-ingat kejadian itu lagi,” Ray tiba-tiba bangun dan mendekatkan duduknya ke arahku.
Bian mengangguk. Sepertinya ia tidak memerlukan waktu lama untuk mengingat kembali. Mungkin kejadian itu salah satu hal yang paling membekas di otaknya.
“Waktu itu satpam benar, kalau gue dikerjain sama senior. Tiga orang. Dian, Rinda, anak cheers, sama mantan pacar lo tersayang, Lia,” aku menjeda, ingin melihat reaksi Bian. Melihatnya tidak kaget, sepertinya ia memang sudah tahu kalau Lia adalah salah satu orang yang melabrakku dulu.
“Pas mereka ngelabrak gue, Dian bilang kalau gue ini ganjen, suka ngegodain Yandhi. Pacar lo juga waktu itu menuduh gue jual diri ke Yandhi biar gampang dipake. Karena kesal, tuduhan Lia gue balikin ke dia, apa jangan-jangan selama ini dia yang jual diri ke elo biar gampang dipake. Dan, blast…terjadi gitu aja. Rinda nampar gue, baju gue ditarik sampai robek dan semua badan gue dicoret-coret,” aku kembali menjeda, mencoba menarik napas panjang mengingat kejadian yang cukup menyakitkan dalam memoriku.
“Rama please, Ram. Berhenti ceritain ini!” pinta Ray. Aku mengabaikan.
“Yandhi tahu soal pelabrakan ini. Sorenya, selesai latihan, dia datang ke rumah dan minta maaf. Dia nanya, harus kayak gimana biar gue nggak dikerjain lagi sama Dian. Waktu itu gue jawab, gue mau dia ngejauhin gue. Nggak ada lagi nonton pertandingan berdua, nggak ada lagi teleponan sebelum tidur, atau hal-hal manis lainnya yang sering dia lakuin ke gue. And he did it. Setelahnya, gue bisa lihat kalau Yandhi mulai open sama siapa aja di tim putri, termasuk Dian. Diajak nongkrong mau, diminta latihan ekstra juga mau. Semuanya demi ngasih lihat ke Lia and the gang, kalau gue ini bukan murid kesayangannya lagi.”
Aku mengambil satu tarikan napas saat menyelesaikan ceritaku. Aku yakin, versi cerita ini pasti baru didengarnya sekarang. Abian terdiam, tidak lagi bertanya ini-itu. Sisa perjalanan kami, hanya habis dalam diam. Sesekali Bian melirik ke arahku, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sampai di depan rumahku, Bian baru bicara lagi.
“I’m sorry, Ram...” ujar Bian pelan.
“For what?”
“Karena udah bikin lo membuka memori yang nggak pernah mau lo ingat-ingat lagi. Gue tahu, cerita soal lo dilabrak adalah hal yang mau lo kunci di memori lo biar nggak dibuka-buka lagi. I’m sorry, Ram,” kata Bian menyesal.
“Dasar anjing lo!” Ray memaki, turun dari mobil dan membanting pintunya.
Terlepas dari kebenciannya pada Yandhi, terlepas dari pengakuannya ingin jadi pacarku, Bian tetaplah Bian. Ia masih menjadi sahabat yang mengerti tentang perasaan dan suasana hatiku. Ia masih paling tahu, bahwa ada hal-hal yang tidak ingin kubicarakan lagi seumur hidupku.
Aku hanya mengangguk saja, menerima permintaan maaf Bian. Secepat kilat, aku turun dari mobil. Kulihat ada Range Rover silver terparkir di seberang rumah. Oh God, not now. Aku tidak sanggup melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah. Selain karena rasa sesak dan sakit yang kurasakan di dadaku, aku juga takut kalau Yandhi harus melihat kondisiku yang seperti ini.
Trauma penggencetan yang terjadi dulu di SMA, kembali terbayang di kepalaku. Di depan pagar, aku jatuh tersungkur karena rasa sesak di dadaku. Aku merasakan ada tangan yang menangkapku. Abian. Aku berpegang erat padanya. Ingin sekali memintanya untuk membawaku pergi dari sini, tapi suaraku tidak bisa keluar. Rasa sakitnya semakin menusuk.
“Ibuuuu tolong, Bu. Rama kolaps lagi,” teriak Bian ke dalam rumah.
“Rama....Ramaa kenapa sayang?” aku mendengar suara ibu panik. “Yan, tolong angkat Rama.”
Seseorang selain Bian langsung mengangkatku masuk ke rumah. Aku tahu siapa itu. Tapi suaraku tercekat. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Rasa sesak ini menuntut untuk dirasakan dan dikeluarkan. Aku hanya memejamkan mata, mengepalkan tangan, dan memukul dadaku berkali-kali.
“Rama, dengar Ibu, sayang. Kalau kamu ngerasa sesak, keluarin semuanya Ram. Nangis sepuasnya. Nggak perlu jelasin apa-apa ke Ibu, tapi kamu harus tahu, kalau Ibu di sini. Ibu nggak ke mana-mana,” kata ibu sambil memelukku.
“Gue juga nggak ke mana-mana Ram. Gue akan ada di sini, gak ke mana-mana,” kata Bian, yang saat ini memegangi kakiku yang meronta-ronta.
Tidak ada suara muncul dari orang yang ketiga. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Saat ini, aku hanya ingin rasa sesaknya keluar. Terus kupukuli dadaku agar merasa lega. Dan tangan itu, tangan yang dulu selalu bisa menenangkanku, menahan kedua tanganku. Ia memelukku dari belakang, agar aku tidak bisa memukuli dadaku.
“I’m here, Ka…I’m here…”
***