You, K

Racelis Iskandar
Chapter #13

A BRUISED HEART (Yandhi's Part)

Aku masih di kantor waktu ibu meneleponku. Ibu bilang kalau Kania malam ini deadline, dan bisa pulang lewat tengah malam. Tadinya ibu berjanji akan menjemput, tapi mendadak ada pasien yang harus segera operasi sesar karena gerakan bayi semakin lama semakin berkurang. Ibu minta tolong padaku untuk menjemput Kania. Selesai menelepon, chat ibu langsung masuk, berisi alamat kantor Kania.

Posisiku serba salah, sebenarnya. Di satu sisi aku tidak bisa menolak permintaan ibu, di sisi lain, bukan seperti ini cara yang aku inginkan untuk menemui Kania lagi. Kemarin malam adalah malam yang paling mengagetkan, sekaligus menyedihkan untukku. Aku sudah tahu kalau Kania memiliki masalah mental health. Memiliki teman imajiner di usia remaja, bahkan hingga dewasa, kuanggap bukan sesuatu yang harus diabaikan.

Aku masih ingat bagaimana manipulatifnya Ray untuk Kania. Waktu dulu kami sedang ada di mobilku untuk menonton pertandingan SM-Aspac, mereka bertengkar hebat di mobil. Menurut cerita versi Kania, Ray mencengkeram lengannya dan menyuruhnya untuk turun dari mobilku. Menurut kejadian yang terjadi di depan mataku, Kania mencengkeram lengannya sendiri, secara kuat. Genggaman tanganku pada cengkeramannya lah yang membuat ia melepaskan tangannya dari lengannya. Aku bisa melihat cetakan merah jarinya di lengannya. Ia tidak main-main saat menyakiti dirinya sendiri, yang dibuat alibi seolah-olah Ray yang menyakitinya.

Lalu apa aku berhak men-judge kalau Ray pasti akan membawa pengaruh buruk bagi kehidupan Kania? Aku tidak punya hak untuk itu. Bukan karena aku bukan siapa-siapanya Kania, tapi menurutku, setiap melihat Kania, dalam diam, sedang bicara dengan Ray, aku tahu anak itu tidak akan merasa kesepian, walaupun sebenarnya bicara sendirian. Berpuluh, bahkan beratus kali aku melihat ia mengobrol sendirian, yang kuasumsikan dengan Ray, mata Kania selalu hidup, berbinar. Aku tahu, Ray adalah teman cerita yang baik untuk Kania. Yang aku tidak tahu, kenapa Ray memilih untuk memusuhiku. Kenapa Kania memilih untuk menjadikanku seseorang yang tidak disukai oleh teman imajinernya?

Sampai aku memiliki kesimpulan sendiri, kenapa aku orangnya? Waktu aku bertemu Arki saat kunjunganku ke sekolah dulu, dan Arki cerita bahwa pasca ditinggal olehku, Kania sering kolaps, aku memutuskan bahwa aku berpotensi bisa membuat hidup Kania berantakan. Kania melihat itu sejak awal. That’s why, she refused me. She asks her imaginary friend to hate me.

Dan tadi malam, oh my God…Kalau ini kolaps yang dimaksud oleh Arki dulu, seberapa besar tenaganya habis setiap ia selesai kolaps? Berapa banyak pukulan dan cakaran yang ia lakukan pada dirinya sendiri? Hatiku remuk redam melihatnya kemarin malam.

“Alin, ke ruangan saya dong,” aku menelepon extention sekretarisku. Tidak berapa lama, Alin masuk.

“Ada apa, Mas?”

Dinner meeting sama Pak Haikal malam ini, tolong reschedule ya. Bilang aja saya mendadak ada urusan pribadi.”

“Mau di-reschedue di weekend atau weekdays minggu depan, Mas?”

Weekdays aja. Sama minggu depan, saya jangan ada jadwal keluar dulu ya. Saya lagi gak bisa ke mana-mana soalnya.”

“Oke Mas.”

“Kantor pusat katanya mau kirim project untuk saya. Udah kamu terima belum?”

“Belum ada email masuk dari kantor pusat sih, Mas. Apa mau aku follow up ke mereka?” tanya Alin.

“Boleh deh, tapi hari Senin aja nanyanya. Kamu email Yoseph aja. Bilang kalau saya nanyain soal kelanjutan project kondo, jadi apa enggak. Kalau jadi, saya minta meeting, online or offline, up to them, sebelum masuk Oktober ya,” kataku menjelaskan.

“Oke…” ucap Alin sambil mencoret-coret tabletnya.

“O iya satu lagi, 4 Oktober jangan bikin janji di atas jam empat sore, sama besoknya, kalau saya gak salah itu hari sabtu, jangan ada golf meeting juga ya.”

“Siap Mas. Aku telepon Pak Haikal dulu untuk reschedule jadwal ya, Mas.”

Aku mengangguk, dan Alin segera keluar ruangan.


***


Ibu memang bilang kalau Kania bisa saja pulang lewat tengah malam. Tapi biar aman, ada baiknya aku standby sedini mungkin. Aku sampai di kantor Kania jam delapan malam. Kuparkir mobil dan memutuskan untuk memejamkan mata sejenak. Bukan karena mengantuk, tapi karena ingin menenangkan pikiran. Gambaran Kania kolaps masih terus-terusan mengganggu pikiranku. Bukan karena aku risih, tapi karena aku pernah menjadi penyebab kolapsnya.

Belum ada setengah jam merebahkan diri, aku melihat Kania keluar kantor. Baru jam segini dia sudah selesai? Tapi dia keluar tanpa membawa tas. Tiba-tiba ia memperhatikan mobilku yang sedang terparkir. Aku memutuskan untuk keluar. Ia lalu menghampiriku.

“Kamu ngapain di sini?” ia bertanya bingung.

“Kamu udah selesai deadline?” aku balik bertanya.

Ia menggeleng sambil mengernyit. “Kamu ngapain sih di sini?” ia lagi-lagi mengulang pertanyaannya.

“Jemput kamu. Emangnya ibu belom bilang kalau aku yang gantiin ibu buat jemput kamu?”

Ia menggeleng. Dikeluarkan handphone dari kantong celananya. Sepertinya mengecek, apakah ada pesan dari ibu yang mengatakan kalau aku yang akan menjemputnya. Sepertinya ia baru membaca pesan itu.

“Aku baru baca chat ibu. Seharian ini aku gak sempat pegang handphone.”

“Kamu mau ke mana sekarang?” tanyaku.

“Makan. Aku laper. Seharian ini belom sempat makan.”

“Mau aku antar naik mobil?”

“Gak usah, makan pinggir jalan aja biar cepat. Kamu udah makan?” ia bertanya.

Aku menggeleng, tentu saja. Jadwal makan malamku hari ini seharusnya dengan Haikal

“Mau ikutan? Tapi aku makannya warung tendaan loh. Kamu alergi gak?” ia bertanya sambil tersenyum

Oh God, how I love her smile. Mau tak mau, aku ikut tersenyum bersamanya. Aku mengikuti langkahnya ke warung tenda yang ada di samping kantornya.

“Mau makan apa? Nasi goreng, pecel lele, atau sate?” tanyanya.

“Terserah kamu aja. Perutku nggak rewel kok kalau soal makanan.”

“Nasi goreng sate aja ya. Udah pernah nyobain belum?”

Aku kembali menggeleng. Makan nasi goreng dengan sate? Dua menu terpisah atau dicampur jadi satu? Saat masuk ke warung tenda, kami berpapasan dengan seorang laki-laki. Kania menyapanya akrab. Mungkin teman kantornya.

“Lah, lo di sini. Dicariin Tyas dari tadi,” kata Kania pada laki-laki itu.

“Iya, nih gue mau masuk lagi. Lo ngapain?” tanya si laki-laki itu

Oke, lo-gue. Pasti hanya teman saja.

“Mau makan.”

“Akhirnya perut lo lapar juga. Mau gue temenin nggak?”

Wait…wait…kenapa tiba-tiba dia menawarkan diri mau menemani Kania? Refleks, aku berdiri menempel pada Kania, dan merangkulnya. Laki-laki ini harus tahu, kalau Kaia sedang bersamaku.

“Bar, kenalin, ini Yandhi. Ndhi ini Baron, fotografer kantor.”

“Hai, Yandhi,” aku mengulurkan tangan ke arah Baron. Baron menerimanya sambil menyebutkan namanya juga.

“Ya udah Ram, gue balik kantor aja kalau gitu. Gue kirain tadi lo makan sendirian. Masnya…” Baron kali ini beralih padaku. “duluan ya,” kata Baron sambil berjalan pergi meninggalkan kami.

Kami akhirnya masuk ke dalam warung tenda. Kania langsung memesan dua porsi nasi goreng sate dan dua teh hangat. Kami menunggu sambil lihat-lihatan.

“Fotografer kamu, kayaknya naksir sama kamu tuh,” Aku menodong dengan nada bercanda. 

“Ray, udah ya, gue capek. Nanti aja di rumah protes ini itunya ya,” Kania tiba-tiba bicara dengan pandangan mata yang bukan padaku.

Pasti Ray menginterupsi lagi. Aku langsung meraih tangan Kania, dan menelusupkan jariku di sela-sela jarinya. Aku tidak ingin Ray mengganggu kami saat ini.

Wow, it always works,” ujar Kania takjub.

Kania hanya melihatku. Tatapannya lelah. Ia mencoba untuk melepaskan genggamanku, tapi kutahan. Akhirnya, dibiarkannya saja tangannya berada dalam genggamanku. Ia bahkan merebahkan keningnya di atas genggaman tangan kami.

“Kalau lagi deadline tuh, capek banget ya Ka?” tanyaku.

“Yang bikin capek sebenarnya klien last minute. Walaupun cuma pasang iklan setengah halaman, atau seperempat halaman, kan harus rombak artikel lagi. Harus motong artikel yang awalnya udah di-slot untuk satu halaman,” ia mencoba menjelaskan.

“Terus artikel yang sekarang harus dirombak, udah dikerjain?”

“Sekarang lagi nunggu artikel buat iklannya. Kalau artikel utamanya udah aku beresin tadi. Artikel iklan lagi dibikin sama reporter. Ya, seenggaknya bisa setengah jam atau lebihlah. Bisa kabur dulu buat makan.”

Teh hangat kami datang. Kania melepas genggaman tangan kami, dan langsung meminumnya sampai habis. Ia lalu meminta refill.

“Ndhi, aku tuh kalau deadline bisa di atas jam sebelasan loh selesainya.”

I know. Ibu tadi bilang kok, kalau lagi deadline, kamu bisa sampe tengah malem atau bahkan pulang pagi.”

“Kamu gak kelamaan nungguin aku? Ini baru jam….” ia mengambil handphone dan melihat jam. “setengah sembilan. Masih lama loh, Ndhi.”

I know…” lagi-lagi, aku berusaha membuatnya mengerti, kalau aku menerima segala konsekuensi menunggunya selesai deadline.

“Kamu gak mau main dulu ke mana gitu? Deket sini kan ada mal, kamu gak mau nonton dulu aja? Nanti kalau aku udah selesai, aku kabarin,” ia masih berusaha membuatku melakukan aktivitas lain dibanding menunggu tanpa melakukan apa-apa.

Ka, I already know your working hours if you have a deadline,” jawabku sambil mengusap-usap kepalanya. “Kamu cukup fokus kerja aja, gak usah mikirin aku harus ngapain selama nunggu kamu.”

Kania lalu mengangguk sambil melihatku. Baru saja aku ingin menikmati tatapannya yang teduh, makanan kami sudah datang. Sepiring nasi goreng bersama lima tusuk sate ayam di pinggir piring. Kania langsung menyendok nasi goreng, meniup sebentar, lalu menyuapnya. Satu tusuk sate langsung dilahapnya habis.

“Kok nggak dimakan?” tanyanya.

“Ini serius, nasi goreng makannya pake sate?” aku masih ragu, membayangkan dua makanan itu ada di mulutku.

“Cobain dulu, nggak usah bawel.”

Aku lalu menyendok nasi goreng tersebut, dan baru menyadari kenapa ini disebut nasi goreng sate. Ternyata rasa bumbu sate sangat terasa di nasi gorengnya. Jadi, makan nasi goreng dengan sate ayam sekaligus, tidak akan terasa aneh.

“Bumbu satenya dicampur ke nasi gorengnya juga ya?” tanyaku.

Ia mengangguk.

Nice taste, Ka.”

Selama beberapa menit, Kania terus melahap nasi gorengnya. Makannya cepat. Mungkin ia memang benar-benar diburu waktu. Baru setelah tinggal beberapa suap lagi, tempo makannya melambat.

Sorry ya, makannya cepat-cepat. Takut ada panggilan,” katanya, meminta pengertian.

It’s okay. I know you’re busy.”

Baru saja ia mengatakan itu, handphone-nya sudah bergetar. Seseorang menelepon. Ia lalu mengangkatnya.

“Iya Fi, hmm gue masih makan di depan, artikel lo kirim ke email gue sekarang ya. Sambil makan gue cek. Oke, sekarang ya Fi.”

Ia lalu menyuap cepat lagi sisa nasi gorengnya dan menyudahi makannya. Teh hangat keduanya, sudah habis diminumnya. Handphone-nya bergetar lagi. Kali ini, email masuk. Ia mulai membaca artikel yang dikirim reporternya. Tidak sampai lima menit, ia lalu menelepon reporternya lagi.

“Fia, paragraf dua diganti ya. Ini kan iklan testpack, nggak bisa situasinya ada keluarga mau liburan, terus batal karena ada masalah istrinya hamil. Kalau kalimatnya gitu, sama aja lo mau bilang kalau kehamilan itu masalah...Iya gue tahu kliennya yang minta cerita soal liburan keluarga yang tertunda, tapi narasinya nggak bisa dibikin kalau hamilnya yang jadi masalah… Ini perlu gue yang bikin sekarang sambil makan, atau lo bisa cari kata-kata lain yang nggak bikin klien bakal kabur… Ganti sekarang, yang paragraf dua. Yang lainnya udah oke. Nanti kirim ke gue lagi.”

Kania lalu menutup teleponnya, sambil meremas tengkuknya. Lagi-lagi, sisi Kania yang lain. Dulu aku tidak pernah membayangkan perempuan ini bisa membentak orang lain setegas itu.

I’m sorry….” ucapnya, minta pengertian.

Stressing a lot?” tanyaku.

“Mau marah sama klien karena baru deal last minute, nggak bisa, duit mereka gede. Mau marah sama reporter, harus ditahan-tahan, kalau nggak nanti mereka baper, resign,” ia merepet di hadapanku.

“Ganti profesi aja, gimana?”

Lihat selengkapnya