You, K

Racelis Iskandar
Chapter #14

THE OLD WOUND, AND STILL WET (Rama's Part)

Keesokan paginya, aku bangun dengan dada yang sesak. Kulihat Ray sudah duduk di sebelahku. Langsung kupeluk dia, dengan harapan, sesak di dadaku bisa berkurang.

Rama, are you okay?”

Aku tidak bisa menjawab. Aku bernapas putus-putus. Waktu Ray mau melepas pelukanku, aku mencengkeramnya semakin kencang.

“Ram, gue panggil ibu, ya?” Ray terdengar khawatir.

Aku menggeleng dan hanya memeluknya. Rasa sesak ini tidak bisa kukeluarkan. Ray akhirnya mempererat pelukannya, dan ikut bernapas denganku. Tarikan napasnya yang panjang, membuatku ikut menarik napas panjang. Sepertinya cara ini berhasil. Aku bisa mengikuti ritme napas Ray.

Better?” tanyanya.

Kulonggarkan pelukanku, dan aku menatapnya. Aku mengangguk, dan kembali merebahkan diriku di pelukannya.

“Ini yang gue takutin kalau lo dekat lagi sama Yandhi, Ram. Gue takut lo sakit lagi,” Ray mulai mencoba untuk bicara serius padaku.

“Gue kayak gini karena kesalahan gue sendiri kok,” ujarku sambil menyeka air mata yang sesekali masih keluar.

“Kenapa salah lo?” tanya Ray bingung.

“Semalam gue salah panggil nama dia. Gue panggil dia Nuar. It broke my heart. Sepanjang malam, memori gue tumpang tindih. Gue ingat semua adegan waktu Januar pamit ke ibu dan gue, untuk bisa balikan sama Astari. Memori gue yang lain juga kebuka, waktu Yandhi pamit mau pergi ke Singapur. Dan rasa sakitnya jadi bertumpuk. Dada gue sesak, Ray,” aku mulai terisak.

“Gue tahu, lo belum bisa ngelupain Januar. Dia laki-laki pertama yang bisa bikin lo berhenti untuk buka kotak pandora lo yang isinya wristband dari Yandhi. Tapi Januar juga akhirnya ngasih lo kotak pandora, semua memori tiga tahun kalian, yang selalu bisa bikin lo nangis meringkuk berhari-hari,”

“Dan gue juga tahu, sebenci apa pun gue sama Yandhi, tanpa lo sadari, dari dulu perasaan lo terlalu kuat buat dia. Perasaan dia juga terlalu kuat buat lo. Kalian kayak berjuang di jalur masing-masing, dan berharap nanti di ujung jalan bisa ketemu lagi. And yes, you two met again.

“Gue nggak tahu harus gimana ngadepin Yandhi, Ray. I’m scared he will hate me. Gue takut tiba-tiba kolaps dekat dia kalau emosi gue nggak karuan. Gue takut dia akan ngerasa terbebani atau bahkan malu kaena gue penyakitan,” tangisku kembali tertahan. Aku berusaha mendekap Ray lebih erat.

Everyone can hate you, except me. Kalau Yandhi jadi ngebenci lo, lo harus selalu ingat, ada gue yang nggak akan ke mana-mana.”

Tangisku tercekat. Lagi-lagi, ucapan Ray terdengar seperti ancaman bagiku. Dia seperti pelan-pelan akan mengikatku agar aku tidak bisa pergi darinya. Ray lalu melepaskan pelukanku, dan tersenyum. Bahkan pada senyuman saja, aku merasa terancam.

You have to remember Ram, you’re mine. Forever!

Aku langsung mendorong Ray menjauh. Tiba-tiba, aku bisa melihat ia seperti terlempar, dan menghilang dari pandanganku. Dadaku berdebar ketakutan. Aku menoleh ke segala arah, tapi Ray tidak ada. Tiba-tiba, ibu masuk ke kamarku tanpa mengetuk. Ibu terlihat sedang buru-buru.

“Rama, sayang, kamu masih lama nggak buat bangun, terus mandi?”

“Kenapa emangnya, Bu?”

“Pasien ibu yang semalam pendarahan. Ibu harus ke rumah sakit sekarang.”

“Ya udah Ibu pergi aja, Rama di rumah kok. Mungkin mau tidur seharian.”

“Jangan dong, di luar ada Yandhi. Dia udah nungguin kamu dari satu jam yang lalu. Tadi Ibu mau bangunin kamu pas dia datang, katanya nggak usah, kamu semalam kurang tidur. Terus barusan banget Ibu ditelepon rumah sakit. Kamu langsung mandi, terus temuin dia di depan ya. Ibu berangkat sekarang,” kata ibu bersiap keluar kamar.

“Bu,” aku mencoba menahan ibu keluar kamar.

“Kenapa, Ram?” tanya ibu buru-buru.

“Rama bisa ketemun sama Om Sam dalam waktu dekat ini gak, Bu?”

Pertanyaan seperti ini adalah yang paling menakutkan untuk ibu. Ia terlihat bingung, tapi mencoba mengendalikan diri, lalu duduk kembali di sebelahku.

“Kamu kenapa, Ram?” tanya ibu penuh rasa khawatir.

“Rama butuh ngobrol sama Om Sam, Bu. Ada hal-hal di kepala Rama yang tumpang tindih.”

Ibu mengangguk mengerti. Ia memelukku, membelai kepalaku dengan kasih sayangnya.

“Nanti Ibu telepon Sam ya. Semoga minggu-minggu ini dia ada waktu free, dan bisa ketemu kamu. Yang penting, kamu tenangin diri, dan jangan pusing sendirian. Ada Ibu yang selalu nemanin kamu.”

Aku melepaskan pelukan ibu, dan mengambil handuk untuk mandi. Dengan malas-malasan aku berjalan ke kamar mandi. Kubasuh tubuhku dengan cepat, lalu memakai baju seadanya. Aku keluar kamar, dan mendapati Yandhi duduk di teras.

“Ngapain duduk di sini?” tanyaku.

“Eh, kamu udah makan? Ibu tadi bilang, makanan kamu udah disiapin di meja makan,” katanya sambil melihatku. “Atau kamu mau makan di luar aja?”

“Aku gak lapar sih, sebenarnya,” ucapku sambil mengambil ancang-ancang akan duduk di kursi di hadapannya. Yandhi lalu menahan.

“Aku temanin makan. Kamu terakhir makan kemarin malam sama aku. Energinya udah abis sekarang. You need to feed yourself.”

Aku mendengus mengejek. Yandhi mendorongku pelan ke arah meja makan. Kubuka tudung saji. Aku sama sekali tidak berselera makan. Aku berjalan menuju kabinet di dapur. Kuambil setoples abon dan kubawa ke meja makan. Kutaburi nasiku dengan abon banyak-banyak.

“Makannya cuma pakai itu?” tanya Yandhi bingung.

“Aku lagi nggak selera makan,” jawabku singkat.

“Kalau lagi nggak selera, maunya cuma pakai abon?”

“Nggak juga sih, random pick aja. Kadang cuma sambal sama garam, pernah juga makan nasi sama ketimun doang, atau kalau lagi super aneh, makan bubur bayi.”

Yandhi terbatuk mendengar jawabanku. Ia mengambil minumnya sendiri dari teko.

“Kamu gak makan?” tanyaku.

“Aku udah makan tadi bareng ibu pas baru sampe.”

“Lama ya nunggunya?” tanyaku.

“Makan dulu, ngobrolnya nanti aja. Aku tungguin sampai kamu selesai makan.”

Aku kembali diam, dan fokus makan. Sama sekali tidak ingin memulai obrolan lagi dengan Yandhi, karena dia sepertinya memang menungguiku selesai makan. Setelah selesai makan, aku lalu membereskan piring.

“Aku lagi gak kepengin ke mana-mana. Kita di rumah aja ya,” ucapku sambil mengajaknya duduk di ruang tamu.

“Di teras aja Ka, jangan di dalam. Aku nggak enak kalau cuma berduaan doang sama kamu.”

Aku lalu membawanya ke teras, dan kami duduk berhadapan. Kupeluk bantal kursi, sambil melipat kakiku ke atas.

“Aku akan ngelewatin fase diam-diaman, karena ini gak akan ngebawa kita ke mana-mana, deal?” tanyanya.

Okay. Me first…” aku menyelaknya. “Why now? Why you need nine years to came back?” aku menanyakan hal yang selama ini selalu aku bawa setiap tahunnya. Kenapa setelah dua tahun, dia tidak pernah pulang?

Yandhi menunduk, tidak langsung menjawab. Ditatapnya mataku. Lagi-lagi, seperti tatapan ayah saat dulu ia akan meninggalkanku dan ibu.

“Aku udah cerita semalam kan, kalau aku sempat pulang dan cari kamu ke sekolah…” ucapnya dengan nada serendah mungkin. Aku mengangguk. “Jadi setelah dengar cerita Arki kalau kamu kolaps gara-gara aku, aku memutuskan untuk gak mau lagi bikin kamu kolaps. Aku takut, kalau maksa untuk ketemu kamu, keadaan kamu makin gak baik. That’s why, I stayed in Singapore for nine years, and never looking for you again…

Then why you came back? Why you’re not staying there, making a family…happily ever after, like Disney always did…?” tanyaku, masih penasaran.

“Aku hampir melakukan itu. Aku hapir memutuskan untuk berumah tangga, dan hidup tenang di sana. But God’s plan always…surprising me. Aku pernah dua kali pacaran dengan orang yang bisa bikin aku lupa sepenuhnya sama kamu. Yang pertama, Michelle, teman kuliahku. Hubungan kami baik-baik aja, tapi dia selalu mendesak aku untuk menikah. Sedangkan aku masih kuliah dan kerjaku cuma serabutan aja. Aku tolak, dan dia akhirnya menikah sama orang lain. Yang kedua, that damn woman, Benazir. Aku pacaran sama Bena hampir dua tahun. Aku waktu itu udah kerja lumayan settled, dan dia ngajak nikah. Aku iyain, karena aku udah siap. Waktu mau kenalan sama orang tuanya di Amerika, di pesawat, Bena pendarahan hebat. Pramugari bilang kalau Bena miscarriage…and it’s not mine. Dan aku gak bisa lagi ngelanjutin rencana untuk menikahi Bena.”

Yandhi menarik napas panjang. Ia berusaha tenang dan mengendalikan diri. Benazirnya adalah Januarku. Kami sama-sama pernah mengalami fase ini. Bedanya, sampai sekarang ia tetap bisa tenang menceritakan itu. Aku tidak yakin bisa setenang itu menceritakan Januar.

“Dan setelah putus dari Bena, aku gak pernah lagi pacaran serius. Anehnya, setahun sebelum aku pindah ke Jakarta, bayangan kamu tiba-tiba menghantam aku lagi. Memori-memori tentang kamu terus muncul, dan mimpi-mimpi aku selalu didominasi sama kamu. I don’t know why, tapi begitu aku dipindah ke Jakarta, hal pertama yang aku lakuin begitu sampai di Soetta, aku naik taksi ke rumah lama kamu. Dan ternyata kamu udah gak tinggal di sana. Dan selama berbulan-bulan, misi aku di sini cuma satu, looking for you.”

“Gimana kalau pas kamu ketemu aku, aku ternyata udah sama orang lain?”

Still, I don’t know what will going on. Mungkin aku akan memantau. Kalau kamu masih pacaran, mungkin aku tetap akan muncul di hadapan kamu, mencoba mengenal ulang kamu, dan melihat peluang. Tapi kalau ternyata kamu sudah berkeluarga, maybe I’ll just watching from a distance, and resolve my own feelings.

Dari awal, Yandhi tidak pernah memberikan tatapan ragu untukku. Ia bercerita dengan tenang dan tegas. Masa lalunya dengan Michelle dan Benazir, sama sekali hanya sekadar cerita untukku. Matanya selalu menatapku, seolah-olah ingin aku percaya kalau saat ini, tujuannya adalah aku.

“Sekarang boleh aku yang nanya?” Yandhi menuntut gilirannya.

Aku mengangguk, walaupun sudah tahu apa yang akan ditanyakannya.

“Kamu udah pacaran berapa kali selama sembilan tahun ini?”

Okay. Dia mencoba membuka dari cerita terluar. “Beberapa kali. Banyaknya pas waktu kuliah. Pacaran setahun, dua tahun, atau ada yang cuma beberapa bulan aja. Nggak tentu.”

“Kamu nggak betahan ya orangnya?”

“Cepat bosan sih lebih tepatnya. Waktu masuk kuliah, dan pisah dari Bian dan Arki, aku memutuskan untuk mencari kesenangan baru, dalam bentuk apa pun. Aku dapatin itu pas lagi suka sama orang, atau pacaran. Perasaan suka, deg-degan, senyum-senyum sendiri. But that’s it. Kalau fase itu udah terlewati, ya aku putusin. Cari yang baru lagi.”

Yandhi tertawa terbahak sambil geleng-geleng kepala. Dipandangnya diriku sambil tersenyum.

You really something, Kania.

“Ya habisnya kalau pacaran tapi tekanan batin, buat apa?”

And Nuar was one of them?

If you have Benazir, the I have Januar. Nuar is my ex-boyfriend. My last boyfriend. Orang terakhir yang antarin aku pulang kalau abis deadline. Kemarin, waktu kamu antarin aku pulang deadline, memoriku masih ingat kalau aku diantarnya sama dia, bukan kamu.”

Still love him?

Sial, Yandhi langsung bertanya di titik yang paling menyakitkan. Satu hentakan sudah terasa di dadaku. Aku harus bertahan.

“Dia…orang pertama yang bisa bikin aku lupa sama kamu. Selama tiga tahun pacaran sama dia, nggak pernah sekali pun aku ingat kamu, atau coba buka kotak pandora yang isinya wristband dari kamu, yeah, I still have it, atau bahkan memimpikan kamu. Waktu sama Januar, kamu sama sekali nggak ada di hidupku. Dan orang-orang sebelum Januar, nggak pernah aku ingat juga.”

Kali ini, aku yang berhenti sejenak, ingin mengatur napas dan rasa sesak yang terus-menerus mendorong untuk dikeluarkan. Kali ini, hentakannya sudah datang berkali-kali. Aku masih bisa bertahan.

Why you two seperated?” tanyanya pelan.

Kali ini, aku yakin, hentakannya tidak akan kuat aku tahan. Aku sudah bisa merasakan air mataku akan keluar.

I thought I can be happy with him. Ternyata, dia lebih memilih bahagia sama perempuan lain.”

Kuseka air mata yang tiba-tiba jatuh. Yandhi langsung bangun dari duduknya, menghampiriku, memeluk dan menenangkanku. Napasku kembali sesak seperti tadi saat bangun tidur.

Ka I’m sorry. You can stop now,” nada suara Yandhi seperti memberi perintah.

“Kalau aja dia selingkuh, or worst hamilin anak orang, aku bisa untuk benci dia seumur hidup. Tapi dia malah datang ke rumah dengan gentle-nya, salaman sama ibu, minta maaf sama ibu, sama aku, dan minta izin aku untuk ngelepasin dia. I wish I can hate him…” napasku mulai putus-putus.

Yandhi lalu melepas pelukannya, dan mencengkeram lenganku kuat. Sorot matanya tajam ke arahku.

Ka, I said stop it!!” katanya tegas, dan penuh amarah.

Tangisku pecah, dan aku mendorong Yandhi. Aku berlari ke arah ruang tamu, terduduk di lantai, lalu mulai meringkukkan badanku. Yandhi langsung meraupku dalam pelukannya.

Ka I’m sorry, I’m so sorry Ka...” ucapnya terus-menerus, sambil mendekapku.

Aku terus menangis, ingin agar rasa sesak ini segera keluar. Tanpa kusadari, aku mengeluarkan teriakan di dalam pelukannya. Yandhi mendekapku lebih erat. Aku berontak sekuat tenaga, dan ingin memukul dadaku sekuat-kuatnya, agar rasa sesak ini bisa hilang.

“Ka maafin aku, Ka. Maaf Ka...” Yandhi masih berusaha minta maaf.

Berontakku makin kuat. Semakin ia minta maaf, aku semakin mengingat bagaimana dulu Januar juga meminta maaf saat akan meninggalkanku. Aku juga mengingat bagaimana dulu Yandhi meminta maaf saat terakhir kali kami bertemu. Aku bahkan bisa mengingat bagaimana ayah selalu meminta maaf sehabis bertengkar dengan ibu. Aku berteriak-teriak tak karuan. Memori tumpang tindih ini tidak bisa kuhentikan.

Lama-lama, aku merasa sekujur tubuhku mendingin, dan aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Semuanya gelap.


***

 

Aku merasakan bisa mengambil alih kembali kendali tubuhku. Rasa sesaknya sudah mulai hilang. Aku bisa merasakan tubuhku terbaring di tempat tidur. Bau essential oil mint dari humifider di kamarku, membuat napasku lebih lega. Mataku masih terpejam, tapi telingaku bisa mendengar. Aku tahu, di dalam kamarku ada ibu, Yandhi, dan…Om Sam?

“Sudah malam Yan. Kalau kamu mau pulang juga nggak apa-apa kok,” ibu berkata pada Yandhi.

“Aku boleh nunggu sebentar lagi Bu? Kalau sampai jam sembilan Kania belum sadar juga, kita bawa dia ke rumah sakit ya, Bu.”

“Nggak usah Yan. Ini bukan pertama kali Rama kayak gini. Dia cuma butuh ditemanin, dikuatin, dan ditenangkan. Lagi pula sudah ada Sam, Rama pasti baik-baik aja.”

“Nggak perlu cemas, Yan. Ini sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Rama kolaps. Mungkin sudah banyak yang menumpuk, yang nggak bisa dia tahan lagi,” kali ini aku mendengar Om Sam bicara pada Yandhi.

“Maafin aku Bu. Aku nggak tahu kalau mengungkit Januar bisa bikin Kania sampai kayak gini.”

“Nggak apa-apa Yan. Cepat atau lambat kamu juga pasti harus tahu.”

“Pacar-pacarnya Kania yang dulu, nggak pernah ada yang tahu tentang kondisi Kania, B?”

“Rama itu biasanya kumat kalau dia lagi ingat-ingat kenangan buruknya, atau tiba-tiba kepikiran sama hal-hal buruk yang pernah dia alamin. Pacar Kania yang dulu, belum pernah ada yang tahu kondisi Kania. Bahkan Januar pun tidak pernah tahu…”

How come? Kania bilang mereka tiga tahun pacaran?”

Lihat selengkapnya