You, K

Racelis Iskandar
Chapter #15

THE OTHER SIDE OF HER (Yandhi's Part)

Sudah 108 hari Kania tidak menggubris semua usahaku untuk mendekatinya. Awal-awal aku bisa mengerti kalau dia tidak ingin bertemu denganku. Mungkin suasana hatinya pasca obrolan kami yang membuatnya kolaps masih belum normal lagi. Atau mungkin Kania enggan menemuiku lagi, si laki-laki yang bisa membuatnya kolaps kapan saja. Kepalaku pusing! Kalau hubungan kami tanpa kejelasan seperti ini, lama-lama aku tidak kuat juga.

Aku mencoba konsultasi dengan ibu. Kata ibu, Kania sekarang melampiaskan semuanya pada kerjaannya. Buatku, yang penting Kania tidak kolaps lagi. Pedih rasanya kalau harus melihat Kania menahan sesak sampai seperti itu.

“Mas…” Alin tiba-tiba masuk ke ruanganku.

“Kenapa Lin?”

“Yoseph mendadak bilang kalau dia lagi di Jakarta. Terus free dari jam empat sore sampai jam delapan malam. Dia minta ketemuan sama Mas Yandhi.”

“Aduuh, kan saya udah bilang, 4 Oktober saya gak mau ada meeting di atas jam empat sore. Tolak aja, bilang saya ada urusan keluarga.”

“Tapi dia bilang mau ngomongin soal project kondo, Mas,” Alin bicara takut-takut.

Aku menarik napas panjang. Hari ini, hari ulang tahun Kania. Rencananya, aku ingin menjemputnya ke kantor, surprise her, mengajaknya makan malam untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi kalau manager pusat mengajak meeting, tentu saja urusan pribadi akan kalah.

“Ya udah tanyain dia mau ketemuan di mana. Pastiin, jam delapan udah harus selesai karena saya ada urusan juga.”

“Oke, Mas.”

Alin keluar ruangan. Aku menarik laci mejaku. Kuambil kotak berwarna putih yang sebulan ini sudah kusimpan di sana. Di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan bandul matahari. Ra. Dewa Matahari. Representasi dari namaku. Aku tidak tahu apakah kado dariku ini berlebihan atau tidak. Teman-teman wanitaku di kantor sebagian mengatakan kalau kado dariku tidak berlebihan. Mereka bilang, every woman love diamond. Sebagian lagi tidak sependapat. Untuk perempuan tipe mandiri dan punya penghasilan sendiri, menerima hadiah seperti ini dianggap penghinaan.

Alin mengirimkan tempat meeting dengan Yoseph jam lima sore nanti. Sudah lah, sepertinya semesta memang tidak mengizinkanku untuk memberikan kejutan Kania. Kuputuskan untuk jalan sekarang, karena Jumat sore jalanan pasti sudah macet sekali. Kubawa kotak hadiah Kania. Mungkin nanti selesai meeting, aku bisa langsung nekat datang ke rumahnya saja.


***


Sekitar jam delapan malam, meeting-ku dengan Yoseph selesai. Tadinya Yoseph mengatakan, kalau ia masih ingin lanjut menikmati alkohol Jakarta sampai pagi. Aku menolaknya. Kukatakan kalau aku sudah ada janji, dan tidak bisa kubatalkan. Untungnya Yoseph mau mengalah, dan pulang lebih dulu. Aku masih berdiam diri sejenak, karena harus membalas beberapa email penting yang sudah ditunggu dari tadi oleh klien.

Baru saja akan menutup laptop, aku melihat Kania masuk, dirangkul oleh Arki. Mereka duduk di meja sofa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari mejaku. Aku langsung pindah posisi ke meja belakang mereka, dengan duduk membelakangi. Jangan-jangan sebentar lagi Abian akan datang, dan mereka akan merayakan ulang tahun Kania di sini.

Aku bisa mendengar jelas apa saja yang mereka bicarakan. Abian tidak bisa datang. Mereka hanya melakukan video call. Dan memang benar, Kania dan Arki ke sini untuk merayakan ulang tahun Kania. Ketika bicara dengan Kania lewat video call, Abian menawarkan akan membelikan kado jam tangan Swatch. So, I guess my present is something that she doesn’t like.

“Lo nggak minum?” Kania bertanya pada Arki.

“Yang mau nyetir nanti siapa? Udah, setting-annya emang lo yang jadi orang maboknya, gue yang jadi sopir taksinya.”

Wait…what?? Kania sudah terbiasa minum? Sejak kapan?

“Yandhi gimana, Ram?” kali ini Arki membawa namaku dalam obrolannya.

“Gimana apanya?”

“Lo udah nemuin dia lagi?”

And the rest, topik seputar aku dan Abian mendominasi obrolan mereka. Menurut Arki, ini adalah soal Kania memilih antara aku atau Abian. I like Arki at this point. Pendapatnya straight to the point, dan tidak membuat Kania bingung. Heran juga aku. Padahal sejak SMA, aku sangat yakin kalau Arki menyukai Kania. Tapi dengan sikap seperti ini, rasanya ia memang telah memutuskan untuk menjadi sahabatnya saja.

Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku tahu, rencanaku akan gagal total malam ini. Apalagi jika melihat kondisi Kania yang sudah hangover, mengoceh tanpa henti dan tetap memesan minuman. Kalau boleh kuhitung, tiga baileys dan tiga vodka menyusul sesudahnya. Gila ya perempuan ini. Belajar minum di mana dia???

“Lo masih sanggup di sini? Mau gue antar balik atau gue bukain kamar?” tanya Arki santai.

Apalagi sekarang? Kenapa ada wacana mau membuka kamar untuk Kania? Apa Arki mau macam-macam dengannya?? I thought he is her best friend!

“Lo balik duluan aja Ar, gue masih mau di sini,” ucap Kania dengan nada suara diseret.

“Mau abis diomelin Sashi gue, ninggalin lo sendirian, hangover lagi. Udah, gue cari dulu hotel dekat-dekat sini, abis itu baru gue balik. Nggak tenang juga gue kalau lo di rumah sendirian. Terakhir lo pulang ke rumah sendirian, lagi hangover gini, pintu sama pagar rumah nggak lo tutup sampai pagi. Kalau ada yang maling, gimana??” Arki mengomel sambil sibuk men-scroll handphone-nya.

Fivestar, please, with king size bed. Terakhir kali lo sama Bian bikin gue tidur di hotel ecek-ecek, badan gue sakit semua!” Kania mengoceh, matanya sudah terpejam dan kepalanya terkulai ke sandaran sofa.

Aku tiba-tiba berdiri, dan nekat berinisiatif. Kuhampiri Arki yang sedang fokus mencari hotel di handphone-nya. Arki lalu menatapku dan aku memutuskan untuk langsung duduk di sampingnya. Kulihat Kania tidak sadar akan kehadiranku.

“Lo ngikutin Rama ke sini Coach?” tanyanya curiga.

“Gue justru di sini duluan dari jam lima tadi sore, meeting sama klien. Waktu mau cabut, gue lihat kalian masuk.”

“Berarti tadi waktu di parkiran Rama parno ngelihat RR silver, itu benaran mobil lo?”

“Mungkin, kalau setelah gue nggak ada RR lain parkir lagi.”

Shit. What a coincidence,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Boleh gue aja nggak, yang antar Kania pulang?”

Arki diam, menimbang sesaat. Ia melihatku dari atas sampai bawah. Aku masih memberinya waktu untuk mempertimbangkan.

“Nyokapnya Rama lagi nggak di rumah, lagi ada seminar di Semarang. Minggu baru pulang. Gue nggak mungkin bawa dia ke rumah gue, mertua lagi nginap soalnya. Jadi mendingan gue bukain dia kamar, as usual.”

“Wow. So, you trully Kania’s best friend, thank God,” ujarku sambil menarik napas.

“Apa tuh maksudnya?” Arki bertanya bingung.

“Lo suka Kania, kan? Dari SMA, lo udah suka sama Kania, kan?” todongku.

Arki hanya diam, dan memandangku. Mungkin sedang menimbang-nimbang, apakah ia akan mengaku, atau menyangkal.

“Soal suka atau gak suka, biar itu jadi urusan gue, Coach. Gue gak mau ada omongan ini lagi, apalagi di depan Kania,” ucapnya tegas.

Okay. Aku mengangguk pelan. Dia tetap mau menyimpan ini seumur hidupnya.

“Kania gue bawa ke tempat gue aja, boleh? Gue bakal video call ke handphone lo sampai Kania bangun.”

What for?” tanyanya bingung.

To convince you that I won’t do anything to your best friend,” aku mencoba meyakinkannya.

Lihat selengkapnya