You, K

Racelis Iskandar
Chapter #17

SABAR. . . AGAIN???? (Yandhi's Part)

Waktu berada di architecture section, aku melihat ada seorang laki-laki yang menghampiri Kania. Laki-laki itu mendekat dan memperhatikan Kania sebentar sambil senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba ia menyapa Kania sambil memeluk. Anjing! Kulihat Kania merasa tidak nyaman digoda orang asing itu. Aku lalu mengembalikan buku yang sedang kubaca, lalu bergegas menuju Kania. Belum sempat aku mencapai Kania, laki-laki itu dengan kurang ajar memegang pundaknya.

“Jangan sembarangan pegang-pegang orang, Mas!” aku membentak laki-laki tersebut, sambil menghempaskan tangannya.

“Loh, lo siapa? Kok sembarangan juga ngerangkul Rama!”

Rama? So, this guy knows Kania.

“Nuar udah...”

ANJING!! Aku kesal mendadak saat Kania memanggilnya dengan nama Nuar. Jadi dia Januar? Laki-laki yang membuat hati Kania babak belur karena dia lebih memilih perempuan lain?

Kukepal tanganku, bermaksud memukulnya tanpa alasan apa-apa. Peduli setan jika security membawa kami ke polisi. Sayangnya, rasa kesal dan cemburuku pada laki-laki ini, tertahan oleh genggaman tangan Kania yang kencang pada lenganku. Kulihat wajahnya memucat, dan napasnya sudah tidak beraturan. Her collapse will come.

Get me out of here,” Kania berbisik padaku.

Secepat kilat, kurangkul Kania dalam pelukanku, dan memandang Januar sinis saat melewatinya. Terus kudekap Kania, bahkan saat kami berada di mobil. Aku tidak mungkin mengantarnya pulang, karena rumahnya terlalu jauh. Kuputuskan untuk membawanya kembali ke apartemenku, agar aku bisa dengan cepat menenangkannya.

Saat sudah sampai di apartemen, hal pertama yang dilakukan Kania adalah menjatuhkan dirinya dan tersungkur di lantai. Ia meringkuk, seperti memeluk dirinya sendiri. Suara mengeret datang dari tangisannya yang tertahan.

Kuangkat dia ke ruang tengah. Di sana, dia mulai menepuk-nepuk dadanya kencang. Kuputuskan untuk memeluknya dari belakang, menamengi dadanya dengan lengan kananku. Sementara tangan kiriku, berusaha memegangi tangannya yang satu lagi agar tidak mencakari wajahnya. Kania mulai teriak frustasi.

Jujur, aku sedikit panik, dan tidak tahu apa yang harus kulakukan selain memeluk dan menahannya agar tidak menyakiti diri sendiri.

“Ka, aku di sini Ka. Aku nggak ke mana-mana. Aku bakal nemanin kamu sampai kamu tenang,” bisikku padanya.

Sesaat, amukan Kania melemah. Ketika aku tidak lagi membisikkan apa-apa, Kania kembali memukul-mukul dadanya. Apa iya, dia bisa bereaksi pada ucapanku?

Ka, I love you. I love you. Remember our kissed, Ka. Please remember everytime we kissed, it always be like the first time for us. Please just remeber us, Ka. Please remember your happiness when you’re with me. Please remember when you asked me not to left you again. Please Ka, just remeber us...

Aku terus memborbardirnya dengan kata-kata apa saja yang bisa membuat pikirannya teralihkan dari Januar. I know, when she’s with me, I can disappear Januar from her mind. Aku tahu, ada kesempatan untukku di masa depannya. Aku masih sering melihat pipinya yang bersemu merah saat obrolan atau kontak fisik kami sudah terlalu intim. Aku tahu, saat virus bernama Januar ini bisa hilang, kami akan memiliki tujuan masa depan yang sama.

Aku masih membisikinya ’I love you’ sampai ratusan kali. Pelan-pelan, amarahnya mereda. Kania sudah tidak lagi memukul-mukul dadanya. Tangisnya juga tinggal isakan saja. Hanya saja, napasnya masih putus-putus. Ia belum bisa mengendalikan napasnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang, selalu terhenti di tengah-tengah.

Ka, breath with me, okay?” ajakku sambil mendekapnya.

Kuambil napas panjang, berharap ia bisa mengikuti ritme bernapasku. Kania terus-terusan mengikuti ritme napasku. Sesekali tarikan panjangnya terputus, tapi ia tetap bisa mengendalikan diri. Selama satu atau dua menit, ia masih saja mengikuti ritme napasku. Aku bisa merasakan kini tubuhnya merileks.

Kubiarkan ia terus berada di pelukanku sampai tertidur. Tangannya masih mencengkeram lengan dan bajuku yang sudah basah oleh air matanya. Energinya pasti sudah habis. Kuputuskan untuk mengangkatnya ke kamar. Waktu kurebahkan, Kania sempat membuka matanya.

Don’t leave me, Ndhi...” ucapnya lirih.

Never Ka. Never.

Perlahan, Kania memejamkan matanya lagi. Kutarik selimut, dan kubiarkan ia tidur sambil memeluk lenganku.


***


Waktu aku melihatnya sudah tertidur pulas, kuputuskan untuk menelepon ibunya, dan menceritakan semuanya. Kuceritakan saat Kania bertemu dengan Januar, dan bagaimana Kania kolaps lagi. Minus cerita tentang Kania hangover dan menginap di apartemenku, tentu saja. Aku berjanji pada ibu untuk mengantar Kania pulang, setelah nanti dia bangun.

Sekitar jam tujuh malam Kania baru terbangun. Ia keluar kamar dengan mata sembap dan bengkak. Ia menghampiriku ke meja bar, saat aku sedang membuat teh lemon.

“Udah enakan, Ka?” tanyaku sambil menyodorkan secangkir teh lemon untuknya.

Ia hanya mengangguk sambil menerima cangkir teh lemonnya. “Aku mau pulang, Ndhi,” pintanya.

“Makan dulu ya. Kamu dari tadi siang belum makan apa-apa.”

“Aku nggak lapar. Aku mau pulang.”

Aku tidak ingin berdebat dengannya. Kuturuti permintaannya, dan segera mengantarnya pulang. Sepanjang jalan, Kania hanya diam saja.

Are you okay?” tanyaku, saat kulihat pandangan Kania kosong.

“Kayak ada yang kurang, nggak sih?”

“Kurang apa? Ada yang ketinggalan di apartemenku?” tanyaku bingung.

No, bukan barang. Aku ngerasa kayak ada yang kurang.”

Kania terlihat kasak-kusuk tidak tenang. Aku mulai cemas dibuatnya. Aku tidak tahu, apa yang kurang.

Sesampainya di rumah Kania, walaupun ibu tidak ada, kali ini aku memutuskan untuk turun dan mampir sebentar. Siapa tahu aku bisa membujuknya untuk makan. Begitu Kania membuka pintu, ia terlihat kaget, mundur, dan tangannya mencari-cari tanganku untuk dipegangnya.

“Ini nggak ada hubungannya sama dia, Ray. Step back!” Kania mulai bicara sendiri.

Aku tahu dia bicara dengan Ray. Apa mungkin, rasa kehilangan yang tadi ia maksudkan karena Ray? Seingatku, sejak tiba di apartemenku dalam keadaan mabuk berat, sampai tadi kami pulang, Kania tidak sekali pun teralihkan oleh Ray.

“Kenapa lo nggak datang? Kenapa lo nggak cari gue?? Selama ini lo selalu berhasil menemukan gue, kenapa sekarang nggak bisa??!” Kania masih berdebat, tapi tangannya makin keras menggenggam tanganku.

Ray, don’t you dare...

Tiba-tiba Kania membalikkan badannya dan mendekapku. Aku merasakan sentakan kuat pada tubuhnya yang terdorong ke arahku. Napasnya kembali tidak teratur. Kania lalu membalikkan badannya lagi. Matanya celingukan mencari Ray. Aku, yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya memegang pundak Kania, mencoba mengendalikan badannya.

“Ka, ada apa? Ray kenapa?”

He’s trying to stab you,” ucapnya cemas.

Remasan tanganku makin kuat pada pundaknya. Apa lagi sekarang. Setelah aku bisa mengendalikan emosinya pada Januar, sekarang aku harus mengendalikan imajinasinya terhadap Ray??

“Ka, dengarin aku. Ray nggak akan bisa nyakitin aku. Sekarang kamu tenang, dan jangan biarin Ray ambil alih rasa takutmu.”

Kania tiba-tiba mendorongku ke belakang dan membuat tameng di depanku. Diangkatnya tangan kanannya untuk melindungi dirinya dan juga aku.

“Ray jangan…!!!!” ia berteriak.

Aku sudah tidak tahan lagi. Segera kubalikkan badannya, dan kupeluk erat. Kurasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, dan badannya yang gemetar. Kania ketakutan.

Kania listen to me. Nggak ada siapa-siapa di sini yang akan nyakitin aku dan kamu. Ray nggak bisa nyakitin aku, dan dia juga nggak bisa nyakitin kamu. It is just in your head, Ka.

Kania melepaskan diri dari pelukanku dan menoleh ke kanan. Tangannya kembali mencengkeram lenganku, kali ini dengan protektif.

“Bukan dia yang bikin gue nggak pulang Ray. I got drunk with Arki, not him. He’s just...

Dengan kasar, kutolehkan kepala Kania agar menghadap padaku. Kukunci pandangan matanya.

Focus on my eyes.

“Ray di samping mau nusuk kamu!” Kania mulai histeris.

FOCUS ON MY EYES, KA!!!” aku menaikkan intonasi suaraku, agar Kania bisa fokus padaku. “Fokus ke mata dan suaraku. Jangan lihat ke mana-mana selain ke mataku, dan jangan dengarin apa-apa selain suaraku.”

“Ndhi...”

Secara paksa, aku memutuskan untuk mencium Kania. Bukan, ini bukan ciuman berlandaskan hasrat seperti tadi siang. Aku hanya ingin Kania bisa fokus padaku, agar bayangan Ray bisa segera menghilang. Tiba-tiba, Kania tidak lagi mencengkeram lenganku. Tubuhnya terkulai lemas. Kania pingsan.


***


Badanku terasa sakit semua. Posisi tidurku sangat tidak nyaman. Terduduk dengan kepala yang rebah di pinggir tempat tidur. Kulihat Sam juga tertidur di sofa yang ada di kamar Kania.

Setelah Kania pingsan, aku membawanya ke kamar, dan mencoba untuk membuatnya sadar. Kucoba memberinya bau-bauan menyengat seperti cologne, tapi tidak berhasil. Aku mulai panik. Tadinya aku mau membawanya ke rumah sakit, tapi tiba-tiba handphone Kania berbunyi. Kulihat nama ’Nyonya Rumah’ berkedip-kedip. Mungkin itu ibu.

“Halo Ram, kamu udah di rumah?”

“Bu, ini Yandhi. Kania pingsan.”

Itu jelas-jelas kalimat pembuka yang salah. Ibu langsung panik, dan aku harus mengendalikan diri agar tidak ikut panik. Padahal di hadapanku, ada Kania yang masih belum sadar.

Kuceritakan pada ibu tentang pertengkaran Kania dan Ray, tanpa versi yang dibuat-buat. Kukatakan bahwa berkali-kali Kania melihat Ray ingin menusukku, dan Kania ketakutan setengah mati. Lagi-lagi, aku melewati bagian di mana aku mencium Kania. Aku hanya langsung bilang bahwa Kania ketakutan dan ia pingsan. Agar ibu tenang, kukatakan bahwa aku akan membawa Kania ke rumah sakit.

Ibu melarangku membawa Kania ke rumah sakit. Ia memintaku menunggu, karena ia akan menelepon Sammuel. Setelah ibu menutup telepon, tidak lama teleponku yang berbunyi. Kali ini, ibu menelepon ke handphone-ku.

Lihat selengkapnya