Aku bangun dengan badan yang luar biasa sakit dan lelah. Kulihat jam, sudah jam sebelas siang. Tidak ada siapa-siapa di kamarku, tapi aku bisa mendengar suara ibu dan Om Sam dari arah dapur. Kutajamkan pendengaranku, berharap bisa mendengar suara Yandhi. Tidak ada. Nihil. Tentu saja, setelah melihatku kolaps dan ngamuk seperti itu, aku yakin dia tidak lagi meluruskan niatnya untuk tetap bersamaku.
Kuputuskan untuk berendam air hangat agar bisa berpikir jernih. Ingatan terakhir yang lewat dipikiranku adalah saat aku memukul-mukul Yandhi untuk keluar dari kamarku. Setelah itu, tidak ada yang bisa kuingat lagi sampai sekarang.
Masih terdengar dengan jelas, saat Yandhi mengisyaratkan, apakah aku harus memilih dia atau Ray. Ray! Aku celingukan di kamar mandi mencarinya. Tentu saja dia tidak ada. Setelah marah besar semalam, dia pasti tidak akan pulang dalam beberapa hari. I thought this would be a great after party of my birthday. Turns out, this is the worst birthday. I lost Ray. I lost Yandhi.
Kuselesaikan berendamku dengan cepat, lalu pakai baju sekenanya, dan mengambil handphone. Ku-scroll contacts sampai menemukan nama Arki.
“Halo Ar, sibuk nggak? Ketemuan yuk Ar, gue butuh ngobrol nih. Ajak Sashi juga nggak apa-apa…Oke Ar, gue tunggu ya.”
Aku lalu berjalan ke dapur dan mendapati ibu masih mengobrol dengan Om Sam. Ibu langsung menghampiri dan memelukku erat. Aku bisa merasakan kekhawatiran dari pelukannya.
“Rama baik-baik aja, Bu.” ujarku menenangkannya.
“I know you will be okay. Ibu cuma kangen sama anak Ibu yang kemarin lusa ulang tahun. Selamat ulang tahun ya, sayang,” kata ibu sambil mencium pipiku.
“Wow, twenty....” Om Sam menggantung ucapannya.
“Seven,” jawabku.
“Selamat ulang tahun ya Rama. Harus jadi perempuan kuat, biar bisa tahan banting.”
“Makasih Om.”
Aku lalu duduk, dan ibu menyodorkan sepiring nasi untukku. Tiba-tiba perutku terasa lapar sekali. Kalau kuingat-ingat lagi, makan terakhirku adalah sarapan di balkon apartemen Yandhi. Yandhi....
“Bu, Yandhi mana?” aku bertanya takut-takut. Takut, kalau pandangan ibu padanya berubah, karena dia telah membuatku kolaps semalam.
“Dia tadi ibu suruh pulang. Kasihan, udah semalaman nemanin kamu, kurang tidur, matanya capek. Kamu juga kan tadi masih tidur, jadi Ibu suruh dia pulang dulu buat istirahat.”
“Ibu nyuruh dia pulang benar-benar karena dia capek dan butuh istirahat kan? Bukan karena ibu benci dia kan?” tuduhku sambil menyuap makan siangku.
“Kamu tuh ya, sama ibu sendiri aja suudzon,” protes Om Sam.
“Bukan suudzon kok. Kan Rama cuma nanya aja,” aku membela diri.
“Benar-benar karena Yandhi kecapean, Ram. Coba kamu pikirin, orang yang udah habisin energinya buat jagain kamu, emangnya nggak butuh istirahat? Lagian kenapa juga Ibu harus benci sama Yandhi?”
Aku bernapas agak lega. Aku tahu ibuku. Kalau dia sudah membenci orang, sampai mati pun mungkin tidak akan dilupakannya. Dimaafkan mungkin, tapi melupakan kesalahan yang sudah diperbuat, jangan harap.
“Eh Ram, nanti sore kalau kita bertiga makan di luar gimana? Om traktir deh buat rayain ulang tahun kamu,” ajak Om Sam.
“Yah Om, Rama udah ada janji sama Arki. Next time ya, Om.”
“Mau pergi sama Arki?” tanya ibu.
“Arki kayaknya yang bakalan ke sini Bu. Rama pengin ngobrol aja sama dia,"
Ibu dan Om Sam mengangguk. Mereka mengerti, bahwa aku memilih Arki untuk kuajak bercerita tentang keadaan ini. Sedikit banyak, aku merasa bersyukur, ibu tidak memojokkanku untuk bercerita soal kejadian tadi malam.
***
Menjelang sore, Arki datang sendiri. Dia bilang, Sashi tidak bisa ikut karena mertuanya masih menginap di rumahnya. Kami akhirnya nongkrong di atap.
“Kenapa lo? Ditembak Yandhi?” todongnya.
“Idiiih, apaan sih lo. Marah-marah gue buat lo terpaksa gue tunda nih sekarang.”
“Lah, marah-marah apaan nih?” Arki bertanya bingung.
“Kenapa lo setuju-setuju aja ngasih gue ke Yandhi untuk nginep di apartemennya dalam keadaan hangover! Terus kenapa lo boong sama gue, bilangnya gue muntahin dia!!”
Arki tertawa, merasa menang. Aku cemberut melihatnya.
“Udah, selow aja. Gue nggak bakal ngasih lo ke dia, kalau gue nggak yakin sama dia. Coba lo pikir, selama belasan tahun gue sama Abian nemenin lo mabok, emangnya gue pernah ngelepasin lo buat dibukain kamar sama Bian, berduaan doang? Nggak pernah Ram. Selalu gue temenin kalau Bian mau bukain lo kamar. Gue tahu, dia bukan tipe orang yang bisa nahan diri kalau ada kesempatan.”
“Terus lo emangnya tahu, kalau Yandhi bisa nahan diri??”
“Tahu. Buktinya lo masih baik-baik aja.”
“Ah, taik lo!”
“Udah, cerita sama gue, lo kenapa sih?”
Aku menceritakan semuanya pada Arki. Mulai dari aku bertemu Januar, kolaps, dan ditenangkan oleh Yandhi. Sampai aku merasa kehilangan Ray, dan Ray kesetanan ingin menusuk Yandhi. Sampai titik di mana aku menceritakan marah besar pada Yandhi, memukul dan mengusirnya, karena ia berusaha membuat pilihan antara dirinya dan Ray.
Arki hanya diam mendengarkan semua ceritaku. Sesekali memandangku tajam, untuk melihat apakah aku baik-baik saja membuka kembali semua cerita menyesakkan ini.
“Gue mau nanya sekarang sama lo Ram. Tapi lo harus jawab ini pelan-pelan. Gue nggak mau lo pake emosi. Lo harus benar-benar berpikir dulu, oke?”
Aku mengangguk setuju. Ini yang aku harapkan dari Arki, keseriusannya dalam menanggapi ceritaku.
“Sekarang ini, kalau lo inget-inget soal si anjing...”
“Siapa?” aku memotong, bingung.
“Januar!” Arki menegaskan kesal. “Kalau lo inget-inget soal dia, ada rasa sesak nggak di dada lo? Masih ada perasaan nyeri nggak kalau lo ingat pamitannya dia?”
Aku masih tidak suka topik soal perpisahan dengan Januar, tapi aku tahu, Arki punya poinnya sendiri. Kucoba untuk mengingat kejadian itu secara mendalam. Malam di mana Januar datang untuk meminta maaf ibuku, dan pamit padaku. Kata-katanya saat memintaku untuk melepasnya masih terdengar jelas.
“Lepasin aku ya Ram. Aku nggak bisa bikin kamu bahagia. Ada orang lain yang mau aku bahagiain,” ucap Januar kala itu.
Aku merasakan hantaman pada dadaku saat mengingatnya. Kutarik napas panjang, berkali-kali. Tiba-tiba, memori tumpang tindih lagi. Tapi kali ini, yang kuingat adalah hangatnya pelukan Yandhi dan bisikan ’I love you’ ratusan kali yang ia ucapkan mendominasi inderaku. Aku bisa merasakan napasku mulai teratur, dan hantaman itu mulai menghilang. Ketika aku membuka mata, kulihat Arki memperhatikanku was-was.
“Still hurt?” tanyanya.
“No. Not really,” jawabku jujur.
“How come?”
“Waktu Yandhi nenangin gue di apartemennya, dia ratusan kali bisikin ’I love you’. Dia berulang kali minta gue untuk ingat semua kejadian bahagia kalau gue lagi sama dia. He said, ‘please remember us’. Kata-kata itu terus gue masukin ke dalam kepala. Prosesnya emang lambat sih, but it works. I can control myself when I’m with him. I can control myself now, when remembering him.”
“Good. Pertanyaan kedua, apa benar, selama lo hangover sampe dia mau anterin lo pulang, lo sama sekali nggak ingat sedikit pun sama Ray?”
Kali ini aku dengan cepat menjawab. “Nggak.”
“Terus lo tahu, apa pemicunya pas Yandhi antar lo pulang, lo baru ngerasa ada yang kurang? Lo baru ngerasa Ray nggak pernah muncul?”
Aku kembali diam dan mencoba berpikir. Bagaimana bisa aku sama sekali tidak kepikiran tentang Ray dalam rentang waktu hampir 24 jam? Aku lalu teringat, saat dulu sedang bersama Yandhi, ketika kami menonton pertandingan Aspac vs SM. Waktu itu pun, aku sama sekali tidak kecarian Ray. Atau ketika aku nonton di bioskop dengan Yandhi, bahkan ketika acara perpisahan di rumah Yandhi, aku sama sekali tidak pernah mengingat Ray. Seems like he doesn’t exist.
“I don’t know Ar,” kali ini aku merasa tidak bisa menemukan jawaban apa-apa.
“Menurut gue, mungkin waktu sama Yandhi, lo merasa cukup, Ram.”