You, K

Racelis Iskandar
Chapter #20

‘TILL WE MEET AGAIN (Rama's Part)

Aku merasa liputan kali ini sangat menyiksaku. Melihat-lihat konsep terbaru untuk sebuah pernikahan yang ditawarkan di wedding expo adalah pilihan yang salah. Tadinya aku mau mengajak Tyas, atau Baron, atau Ijul, atau siapa pun untuk menemaniku. Sayangnya, mereka semua sibuk dengan liputan masing-masing.

“Mba mau lihat model apa?” tanya salah satu pegawai dari booth perhiasan yang sedang kudatangi.

“Ah, saya Ramadhani, Mbak, dari Women Magazine,” aku memperkenalkan diri sambil memberikan kartu namaku. “Tahun ini, tren wedding ring kayak apa, Mba?” tanyaku, memulai wawancara dadakan.

“Kalau tren, kayaknya solitare ring akan terus jadi pilihan, Mba. Paling yang berubah atau yang diminta secara custom, ya batu cincinnya.”

“Selain berlian Mba, apa aja yang banyak diminta?”

“Kalau mau yang harganya terjangkau, tapi tetap mau keliatan kayak berlian, biasanya orang-orang pilih moissanite. Saingannya berlian biasanya safir, blue saphire juga banyak yang minta.”

Rosegold katanya lagi banyak dipesan juga ya, Mbak?” aku bertanya lagi.

Rosegold untuk lapisan emas, lumayan banyak yang pesan, tapi kalau untuk cincin kawin, sedikit yang pilih warna rosegold. Biasanya yang banyak minta warna rosegold untuk hadiah anniversary atau cincin tunangan.”

Aku mengangguk-angguk sambil merekam pembicaraan. Kukelilingi etalase yang berkilauan tersebut. Di salah satu display boks yang terbuka, aku melihat cincin yang sangat cantik sekali dengan batu hitam kecil di atasnya.

“Yang batu hitam ini, apa Mba?”

“Oh, itu black diamond, Mba. Made by request.”

Aku meminta izin agar pramunia mengeluarkan display cincin pasangan tersebut, dan memotretnya. Jantungku berdegup kencang, membayangkan cincin tersebut bisa ada di jari manisku. Potongan berlian di bagian atasnya terlihat sangat halus dan menawan. Untuk cincin laki-lakinya, berlian hitam disematkan kecil pada bagian tengah yang dibuat rata.

Kutahan napasku, dan kuintip label harga kecil di bawah boks tersebut. Sial, dua digit gendut. Lama kutatap cincin tersebut.

“Kalau Mba mau coba, boleh kok,” si pramunia menawarkan.

“Boleh?” tanyaku kaget sekaligus penuh harap.

“Boleh. Kan ini untuk liputan. Jangan lupa nanti nama toko kami dicantumkan ya, Mba Ramadhani,” ucap si pramunia.

Dengan napas yang tercekat, aku mengambil cincin tersebut. Waktu kusematkan di jari manisku, cincin itu meluncur bebas. Kebesaran! Tapi biarlah, walaupun kebesaran, setidaknya aku senang black diamond ini pernah mampir di jariku.

“Masnya nggak mau coba sekalian cincin yang buat laki-lakinya?” si pramunia menawarkan boks cincin laki-laki ke arah belakangku.

Kulihat boks tersebut diambil oleh tangan yang melewati bahuku. Aku menoleh cepat ke belakang, ingin melihat siapa laki-laki yang diajak bicara oleh pramunia ini.

“Punyaku juga kebesaran nih, Ka. Kita pesan baru aja ya.”

Aku terdiam. Kaku. Mematung. Napasku tercekat melihat Yandhi berdiri di belakangku, dengan senyum hangatnya, dan cincin diamond black yang kebesaran di jarinya. Kutahan air mata sialan ini agar tidak jatuh dihadapannya.

Yandhi lalu maju selangkah, lalu memelukku. Air mataku sudah tidak terbendung lagi. Kuremas lengannya kuat, untuk membuktikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Aku tidak mau lengan ini pergi lagi dari pelukanku.

I miss you, Ka…”

Butuh beberapa menit agar aku bisa mengontrol emosiku. Tangisku akhirnya mereda, dan mataku sedikit sembap. Kami terduduk di depan etalase cincin black diamond. Si pramunia dan teman-temannya hanya tersenyum-senyum melihat kami. Mungkin mereka pikir, tangisanku adalah tangisan romantis karena baru saja dilamar oleh pacarnya.

Setelah bisa menenangkan diri, Yandhi balik lagi untuk membicarakan si cincin black diamond dengan si pramunia. Aku kebingungan.

“Mba, jari kita diukur dulu deh,” kata Yandhi ke si pramunia. Pramunia itu hanya mengangguk dan mengambil alat ukur.

“Buat apa ukur jari?” aku bertanya bingung pada Yandhi.

“Ya buat bikin cincin Ka. Masa ukur jari buat bikin sepatu?”

“Bukan, maksudku buat apa bikin cincin?”

“Kamu bukannya suka sama cincin ini?” ia menunjuk ke arah black diamond.

“Iya, terus?”

“Ya aku juga suka. Kita bikin aja cincinnya. Yang di display tadi kan kegedean.”

“Aku mau pakai cincin ini ke mana? Aku suka, tapi bukan berarti harus dibeli juga, Ndhi.”

“Kok mau pakai ke mana sih? Ya dipakai tiap hari lah. Masa cincin kawin nggak dipakai tiap hari? Harus dipakai, nggak boleh dilepas-lepas. Biar orang tahu kalau kamu udah jadi istri aku,” Yandhi menjelaskan sambil melotot ke arahku.

Aku masih dalam mode kebingungan. Si pramunia sudah siap untuk mengukur jari kami. Ia menarik pelan tanganku dan mengukur jariku. Pandangan mataku masih terarah pada Yandhi. Laki-laki ini sudah gila ya. Kalau mau bercanda, tidak diangka lebih dari Rp 26jt dong.

Ndhi it’s twentysix something,” aku berbisik ke arahnya, mencoba mengingatkan harga cincin yang akan dibelinya.

It’s you, Ka, priceless.

Rasanya aku pernah mendengar kalimat barusan. Itu adalah kalimat waktu ia memberikanku wristband pertamanya.

Setelah selesai mengukur, si pramunia menanyakan apakah kami ingin membuat inisial di bagian bawah dalam cincin. Yandhi langsung mengatakan, untuk cincinku dilabeli ‘Dhirasa’, dan untuk cincinnya dilabeli ‘You, K’. Ia lalu mengeluarkan kartu debitnya, dan membayar penuh untuk cincin tersebut. Selesai membayar, si pramunia meminta data diri Yandhi dan nomor telepon untuk dihubungi saat cincin kami nanti sudah jadi. Setelah semuanya beres, ia lalu menggandeng tanganku dan mengajakku untuk melihat ke booth lain.

“Aku mau pulang,” ucapku. Aku akan makin senewen di sini, karena bukan tidak mungkin laki-laki ini akan membeli atau melakukan DP pada setiap booth.

“Yakin nggak mau lihat-lihat undangan atau sovenir dulu?”

No! Arrgh you messed up my work today!

Aku lalu berjalan ke pintu keluar, dengan hati kesal, senang, deg-degan, dan salah tingkah setengah mati. Yandhi tetap menggandeng tanganku, senyum-senyum sendiri sepanjang jalan menuju parkiran.

“Kamu tahu nggak sih, kamu itu orang paling ceroboh yang pernah aku temuin!” aku langsung merepet marah-marah saat kami masuk ke mobil.

Yandhi menyalakan mobilnya, tapi tidak menjalankannya. Ia duduk menyamping ke arahku, dan mendengarkan semua omelanku.

“Kamu tadi lihat nggak, harga cincinnya berapa? Udah gila ya, harga segitu gampang banget buat digesek gitu aja. Kalau cara hidupmu kayak gini, sebentar lagi kamu bakalan bangkrut tahu!”

Ia hanya tersenyum-senyum pasrah mendengarkan semua omonganku. Aku, yang sebenarnya mengomel untuk menutupi salah tingkah, merasa sebentar lagi bahan ocehanku sudah hampir habis. Benar saja, ketika sudah tidak ada lagi yang aku ocehkan, Yandhi lalu memegang kedua pundakku untuk diarahkan padanya.

“Ramadhani Kania Sujaswanto, aku nggak keberatan setiap hari harus dengar omelan kamu yang kayak gini, atau yang lebih parah. Aku akan selalu nunggu, setiap pagi atau setiap malam cerewetnya kamu karena aku ceroboh, berantakan, atau malas mandi. Aku juga nggak keberatan kalau kamu minta beliin apa aja yang harganya di atas Swatch Summer Breeze kamu. That’s why I work so hard, to make my future wife, you, can fullfill anything you want, anything you need.

Aku memilih diam kali ini. Wajahku pasti sudah merah bukan main, malu mendengar kata-katanya. Heran, kenapa sih dia tidak merasa malu mengucapkan hal romantis seperti ini??

“Masalah cincin, nggak usah dipanjangin lagi. Kita cuma tinggal nunggu cincinnya jadi. Mbanya tadi bilang sekitar satu atau dua minggu baru selesai dibikin. Sekarang, aku mau ke rumah kamu, mau ketemu ibu.”

“Ngapain mau ketemu ibu?”

“Aku mau minta izin buat nikahin anak semata wayangnya. Aku mau minta izin ambil alih peran buat jagain kamu. Aku rasa ibu udah waktunya nikmatin hidupnya, tanpa harus pusing mikirin siapa yang bakal mau sama anak perempuannya yang kepalanya lebih keras dari pada batu ini.”

Rasa tercekat itu datang lagi. Aku buru-buru memukul-mukul dadaku, agar rasa tercekat ini bisa hilang. Yandhi lalu menangkap kedua tanganku. Matanya berubah khawatir.

“Ka, kenapa sayang?”

All this time I always thought that I didn’t deserve you. You make yourself great, settled, and ready for me. I couldn’t give anything except worry that my collapse will appear anytime.

You deserve me, Kania. No one deserves me better than you. You deserve all of me.

Tangisku tumpah untuk kesekian kalinya. Kali ini, ia meraupku ke dalam pelukannya. Aku tahu, mulai sekarang, aku tidak perlu khawatir lagi ia akan pergi.


***


Aku, Yandhi, dan ibu duduk terdiam di ruang tengah. Baru kali ini aku melihat Yandhi yang kaku, seperti terkena serangan panik di depan ibu. Baru saja ia meminta izin ibu untuk bisa melamarku, mukanya langsung pucat pasi.

“Kamu benar-benar serius, mau melamar Rama?” tanya ibu dengan suara yang rendah, tapi mengintimidasi.

“Iya Bu, aku serius mau lamar Kania. Aku mau minta izin Ibu dulu secara pribadi. Kalau memang Ibu sama Kania setuju, aku akan bawa orang tuaku untuk melamar secara resmi.”

Ibu terdiam cukup lama. Aneh, kukira selama ini keinginan ibu adalah aku dilamar orang, or better, aku dilamar Yandhi. Kenapa sekarang ibu malah diam saja?

Lihat selengkapnya