“Ryan, adiknya jangan ditinggal. Tungguin sebentar lagi.”
“Nami lama, Ma. Nanti Ryan telat.”
“Sebentar lagi. Itu dia udah turun kok dari kamarnya.”
Pagi kami selalu seperti ini. Ryan yang sudah kelas 5 SD kini merasa seperti bos jika adiknya telat bangun pagi. Bisa seenaknya meninggalkan Nami yang baru kelas 3 SD.
Ryan Dhirasa Putra adalah anak pertamaku. Dengan gaya cool dan bercita-cita menjadi pemain baseball profesional, Ryan terlihat seperti duplikat Yandhi kecil, menurut mama. Anak keduaku, Nami Ra Saputra, lebih mewariskan sifatku, tidak pandai bergaul dengan banyak orang, dan lebih suka mengekor di belakang abangnya.
Sedangkan Yandhi, ia masih sering berkutat dengan proyek-proyek pembangunan rumah, apartemen dan hotelnya. Masih dibalut dengan sikap protektifnya, yang kali ini tidak hanya padaku, tetapi pada dua anak kami. He is really become a good father, and also a good husband.
“Ma, Ryan jalan ya. Udah ditunggu sama Reno.”
“Sebentar lagi Ryaaaan.”
Nami lalu dengan tergesa-gesa turun dari kamarnya dan berlari ke arah Yandhi yang sedang sarapan.
“Ayah, Nami pergi dulu ya. Assalamualaikum.”