(A.)
Hari ini hari pertama ku di sekolah baru. Bukan perkara besar bagiku, karena kenyataan bahwa sampai sekarang aku belum bisa membiasakan diri. Bukan, bukan karena sifat manja atau semacamnya. Hanya saja.. Mungkin aku akan sedikit merasa kesepian.
Aku pindah ke rumah nenek di Madiun. Ada suatu alasan di balik hal ini tentu saja. Dan aku tidak keberatan harus tinggal di rumah nenek, meskipun untuk selamanya. Karna jujur saja, aku lebih nyaman di Madiun daripada di Jakarta.
“ Non Lea, sarapan sudah siap. ” panggil bibi pembantu yang mengetuk pintu kamarku.
“ Iya bi. ” jawabku sambil terus menatap cermin meja riasku, berusaha untuk tersenyum.
Lalu aku keluar dari kamarku, menuju ruang makan di lantai bawah. Ternyata disana sudah ada kakek dan nenek yang menungguku. Saat ini pukul enam lebih sepuluh dan kebiasaanku ini tak pernah pudar. Disiplin, suatu tradisi di keluargaku yang seakan sudah mengakar entah sejak kapan. Tapi aku mengapresiasinya, mungkin itulah salah satu faktor pendukung kesuksesan ayahku. Oh salah, mendiang ayahku.
“ Pagi kakek! Pagi nenek! ”
“ Pagi sayangku, cepat duduk. Mumpung masih anget. ” kata nenek dengan senyum hangatnya.
“ Hari ini hari pertama mu ya? Yang semangat ya Lea! Kakek yakin kamu pasti bisa. ”
“ Iya kek. ” jawabku dengan sedikit memaksakan senyuman.
Menu hari ini, ayam lada hitam, kesukaanku. Dan tentu saja, rasanya persis seperti buatan.. Mendiang ibu. Sebenarnya bukan resep beliau juga. Pertama kali aku merasakan ayam lada hitam ini saat berkunjung ke rumah nenek waktu umurku masih tujuh tahun. Saat itu pula aku langsung jatuh cinta dengan makanan ini. Berkali-kali aku merengek dibuatkan ayam lada hitam yang sama saat sudah kembali ke Jakarta. Maka dari itu ibu meminta resep ke nenek. Sungguh aku yang merepotkan.
“ Kesukaanmu bukan? Ayam lada hitam. ” goda nenek.
“ Hehe iya nek. ”
Pagi ku hari ini, diawali dengan sarapan bersama yang hangat dan tenang. Semoga bisa seperti ini selamanya. Jangan ada lagi yang pergi. Sudah cukup.
▪▪▪
(K.)
Saat aku membuka mata, kulihat jam di ponselku menunjukkan pukul setengah lima pagi. Sarapan? Masih ada sisa sayur dari Tante Neni kemarin, tinggal dihangatkan saja beres. Ah aku rindu saat pagi-pagi sekali ibu yang membangunkanku. Mengatakan padaku saat sarapan sudah siap.
Aku menghembuskan nafas berat, mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri dari rasa kantuk . Setelah tiga orang yang paling kusayang meninggalkanku. Aku terbiasa hidup sendiri. Semuanya kulakukan sendiri. Namun masih banyak tetangga yang peduli denganku. Mereka terus menyemangatiku, padahal lambat laun kata-kata itu malah membuatku semakin teringat.
Sarapan yang terasa hening ini seharusnya sudah menjadi bagian dalam hidupku yang baru. Sekilas bayangan tentang Lina yang tertawa riang melintas di pikiranku. Seolah aku bisa melihat langsung dirinya.
Lina, adikku, dia biasanya akan duduk di depanku atau disampingku. Hanya untuk menjahiliku atau mengejekku. Lalu bayangan sosok ibu yang tersenyum melihat tingkah anak keduanya itu. Dan bayangan sosok ayah yang kadang sampai tersedak makanan karena candaan Lina.
Aku hanya bisa tersenyum mengingat semua itu. Tapi sekarang bukan saatnya untuk nostalgia. Sekilas ku lihat jam dinding di atas kulkas, lalu bergegas menghabiskan sarapan dan bersiap untuk sekolah.
▪▪▪
(A.)
“ Seperti yang sudah bapak katakan kemarin, hari ini kalian kedatangan teman baru. Alea, silahkan memperkenalkan diri. ”
“ Perkenalkan, nama saya Alea Zeline Chavali. Biasa dipanggil Alea Atau Lea. Saya murid pindahan dari Jakarta. Saya harap saya bisa berteman baik dengan kalian semua. ” kalimat itu lolos begitu saja dari mulutku dengan sebuah senyuman yang terukir. Ternyata persiapanku selama di mobil tadi tidak sia-sia.
Saat aku berjalan menyusuri barisan para murid lainnya menuju kursiku. Sayup-sayup kudengar kata-kata mereka.
‘ Oi! Lumayan ya, cantik woe. ’
‘ Mayan lah, bening euy. ’ dan semacamnya. Terimakasih sebenarnya.
Akhirnya aku sampai di kursi nomor dua dari belakang, karena kebetulan hanya kursi ini yang kosong. Di sebelahnya ada seorang siswi yang memandangku dengan mata berbinar. Seolah sangat menungguku untuk duduk lalu memperkenalkan dirinya padaku. Dia manis, aku akui itu. Rambutnya tidak terlalu panjang tapi tidak pendek juga. Tatapannya bersahabat, senyumannya pun enak dipandang.
“ Kenalin! Namaku Elvira Salsabila Putri. Panggil aja Vira. ” sapanya begitu aku duduk. Tangan kanannya yang menjulur menambah sambutan hangat itu terasa semakin nyaman.
“ Alea, biasa dipanggil Lea. ” jawabku singkat dengan senyuman dan tentu saja, menjabat balik tangannya.
Vira baik, asik, sedikit alay tapi masih dalam batas wajar. Dia juga pintar, dengan senang hatinya dia mengajariku beberapa soal yang tidak aku mengerti. Sepertinya dia teman yang baik.
▪▪▪
(K.)
“ Woi! Nyontek PR dong! Hehe. ”
Baru saja duduk, tapi pemandangan di depan wajahku sudah terpenuhi dengan sosok.. entahlah, yang pasti menyebalkan.
Keadaan seperti ini memang sudah sering terjadi padaku. Bahkan jika dalam seminggu Eja tidak mengucapkan kalimat itu, seperti ada yang aneh rasanya.
Aku hanya bisa pasrah dan menyerahkan buku tugasku padanya. Melihatnya tersenyum kegirangan entah mengapa membuatku ingin menamparnya. Eja segera membalikkan tubuhnya membelakangiku. Tempat duduknya tepat berada di depanku, tapi aku malah lebih dekat dengannya daripada teman sebangku ku, Alif. Alif anaknya cukup pendiam, sedikit pemalu, namun jika dia sudah ikut bercengkerama denganku dan Eja sebenarnya dia asik juga.
Saat ini Alif belum datang, padahal biasanya kedatangan anak itu tak jauh berbeda denganku. Baru saja aku membatin hal itu. Kulihat Alif sedikit tergopoh-gopoh sambil memasuki pintu kelas.
“ Van.. Nyontek.. PR dong.. ” mintanya dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“ Lo kenapa dah Lif? ” tanya Eja, mewakilkan ku. Terimakasih teman.
“ Ban motor bocor.. Jam rumah mati.. Takut telat.. ”
“ Duduk dulu lah lif. Tuh tugasku dibawa Eja. ”
“ Makasih Van.. ” dan masih dengan nafas ngos-ngosan, Alif duduk di sebelah Eja. Memulai aksinya—menyontek gelombang dua setelah Eja—.
▪▪▪