(A.)
Ini hari yang cukup panjang untukku. Hari pertama masuk sekolah bukankah seharusnya diisi dengan hal-hal yang sederhana? Yang menyenangkan. Karena 'hal' baru. Tapi apa ini? Kenapa malah jadi seperti ini?
Jarum jam di kamarku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seharusnya aku sudah tidur. Tapi nyatanya pikiranku belum juga tenang. Bayanganku tentang hari esok sangat—sangat— menghantuiku.
Sudah kudengarkan berbagai macam playlist lagu instrumental, lagu ballad, dan lainnya yang biasanya selalu sukses membuatku berlabuh ke negeri kapuk. Tapi kali ini otak ku sepertinya tidak bisa diajak kompromi.
Hawa dingin malam semakin terasa. Aku bangkit dari tempat tidurku, menyalakan lampu. Menuju lemariku untuk mengambil kaus kaki. Tapi saat aku kembali, mataku tertuju pada bingkai foto di meja belajarku.
Sebuah foto terakhirku bersama ayah dan ibu. Ini adalah foto saat ukang tahunku yang ke enam belas. Kami berdiri di belakang kue ulang tahun ku yang memiliki tiga tingkat kue dan menutupi sebagian tubuhku dengan senyuman bahagia. Ayah yang terlihat rapi dengan tuxedo nya dan ibu yang terlihat anggun mengenakan gaun lengan panjang berwarna maroon.
Tanpa kusadari, jemariku mengusap sosok ibuku di foto itu.
“ Ma.. Hari ini hari yang cukup berat buat Lea. Tidak, Lea tidak kesepian. Hanya saja, ada hal lain. ”
Senyumku terasa kupaksakan saat mengatakan kalimat itu. Kuletakkan kembali bingkai foto itu di meja belajarku. Mencoba untuk tidur sekali lagi mungkin akan berhasil. Lalu aku membalut diriku dengan selimut tebalku rapat-rapat. Mencoba memejamkan mata untuk beristirahat dari hari yang panjang ini.
▪▪▪
(K.)
Mataku masih berat saat akan naik sepeda motorku. Ingin tidur sedikit lebih lama lagi sebenarnya. Tapi bagaimana lagi, mau tak mau aku harus tetap berangkat tanpa ada keterlambatan.
“ Kevan? Kok wajahnya kelihatan pucat? Sakit ya? Atau kecapean? ” tanya Tante Neni ketika aku mengeluarkan motorku.
“ Ah nggak kok te. Kurang tidur aja. Semaleman ngerjain tugas. ”
“ Jangan sering-sering begadang ya! Gabaik. ”
“ Iya te, hehe. Berangkat dulu te! ”
“ Iya. Hati-hati! ”
Tante Neni memang baik. Beliau sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Semenjak aku hidup sendirian, beliau sering memberi ku sebagian dari makanan nya. Entah untuk sarapan, makan siang, atau makan malam. Bahkan di saat aku sakit, beliaulah yang merawatku.
Aku segera melajukan motorku dan berangkat ke sekolah. Jujur aku tidak bisa tidur tadi malam. Mungkin bisa dianggap hal kecil. Tapi aku terus memikirkannya. Apa yang harus kulakukan kalau aku bertemu dengannya lagi? Memberitahunya? Meminta maaf? Hal-hal itu terus mengisi ruang otakku. Jadi percuma saja usaha ku untuk tidur.
Saat aku sampai di sekolah, kulihat beberapa siswi tengah berkumpul di kelas XI IPS 3. Karena memang jalurnya searah dengan kelasku. Setiap hari aku melewatinya. Ada apa?
Namun begitu aku mendekat, para siswi itu spontan membubarkan diri. Beberapa diantara mereka memasang wajah kaget sekaligus khawatir saat melihatku. Apa aku aneh hari ini? Mungkin karena wajahku jadi agak pucat. Tunggu, bukan itu permasalahannya. Tapi mengapa mereka bergerombol di depan kelas XI IPS 3 itulah masalahnya. Karena sepengetahuan ku, sebagian besar diantara mereka atau bahkan semuanya adalah para siswi yang mengaku kagum padaku. Bisa dibilang, mereka penggemar ku. Dan aku masa bodo dengan hal itu. Tapi rasa penasaran ku belum terjawab. Seketika perasaanku jadi tidak enak.
▪▪▪
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Jam istirahat. Tapi biasanya aku akan menghabiskannya di dalam kelas bersama Alif dan Eja. Karena mengobrol di kelas yang sepi sudah menjadi tradisi kami bertiga. Tidak seperti anak cowok pada umunya yang akan caper dengan main basket di lapangan, atau berkumpul di belakang sekolah, atau berkeliaran disana-sini.
Sepertinya hari ini adalah pengecualian. Aku ingin mencari cewek itu. Mungkin berkenalan dengannya, dan mungkin setelah itu.. Meminta maaf.
“ Ja, cara kenalan sama cewek tuh gimana? ”
“ Hah?! ” Eja yang secara spontan berteriak di depan ku membuat Alif hampir tersedak makan siangnya. Matanya kuga melebar keheranan. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaanku?
“ Kevan? Yang selama ini masa bodo, cuek bin judes sama kebanyakan cewek. Akhirnya nanya ke gua cara kenalan sama cewek? ”
“ Lo baru puber Van? ”
Seperti dugaanku, respon Eja akan begitu. Memang benar apa kata dia. Selama ini aku tidak begitu mempedulikan gadis. Tidak mau berurusan dengan hal-hal yang berbau asmara dan sebagainya. Tapi apa salahnya berkenalan? Ya meskipun ada pepatah jika tak kenal maka tak sayang. Tapi bukan itu maksudku berkenalan. Bukan untuk menyayangi! Tapi untuk tahu namanya. Itu saja!
Mendengar respon Eja aku hanya menggidikkan bahu sambil mengangkat alisku. Seolah segera meminta jawaban yang aku inginkan darinya. Sedangkan Alif hanya menatap kami berdua sambil mengunyah tempe gorengnya.
“ Normal juga ya lo ternyata. ”
Plak!
Satu pukulanku mendarat di kepala Eja. Enak saja menganggap aku tidak normal.
“ Aduh! Ya biasa aja kali Van. ” ucap Eja sambil mengelus kepalanya.
“ Kalau menurut pengalaman gua.. Ya kenalan aja! Susah amat. ”
“ Cari orangnya, sapa, katakan kalimat 'hai, siapa namamu? Perkenalkan namaku bla-bla-bla', gitu. ”
Jadi ini? Jawaban yang dari tadi kunantikan hanya berupa kalimat tidak bermutu—tapi ada benarnya—yang keluar seenaknya dari mulutnya? Benar-benar.
“ Gitu doang? ”
“ Tapi kalau pake cara biasa kayak gitu, pastikan cewek itu udah ada setidaknya sedikit lah rasa tertarik sama lo. Dijamin worth it! ”
“ Emangnya cara yang nggak biasa gimana? ”
“ Itu biar lebih jelasnya gua jelasin satu paket sama cara PDKT deh. Biar lu– ”
“ Gausah. Makasih ya. ” buru-buru aku memotong ucapannya. Atau aku sendiri yang rugi.
Aku beranjak dari tempat duduk. Berniat untuk mencarinya. Aku belum tahu dimana kelasnya, tapi sepertinya dia anak baru. Baru selangkah aku akan pergi. Akhirnya sosok yang dari tadi menikmati makan siangnya angkat bicara.
“ Mau kemana Van? ”
“ Nyari orang. ” jawabku cepat.
“ Ciee yang mau kenalan sama cewek. Kevan mah gampang sih mau kenalan. Toh cewek-cewek juga udah pada ngantri. ”
Plak!
Dan lagi, satu pukulan ku berhasil mendarat di kepala Eja untuk yang kedua kalinya.
Aku melanjutkan langkahku keluar kelas, tak mau berlama-lama lagi berurusan dengan sosok jelmaan makhluk halus satu itu. Tapi langkah ku terhenti oleh seorang cewek yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kelasku. Dan entah ini keberuntungan atau tidak. Itu dia! Cewek yang aku cari.
“ Eh? Em.. ”
Tubuhku tiba-tiba membeku. Telingaku menerima perintah otak untuk mendengarkan dengan seksama apa yang mau disampaikan cewek itu.