(K.)
Kulihat jam dinding di kamarku yang sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Sebentar lagi aku akan ke rumahnya untuk makan malam seperti yang Alea katakan di sekolah.
Setelah mendapat pesan darinya sepulang sekolah sore tadi, aku segera menyelesaikan tugas-tugasku. Untuk berjaga-jaga kalau saja pulangnya akan larut malam
Seperti yang Ia katakan, Alea memberitahuku semuanya lewat WA. Pukul setengah tujuh malam, di rumahnya, dan tidak perlu membawa apa-apa. Dia juga mengirim alamat rumahnya. Tapi ternyata jarak rumahku dan rumahnya tidak bisa dibilang dekat. Alea pun menawarkanku untuk dijemput. Katanya, sopirnya akan menjemputku.
Sudah beberapa menit aku berdiri di depan cermin lemariku. Membenahi kemejaku yang seakan sangat sulit diatur. Padahal jika dilihat lagi, tidak juga. Ada apa ini? Kenapa aku gugup? Tidak, mungkin karena ini.. Entahlah.
Setelah mematikan barang-barang yang sekiranya tidak diperlukan saat aku pergi nanti, aku duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu sopir yang akan menjemputku.
Sesekali aku menghembuskan nafas berat. Tidak, aku tidak gugup. Hanya saja.. Apa kata lain dari gugup? Bisakah digantikan dengan cemas? Ya, mungkin aku hanya cemas. Cemas kalau dia akan marah setelah kuberitahu alasanku memeluknya waktu itu.
Dan setiap perasaan itu muncul, aku mencoba untuk menepisnya dengan sesekali bermain handphone. Percuma saja, tidak ada pesan yang masuk. Kecuali mereka yang mungkin bisa dianggap 'penggemar' ku. Tapi mereka bisa dibilang cukup banyak. Aku lelah menghadapi mereka.
Kusandarkan kepalaku di sandaran sofa. Tak lama kemudian terdengar samar-samar suara mobil yang mendekat. Dan aku semakin yakin bahwa itu adalah sopirnya Alea yang akan menjemputku ketika suara itu tiba-tiba berhenti tepat di depan rumahku.
Aku segera keluar untuk memastikan. Benar saja, saat aku melangkahkan kakiku keluar rumah. Terlihat gerak bibir dari pak sopir itu yang bisa terbaca akan mengucapkan salam pada pemilik rumah.
“ Mas Kevan ya? ” tanyanya ramah.
“ Iya pak. ”
“ Mari mas, sudah ditunggu. ”
Rasa gugup, tidak. Cemas kembali menyeruak di dadaku saat aku duduk di samping pak sopir. Memikirkan semua kejadian yang mungkin bisa terjadi saat makan malam nanti.
“ Nggak usah takut mas. Neneknya non Alea baik kok. ”
Sepertinya mimik wajahku mudah ditebak oleh pak sopir itu, mendengar ucapannya barusan yang sepertinya untuk menenangkanku.
Benar saja dugaanku, “ Kok mukanya tegang begitu. Atau jangan-jangan masnya ini suka non Alea ya? ”
“ Eh? Enggak kok pak. Baru ketemu dua hari ini juga. ”
“ Cinta pandangan pertama itu ada lho mas. ” ucapan bapak sopir itu sedikit menggodaku.
“ Enggak kok pak. Lagipula saya sudah kelas dua belas. Waktunya fokus untuk ujian. ”
“ Tapi kan tetap namanya saja anak remaja. ”
Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam. Dan suasana sesaat menjadi canggung.
“ Ngomong-ngomong, terimakasih lho mas. Waktu itu non Alea sudah ditolongin. ”
“ Bapak lihat? ”
“ Iya. Saat saya keluar dari mobil. Saya liat non Alea sudah dipegang si mas. Hampir keserempet ya mas, non Alea? ”
“ Iya pak. ”
Bapak sopir itu ramah sekali. Selama perjalan tidak kurasakan hawa bosan yang dominan. Memang sesekali terdiam karena si Bapak butuh konsentrasi menyetir. Tapi selain itu semuanya baik-baik saja. Bahkan bisa dibilang mengasyikkan.
▪▪▪
(A.)
Aku tak bisa tinggal diam mengingat semua ini adalah ideku. Sedari tadi pulang sekolah, aku terus membantu bibi menyiapkan makan malam.
Setelah aku menceritakan apa saja yang terjadi kemarin kepada nenek. Beliau langsung setuju dengan ide ini. Semua akan ikut makan malam. Aku, kakek, nenek, dan juga Kak Kevan.
Hari sudah semakin malam ketika aku sudah selesai bersiap. Namun aku masih saja melihat ke jendela ruang tamu hanya untuk melihat penampilanku, lagi, dan lagi.
“Sudah, sudah cantik kok. ” kata nenek.
“ Hehe, iya nek. ”
Aku yang mendengarnya merasa malu, meski hanya sedikit. Tapi bukankah ini normal? Bukannya semua wanita akan melakukan ini juga?
Aku sudah memberitahu Pak Ahmad untuk menjemput Kak Kevan beberapa menit yang lalu. Mungkin sebentar lagi mereka akan sampai.
Aku masih berdiri di depan jendela sampai nenek memanggilku.