(A.)
Aku menatap bergantian dari lembar soalku ke lembar jawabanku, begitu seterusnya. Diselingi beberapa saat berfikir untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan soal.
Begitu pula yang lainnya, semua terlihat begitu fokus dengan lembar jawaban mereka masing-masing. Sempat aku menengok sekeliling, bukan bermaksud untuk menyontek. Walaupun jika ada kesempatan, aku tidak menolaknya.
Di barisan depan, mereka masih tetap menunduk untuk memikirkan jawaban yang paling tepat meskipun beberapa ada yang sudah selesai dan terlihat ingin mengumpulkan pekerjaannya.
Di bagian tengah, sebagian hampir mirip dengan para pasukan garis depan. Tapi sebagian sudah mulai panik dan berusaha mencari pertolongan.
Sedangkan di bagian belakang—termasuk wilayahku—mulai ramai terdengar seruan-seruan khas dari pelajar yang sedang mengalami situasi menegangkan di detik-detik terakhir ulangan. Ya, meskipun sudah berusaha sepelan mungkin, suara itu tetap terdengar. Suara minta contekan.
Aku sudah selesai lebih cepat beberapa menit sebelum suara-suara itu mulai memenuhi gendang telingaku. Alhasil, salah satu siswa di belakangku terus meminta bantuanku.
Ternyata usahaku hari Minggu lalu lumayan membantu. Ah tidak, tidak juga bila tidak ada Kak Kevan.
Mungkin aku harus melakukannya lagi.
Hingga akhirnya waktu habis, semua keluh kesah para siswa maupun siswi semakin terdengar.
“ Lea, tadi nomor lima bisa nggak? ” tanya Vira.
“ Lumayan. ”
“ Aku kayaknya salah deh. ” matanya terlihat sendu.
“ Enggak apa-apa. Kan cuma ulangan harian. ”
“ Eh Lea! Makasih ya! ” ucap seorang siswa yang jalan melewatiku.
Aku hanya tersenyum untuk membalasnya. Setengah menganggapnya sebagai bantuan dan setengahnya lagi menganggap itu adalah upaya menjerumuskan seseorang dalam kebodohan.
“ Kantin? ” tawaranku pada Vira yang sedari tadi masih terlihat lesu.
Tidak seperti siswa-siswi pada umumnya yang mendiskusikan jawaban mereka setelah ulangan. Aku lebih memilih untuk diam. Karena jika aku mengetahui jawabanku salah, mungkin aku akan tidak merasa baik-baik saja.
▪▪▪
(K.)
Boleh pergi ke kantin segera setelah selesai. Begitulah titah guru yang mengisi jam pelajaran terakhir sebelum istirahat di kelasku. Dan sayangnya belum banyak yang selesai.
Baru aku dan Eja yang dapat lolos lebih dulu. Sedangkan yang lainnya masih mengerjakan ulangan harian mereka dengan sangat tekun.
Sebenarnya Eja adalah anak yang pintar. Hanya saja tertutup dengan sifatnya yang seperti itu. Bahkan seringkali aku melupakan fakta bahwa dia anak pintar karenanya. Dua tahun sekelas dengannya di kelas unggulan tidak dapat memudarkan fakta bahwa dia anak pintar.
Kami berjalan beriringan menuju kantin di luar gedung utama. Melewati beberapa kelas yang masih menjalani proses belajar mengajar. Karena sebetulnya jam istirahat belum dimulai.