(K.)
Hanya ruangan putih tak berujung yang terpampang di hadapanku ketika mataku terbuka. Tempat ini kosong, sunyi, hampa. Seolah tanpa emosi. Hingga terasa sesak. Aku tak tahu harus kemana karena semua terasa sama saja. Tempat ini seolah membutakanku. Seperti labirin tanpa dinding.
Tidak ada suara, tidak ada siapapun, hanya aku. Semua baik-baik saja sampai tiba-tiba angin kencang menerpaku sejurus dengan kabut abu-abu yang datang menyelimuti, memenuhi ruang putih yang tadinya mengurungku. Aku hanya bisa menutup wajahku dengan tangan terlipat yang menutup wajahku. Bingung memenuhi pikiranku. Resah, gundah, tersesat ikut menemani. Bila ruangan putih tadi seolah membutakanku, maka kabut ini mematikan pandanganku.
Namun tak berselang lama kabut itu hilang. Rasa syukur segera menjalari tubuhku. Ruangan putih tadi juga sirna, tergantikan dengan ruang makan lengkap dengan semua perabotannya.
“ Kenapa diam saja? Ayo sini! ” ajak ayah, ya, ayah.
Aku melangkah ke arahnya. Di sampingnya ada tempat duduk yang kosong, yang memang diperuntukkan diriku. Di hadapanku ada ibu, dan di sebelahnya ada Lina. Kami makan malam dengan bahagia, sangat bahagia. Hingga rasanya terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Tapi masa bodoh, yang terpenting adalah saat ini. Bukan masa depan ataupun masa lalu.
Saat ibuku mendekatiku, saat ia membelai rambutku dengan sayang. Kulihat dengan jelas dirinya perlahan memudar, meninggalkan senyuman yang tak bisa kuraih. Lalu di sisi lain, ayahku yang juga tersenyum hangat kepadaku perlahan menghilang dari pandanganku. Mereka, seperti kabut yang terhembus angin. Ingin rasanya aku menggapai mereka. Namun percuma, sekeras apapun aku mencoba, mereka tetap tak tergapai. Perasaanku mulai kalut.
Sementara itu, di seberang meja makan, ada Lina. Dia masih tersenyum. Aku ingin menghampirinya, aku ingin berdiri dan melangkah kepadanya. Memeluknya seerat mungkin agar apa yang terjadi pada ayah dan ibu tak terjadi kepadanya.
Aku mencoba untuk meluruskan kakiku, mencoba untuk menopang tubuhku. Tak berhasil, kursi ini tak mengizinkanku pergi. Aku takut. Aku takut Lina juga akan menghilang. Aku hanya bisa memandangnya dengan pasrah. Senyumnya tak luntur, dan aku bersyukur hal itu tak memudar darinya.
Setidaknya untuk sekejap aku bisa menatapnya dalam tenang. Tapi sayangnya hal itu benar-benar terjadi. Karena detik berikutnya, ada sebuah balon yang entah datang darimana tiba-tiba memenuhi pandanganku. Tidak, jangan. Bukan begitu caranya, dan tidak akan pernah ada cara baginya untuk meninggalkanku. Namun sayangnya itu hanya harapanku.
Aku tak bisa melihatnya. Lina hilang begitu saja dari pandanganku, karena balon ini. Karena balon raksasa sialan ini.
Aku merutuki siapapun yang membuat balon itu. Aku memanggil-manggil namanya. Namun Lina seolah tak mendengarku. Hingga akhirnya, balon itu meledak.
Terakhir aku melihatnya, ia tengah tersenyum melihat balon raksasa yang semakin menutup tubuhku. Lalu saat balon ini meledak, semuanya sudah tak ada. Hanya tinggal aku sendiri.
Manik mataku terasa panas. Keringat mulai membasahi sekujur tubuhku. Pikiranku kalut, mencari mereka di setiap sudut yang bisa kutangkap dengan pandanganku. Namun hal itu sia-sia, mereka menghilang. Menyisakan kesepian dalam pilu untukku. Dadaku sesak, ingin sekali aku mengikuti mereka. Tapi bagaimana? Mengapa mereka tega meninggalkanku?
Mengapa..?
Haah.. Haah.. Ha..
Aku terbangun dengan nafas memburu. Keringat membasahi wajahku, dapat kurasakan tetesan yang melewati pelipisku. Perasaanku kalut. Jadi itu hanya mimpi?