(A.)
“ Sebenernya dia mikir apa sih? ” aku memutar bola mataku malas. Lagi, lagi, dan lagi. Sudah kukatakan pada dua gadis yang sekarang berada di ruang tamu ini alasan Reyhand mengatakannya. Meskipun baru berupa dugaanku.
Aku memilih diam, fokus pada pekerjaanku. Aku, Amel, dan Vira ditugaskan untuk mempercantik kemasan minuman yang akan dipakai untuk stan kami nanti. Mereka sudah ada disini sejak sore tadi, sedangkan saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
“ Kan tadi sudah dibilangin, Mel.. Biar si 'Ratu Caper' itu diem, ” balas Vira sabar.
Aku kagum padanya, bagaimana bisa Vira meladeni Amel yang sangat bawel? Wah, berima. Amel yang bawel. Cukup bagus, bukan dalam arti yang sesungguhnya maksudku.
“ Ya mungkin ada alasan lain? ” tanya Amel dengan pendirian yang sekeras batu.
Tidak perlu waktu yang lama untuk akrab dengan mereka. Dan kini semuanya semakin jauh dari kata kabur. Aku semakin tahu sifat-sifat dari dua manusia yang berkedok sebagai temanku ini.
Vira, seseorang yang baik hati, lembut, penyabar, dan sedikit alay—bisa dibilang ciri khas alay-nya perempuan, namun sering kali ia memikirkan sesuatu secara berlebihan, dan itu adalah tugas ekstraku untuk sekedar menenangkannya. Bagiku itu tak masalah, kujadikan tindakan itu sebagai cerminan untukku. Kadang apa yang kukatakan padanya adalah kebalikan dari kenyataan yang kulakukan. Lucu memang.
Amel, seseorang yang sangat aktif. Dalam hal apapun. Gerak fisik, kecepatan berpikir, bahkan berbicara. Kecepatan berpikir disini tidak dimaksudkan sebagai kemampuan berpikir yang disebut pintar. Melainkan kemampuan berpikir yang amat cepat dalam suatu hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Pikirannya terlalu acak. Amel tidak bisa diam, pun mengomel.
“ Dia kan playboy. Atau yang sekarang namanya— ”
“ Udah dapet berapa, Mel? ” tanyaku menyela.
Ia melihat ke arah hasil kerjanya. Tidak lebih banyak dari punyaku atau Vira. Dia tersenyum manis, seolah tak bersalah.
“ Jadi ada kan, kemungkinan kalau dia bener-bener suka kamu, Lea. ” omelnya lagi.
Aku menghela napas. Mulai lelah dengan pengelakan yang berkali-kali kulakukan namun seperti tak berbuah apapun. “ Dia nggak mungkin gitu, Mel. Lagian, memang aku siapa bisa buat dia suka? ”
“ Kamu cantik lho, semuanya nggak segan akui itu. ” Vira angkat bicara. Dalam konteks ini, ingin aku segera mengenyahkan fakta itu. Meskipun sempat membuatku melayang dalam sekejap. Kini aku mulai curiga kalau Vira sudah ada di pihak Amel. Atau dia hanya berusaha netral?
“ Ya kan? ” Amel mempertegas.
“ Dia memang kreatif orangnya. Buktinya, dia paling pinter kan di kelas? ” tanyaku.
“ Kreatifnya bahaya, ” Vira menyela. Benar juga perkataannya.
Amel mendengus, “ Yah.. Apapun yang terjadi nanti, semoga kamu nggak jadi salah satu korbannya ya, Lea. ” katanya dengan nada seperti mengasihani. Memangnya aku perempuan macam apa?