(R.)
Aku memijat keningku pelan, semua yang kulakukan akhir-akhir ini terasa begitu melelahkan. Selain tugas-tugas sekolah yang memang memberatkan, kini tugasku bertambah dengan harus bertindak secara totalitas sebagai seseorang yang menyukai seorang gadis. Melelahkan.
Sebelumnya aku tidak pernah seperti ini, apapun yang menyangkut dengan asmara semasa SMA, selalu kusikapi dengan cara yang biasa saja. Tidak pernah serius. Tapi yang satu ini berbeda, dan ini merepotkan.
“ Kau tidak apa-apa? ” tanya asistenku, dia lebih tua tiga tahun dariku. Dan kami juga dekat.
“ Tidak apa-apa, ”
“ Kau terlihat lelah, istirahat sebentar tidak masalah, Rey. Biar aku yang mengerjakannya, ”
“ Tidak perlu, nanti pasti berbeda, ” tolakku.
“ Kau sudah mengirimnya? ” sambungku.
“ Sudah, ”
“ Ada sesuatu? ”
“ Sepertinya dia mengabaikannya, Rey, ”
Aku menghela napas panjang. Baiklah, akan kumaklumi. Setelah sekian lama, tidak heran bila ia melupakannya. Jadi benar, perkiraanku benar.
“ Yah.. Seorang tamu harus diundang, bukan? ”
“ Iya, ”
Aku tersenyum tipis. Johan masih berada di sampingku. Sementara aku melirik ke foto keluarga berukuran besar yang terpampang tepat di hadapanku ini. Sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia. Itu adalah keluargaku, namun sayangnya, tidak ada aku di foto itu. Menyedihkan.
Mengingat-ingat kejadian itu membuatku tersenyum getir. Semua yang terjadi adalah memori pahit yang merubah hidupku. Bahkan ketika aku masih sangat baru mengenal dunia.
Kesal sudah biasa datang di benakku setiap kali aku mengingatnya. Dengan segera aku menyuruh Johan untuk mengirim sebuah pesan undangan padanya. Waktu benar-benar sudah merubahnya.
“ Rey, apa kau akan melanjutkan hubunganmu dengan gadis itu? ”
“ Sepertinya mustahil untuk melakukannya, ” aku melirik sekilas kepada Johan.
“ Lagipula, dia adalah umpan yang pintar. Dia tidak akan masuk ke dalam permainanku. ”
Johan hanya diam, sepertinya dia berpikir bahwa tindakanku yang satu ini keterlaluan. Tanpa sadar aku mengulas senyum tipis di bibirku. Sebuah senyuman yang sangat berarti. Dan Johan pasti memahaminya.
Tanpanya, rencanaku tidak akan berjalan sebaik ini. Tanpanya, aku tidak akan mendapat perhatiannya. Terimakasih, Alea.
▪▪▪
(A.)
Aku duduk terdiam di dalam mobil yang sedang melaju ke sekolah pagi ini. Pandanganku lurus keluar memandang keluar jendela. Mulutku bungkam, tapi di dalam pikiranku, masih menggema pernyataannya kemarin.