(K.)
SMS itu datang lagi. Dan seperti sebelumnya, si pengirim mengirimkannya pada jam-jam larut malam. Namun aku tidak menyadarinya karena sudah lebih dulu terlelap. Sampai di pagi harinya aku melihat pesan itu.
Lagi, aku tidak mau menganggapnya serius. Mungkin hanya orang iseng yang tidak sengaja salah kirim kepadaku. Lalu aku teringat, bukankah Reyhand juga pernah mengirim alamat yang sama? Hal itu kemudia memenuhi ruang kepalaku sepanjang hari.
Hingga saat inipun, pikiranku masih didominasi dengan pesan itu. Kali ini sedikit berbeda, bila sebelumnya hanya sebuah alamat suatu tempat. Kini pesan itu dilengkapi dengan sebuah kalimat yang bersifat mengundang. Bisa dibilang sopan, namun aku tetap ingin mengabaikannya.
Aku terduduk diam di depan meja besar yang dipakai untuk belajar bersama dengan Alea di ruang keluarga ini. Karpet berbulu yang memberi jarak antara lantai denganku membuatku nyaman. Membuatku semakin terlena dengan lamunanku tentang pesan itu.
“ Em.. Hai, Van, ” sapa Lea lirih. Mungkin dia sadar akan keadaanku yang sedang melamun.
Aku menoleh kepadanya, memberi senyuman tipis yang biasa kulakukan. Hari ini sudah yang kedua dalam minggu ini. Jujur saja aku menikmatinya. Namun Alea sedikit berbeda, dia terlihat lebih tidak bersemangat hari ini. Ada apa? Apa kegiatannya di sekolah tadi sangat melelahkan? Baiklah, aku bisa memaklumi hal itu. Mungkin aku bisa membantunya dalam mengerjakan beberapa tugasnya.
“ Ada tugas? ”
“ Ada, tinggal sedikit sih. Sebagian besar sudah kukerjain di kelas tadi, ” ucapnya tanpa sedikitpun melirik ke arahku.
Sikapnya semakin terlihat berbeda, tidak seperti Alea yang biasanya. Senyumnya tidak mengembang, digantikan dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Seperti malu, ragu, dan terlihat sedikit gurat kelelahan disana.
Aku memilih untuk diam, mengurungkan niatku untuk bertanya tentang keadaannya. Dan memusatkan perhatianku pada kegiatan belajar.
▪▪▪
(A.)
Sungguh bodoh pertanyaanku kemarin. Berarti dia hidup di kota ini sendirian? Atau mungkin dia masih punya saudara? Mungkin, mungkin saja. Tapi tetap saja aku keterlaluan. Melihat raut wajahnya yang langsung berubah kemarin menyatakan ketidaksopananku. Ah, rasanya aku tidak ingin bertemu dengannya. Namun sisi lain dari diriku mengatakan hal sebaliknya.
Aku berjalan gontai menuruni tangga, buku dalam dekapanku sedikit tidak beraturan. Tatapanku kosong untuk sejenak, pikiranku penuh dengan hal-hal yang mungkin bisa menjadi topik pembicaraan nanti. Syukur bila bisa melupakan kejadian kemarin.
Hingga kakiku memijak lantai satu rumah ini, pikiranku tetap melayang entah kemana. Aku melihatnya tengah duduk diam menatap kedepan dengan tenang, sama sekali tidak terusik dengan suara langkah kakiku. Apa dia enggan untuk melihatku?