(A.)
Setelah hari itu, semuanya serasa menjadi lebih baru. Para fanatik Kak Kevan tidak lagi mengejarku untuk dijadikan bahan royokan mereka, kalaupun itu terjadi, pasti Kak Kevan akan datang tepat waktu. Entah bagaimana instingnya bisa tepat.
Lalu Kevan, atau jika di sekolah masih kerap kupanggil dengan sebutan 'kak', menjadi lebih protektif kepadaku, dapat kurasakan juga tingkat perhatiannya semakin bertambah dari sebelumnya. Seperti selalu mengingatkanku akan tugas-tugasku, membantuku mengerjakannya, mengingatkanku untuk tidur tepat waktu, bahkan tidak jarang hanya sekedar iseng menanyai kabarku. Jujur saja, aku tidak terganggu dengan hal itu. Justru semakin kesini, aku semakin menantikannya.
Dan Reyhand, sikapnya juga hampir sama dengan Kevan. Semakin perhatian kepadaku, dan itu membuatku semakin merasa bersalah dengannya. Aku tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Sudah sering pula aku memberinya berbagai macam sinyal untuk berhenti, tapi dia tetap bersikeras bertindak seperti itu.
Memikirkan semua hal itu rasanya seperti berkelana ke negeri antah berantah yang kau tidak akan pernah tahu apa kejutan yang menantimu. Sangat menyenangkan sekaligus melelahkan. Karena kau tidak bisa keluar dari sana.
“ Woi! Ngelamun aja, ” ucap Amel membuyarkan pikiranku.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, “ Eh, Lea. Akhir- akhir ini kayaknya kamu jadi lebih deket sama Kak Kevan? Ada apa? ” tanyanya dengan ekspresi interogasi yang kental.
“ Enggak apa-apa, ” dan aku masih tersenyum, bedanya kini ditambah dengan tubuhku yang bergoyang ke kanan dan kiri seperti anak kecil. Sial, kenapa aku melakukannya? Sisi lain dari diriku mencerca diriku sendiri. Sungguh peperangan yang tidak akan berhenti sampai kapanpun.
“ Sama Reyhand juga, ” ujar Vira tiba-tiba sambil ia menurunkan buku yang sedang dibacanya. Aku dan Amel sontak melirik kepadanya.
“ Iya, kan? Reyhand juga kelihatan lebih dekat sama kamu, ” senyumku menghilang. Tergantikan dengan ekspresi yang tak tentu akan terlihat seperti apa. Tubuhku berhenti bergoyang, tak tahu harus mengucapkan apa untuk menjawabnya.
“ Tapi, Vir. Alea juga kelihatan ngasih lampu merah ke Reyhand. Ya, kan, Vir? ” tatapan Amel berubah ke arahku. Aku hanya mengangguk.
Vira menghela napas singkat sebelum menjawab, “ Kenapa ya, dia nggak mau berhenti aja? ”.
“ Apa? Kamu mau sama dia? ” tanya Amel dengan nada menggoda. Aku dibuat tertawa karenanya, sedangkan Vira semakin menyembunyikan wajahnya. Bisa terlihat sedikit semburat merah telah hadir di pipinya.
“ Oh iya, dia nggak masuk lagi ya? ” tanyaku.
“ Siapa? Reyhand? ” Amel menimpali. Aku mengangguk, sempat melirik sekilas kepada Vira dan aku bisa melihatnya sedang mendengarkan dengan saksama.
“ Dia emang sering gitu, ” Amel menghela napas.
“ Yang kutahu, fisiknya dia memang lemah, ” Vira melanjutkan.
“ Makanya, dari dulu dia nggak pernah ikut pelajaran olahraga sampai selesai. ” jelas Vira. Yang mendapat balasan berupa anggukan kepala dari Amel.
Sudah pantas memang jika Vira menaruh rasa pada Reyhand. Dia tahu hampir semuanya tentang Reyhand, bahkan mereka sudah bersama sejak kelas X.