(K.)
“ Van, lo aneh deh. ” ucap Eja mengalihkan fokusku dari tugas yang sedang kukerjakan.
“ Aneh kenapa? ”
“ Lo kelihatan sering ngelamun akhir-akhir ini, ”
Aku hanya diam, memikirkan apa yang Eja ucapkan ada benarnya. Berhari-hari sudah aku menerima pesan dan telepon yang sama dari nomor itu. Dan selalu, aku mengabaikannya.
“ Enak aja rasanya kalau ngelamun, ” jawabku asal.
“ Tapi itu bukan lo banget, Van, ada apa sih? ”
Aku tidak ingin menjawabnya, kembali fokus pada tugasku. Membiarkan Eja yang masih melontarkan tatapan penuh tanda tanya kepadaku.
“ Lo punya gebetan baru? ”
“ Gebetan aja gua nggak punya, ” jawabku dengan pandangan yang mengarah ke buku tulis.
“ Lah? Terus Alea? Lo anggep apa dia? ” aku sempat tersentak, sempat berhenti menulis untuk sesaat.
“ Adek, ”
“ Wush, udah kakak-adek an aja nih, ”
“ Hmm, ”
“ Tapi beneran deh, Van. Lo kayak nggak bener akhir-akhir ini. ”
“ Eh! Yang enggak bener tu elo! Mau bukti? Udah ada banyak gua, ” kataku sambil memukul kepalanya dengan bolpoinku.
Apa Eja menyadarinya? Sebenarnya aku memang mulai khawatir. Rasanya ada yang tidak beres. Selain dari pesan dan telepon dari nomor itu, ada suatu hal yang membuatku tidak nyaman akhir-akhir ini. Apa mungkin aku memblokir nomor itu saja? Baik, akan kulakukan nanti.
“ Dih, justru gua ini perfect tahu nggak? ”
“ Enggak, ”
“ Makanya gua kasih tau, ”
“ Udah diem lo, ” lalu aku beranjak pergi, berniat untuk tidak mendengar ocehannya lagi.
▪▪▪
Sudah kuputuskan, setelah pulang sekolah nanti, aku akan menyempatkan diri untuk datang ke makam mendiang ayah dan ibu, sebelum kemudian pergi untuk belajar bersama Alea.
Pikiranku penuh akhir-akhir ini, merasa tidak nyaman, sesak, dan seakan hilang arah. Di saat-saat seperti inilah aku membutuhkan seseorang untuk mendengarkanku. Cukup mendengarkan, tidak usah mengerti ataupun menimpali. Dengan hanya mendengarkanku, beban di kepalaku setidaknya sudah lebih ringan.
Keadaan kantin tidak begitu ramai, itulah mengapa aku memilih untuk menghabiskan waktuku disini. Gelas es teh di depanku kini telah mengeluarkan embun bening, tatapanku kosong namun pikiranku melayang. Memikirkan segala hal yang mengusikku akhir-akhir ini.
“ Woi! Ninggal lo ya, ” tiba-tiba Eja datang tanpa diminta. Mengembalikanku pada titik sadar yang sebelumnya sempat hilang. Dia tidak sendirian, di sampingnya ada Alif.
“ Pak! Bakso satu porsi ya, ”
“ Dua, pak! ” Alif ikut menyahut.
“ Van, kalau misal ada masalah. Cerita sama kita, ” ucap Eja tiba-tiba terdengar sangat bijaksana.