(A.)
Aneh, tidak seperti biasanya. Sudah belasan menit aku menunggunya, namun aku tak melihat batang hidungnya sekalipun. Apa Kevan tidak bisa datang untuk hari ini? Tapi mengapa dia tidak memberitahu sama sekali? Apa dia sakit?
Aku duduk diatas permadani berbulu yang hangat, biasanya yang melakukan hal ini adalah Kevan. Tapi sudah kutunggu bahkan sampai lima belas menit, manusia menawan itu tak kunjung datang. Apa sih? Seperti seorang putri yang sedang menunggu pangerannya saja. Sudah cukup.
Aku menggelengkan kepala, menepis pikiran narsisme itu. Kulihat layar ponselku, berharap ada suatu pesan atau sekedar notifikasi darinya. Namun nihil, tak ada satu pun dari harapanku yang terkabulkan.
Aku menggerang kesal, menelungkupkan wajahku pada lipatan tangan di atas meja. Padahal aku sudah menata rambutku secantik mungkin, dan juga, atasan yang kupakai hari ini baru kubeli kemarin. Aku merasa terkhianati.
“ Belum datang juga? ” tanya kakek yang kebetulan lewat.
“ Belum, kek, ” jawabku dengan bibir yang mengerucut sebal.
“ Mungkin dia sakit, ”
Aku mengangguk maklum, mungkin saja. Akhir-akhir ini memang kelas XII memiliki banyak kegiatan. Dan sempat kulihat sosoknya di sekolah, ia tampak tak begitu bersemangat.
“ Apa sakitnya parah ya? ” gumamku.
Aku menghela napas pasrah, kusimpulkan kalau Kevan benar-benar tidak akan datang hari ini. Aku beranjak pergi dari ruangan itu, berniat kembali ke kamar. Dengan langkah berat dan hati yang sedikit kecewa, aku menaiki tangga untuk masuk ke kamar kemudian merutuki hari ini.
▪▪▪
(K. )
Sejak detik pertama aku duduk di samping pria bernama Johan ini, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Meskipun banyak sekali pertanyaan yang sangat ingin lolos dari kepalaku, aku tetap memilih untuk diam.
“ Untuk sepeda motormu, jangan khawatir. Seseorang dari bawahanku akan membawanya, ” aku meliriknya sekilas, lalu mengangguk. Tidak peduli dia bisa melihatku menjawabnya atau tidak.
Tak berselang lama, kami sampai. Rumah ini sangat besar, lebih besar dari kepunyaan Alea. Aku terpukau, mungkin mataku akan sangat berbinar jika dilihat. Namun mulutku masih diam, sebisa mungkin aku menampakkan wajah seperti biasanya.
Aku dan Johan turun dari mobil yang terparkir di depan pintu masuk. Sempat mataku melirik ke atas, untuk melihat secara keseluruhan pintu raksasa ini. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Dua pembantu yang berada di belakangnya menunduk memberi salam. Siapapun yang mempunyai semua ini, aku yakin dia seperti hidup di zaman kerajaan.
Johan menuntunku masuk, lalu kami menuju ke lantai atas. Pikiranku tidak bisa berhenti terpukau dengan apa yang ada di dalam rumah ini. Rumah ini sangat megah, interiornya didominasi dengan warna putih dan emas. Dekorasinya pun tidak jauh-jauh dari gaya kerajaan. Meskipun banyak rasa kagum yang terpendam, mulutku tetap tertutup rapat. Mataku menatap lurus ke depan seolah aku tidak peduli dengan semua hal mewah ini.
Langkah kami terhenti tepat di depan pintu suatu ruangan yang tertutup. Johan membukakan pintu, lalu terpampanglah pemandangan sebuah ruangan dengan furnitur mewah lainnya. Seperti ruang kerja. Dengan meja dan kursi yang membelakangiku. Dan sebuah bingkai foto keluarga raksasa yang terpajang di belakangnya. Dapat kutebak, seseorang di kursi itu sedang memandangi foto itu.
“ Sudah kubawa dia, ” ucap Johan dingin.
Lalu kursi itu berbalik. Mataku terbelalak, mulutku tertutup semakin rapat dari sebelumnya. Tanganku mengepal, dan jika didengar, deruan napasku semakin kuat. Reyhand?