(K.)
Berbulan-bulan telah berlalu. Waktuku di SMA ini pun juga semakin menipis. Sebentar lagi ujian kelulusan akan diselenggarakan. Itu berarti sebentar lagi pula aku lulus dan harus meninggalkan kota ini.
Cukup disayangkan, aku tumbuh disini, bersama keluarga yang menyayangiku—meskipun kini aku mengetahui yang sebenarnya, aku tetap menyayangi mereka, bersama tetangga-tetangga yang peduli padaku, perpustakaan yang sering ku kunjungi, dan juga, kisahku bersama seseorang yang dimulai di alun-alun kota ini. Sebentar lagi aku harus meninggalkan itu semua. Menjadikannya sebuah kenangan dalam pikiran, menyimpannya dalam cerita kehidupanku.
Aku menatap langit-langit rumah sederhana ini. Aku memilih untuk tinggal disini saja sampai nanti aku pindah ke Jakarta. Semua kenangan terasa diputar balik. Segala tawa canda itu, segala perhatian ayah dan ibu, segala celotehan Lina yang masih terdengar jelas di telingaku, semuanya terasa begitu nyata saat aku memejamkan mataku. Dan, bulir-bulir air mata pun turun. Tak dapat dibendung.
Aku menghembuskan napas pasrah, ingin rasanya aku mengulang waktu. Hidup di saat-saat bahagia yang dibekukan, tanpa khawatir apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi biarlah, semua sudah berlalu.
Aku menatap buku pelajaran yang terbuka lebar di depanku. Menatapnya tanpa tertarik sedikitpun untuk membacanya. Aku meraup wajahku kasar. Lagi, aku merasa kehilangan arah. Apakah aku harus senang? Atau malah sebaliknya? Aku tidak tahu. Perasaanku campur aduk, berkecamuk, tak menentu.
▪▪▪
Hari demi hari berlalu, segala tes akhir semester, ujian praktik, dan lainnya sudah kulakukan. Dan kini aku sedang menghadapi ujian kelulusan. Aku tidak takut akan ujian yang kuhadapi. Aku hanya takut tidak bisa melepas semua kenangan yang sudah kuciptakan disini.
Langkahku tak bersemangat saat aku memasuki ruangan peserta ujian. Berusaha semaksimal mungkin saat mengerjakannya, bagaimanapun hal ini adalah penentu masa depanku.
Setelah selesai mengerjakan ujian, aku dan peserta yang lain kembali ke kelas. Tepat saat aku merapikan barang-barangku, mataku tertuju pada sepucuk surat yang menyembul dari dalam tas ku. Tanpa mengambilnya keluar, aku menutup tas sekolah ku dan segera beranjak pulang. Membuka dan membacanya saat itu juga adalah ide buruk, pikirku.
Selama perjalanan menuju rumah, otakku tak bisa berhenti memikirkan surat itu. Dari siapa? Apa isinya? Dan muncullah sebuah harapan bahwa surat itu dari Alea yang berisi ucapan selamat tinggal. Aku menertawakan diriku sendiri, mengapa aku malah menginginkan sebuah ucapan selamat tinggal darinya? Sedangkan aku sendiri saja masih enggan untuk berpisah.
Aku tak membuang-buang waktu lagi, kuhempaskan tas sekolah ku ke tempat tidur, membukanya kasar, mencari-cari sepucuk surat yang sempat tenggelam.
'Tinggal sebentar lagi ya? Ah, pasti rasanya lega sekali bukan?
Sebentar lagi kamu akan lulus, dan seperti katamu waktu itu, kau akan pindah ke Jakarta, iya kan?
Semoga hasil ujianmu memuaskan, ya! Jangan khawatirkan aku, aku sudah terbiasa untuk belajar sendiri, aku tidak akan terlambat mengerjakan tugas, aku akan semakin rajin belajar! Jadi, jangan sempatkan dirimu untuk mengkhawatirkan aku. (percaya diri sekali kau, Alea)'
Tawa kecilku lolos saat membaca bagian terakhir itu. Jujur saja, aku tidak merasa lega, Lea. Rasanya justru berat, sangat berat.
Aku memaksakan diri untuk membaca kelanjutannya.
'Baik-baik disana, ya. Jaga dirimu! Jaga kesehatanmu! Kapan-kapan aku akan mengunjungimu, asalkan kau beritahu aku alamatmu, hehe. Oh, iya. Terimakasih, ya. Karena telah muncul di hidupku. Terimakasih karena telah memelukku waktu itu, terimakasih karena telah menyelematkanku, terimakasih sudah mau menemaniku membaca buku di perpustakaan, terimakasih sudah mau menjadi guruku. Semua itu berharga untukku, serius! Jangan pikir aku berbohong, ya!'
Aku mengangguk, pertahananku runtuh. Air mataku telah menetes sejak tadi. Membayangkan sebuah perpisahan selalu menyakitkan, sangat.
'Asal kau tahu, Van. Setiap detik hidupku yang kujalani bersamamu sangat berharga bagiku. Temanku tidak banyak disini, namun dengan mudahnya kau masuk dan mendapat izin dariku untuk menjadi seorang teman. Dan.. Bisakah kita mengulang saat itu lagi? Saat kita bertemu untuk yang pertama kali, di alun-alun. Tapi jika tidak bisa juga tidak apa-apa. Aku akan menunggumu disana pada malam Minggu nanti.
Baiklah, sepertinya cukup sampai disini saja pesanku. Mungkin hari-hariku sebagai seorang senior nanti tidak seindah saat kau ada. Aku tidak akan melupakanmu. Percayalah! Kau adalah kakak kelas terbaik yang pernah kutemui.