(A.)
Sudah berbulan-bukan kulewati tanpa ada kehadirannya lagi. Jujur saja, hal itu berat untukku di awal, bahkan sampai sekarang, aku masih sering memikirkannya dalam rindu.
Apa kabarnya? Bagaimana hidupnya sekarang? Apa dia bahagia disana? Dan aku menyesali satu hal, sangat.
Aku tak sempat mengataka padanya bahwa aku menyukainya. Haha, Alea sungguh bodoh.
Ujian kelulusan akan diakan sebentar lagi. Meskipun aku termasuk seseorang yang tidak begitu suka belajar. Tapi aku sudah berusaha, untuk lulus, untuk kembali bertemu dengannya, untuk menyusulnya. Mungkin terdengar naif, tidak bertanggung jawab pada diri sendiri dan terdengar bodoh. Tapi aku tak bisa memikirkan hal lain. Hanya satu hal itu yang dapat membuatku rela belajar dengan rajin, setidaknya untuk saat ini.
Tahun terakhirku di sekolah ini ku tekuni dengan sungguh-sungguh, meskipun motivasiku terdengar bodoh, aku tidak peduli.
Kami sudah jarang berkabar, berat rasanya untuk memaklumi itu. Tapi dunia perguruan tinggi hampir tidak pernah mengizinkannya untuk memiliki waktu luang. Memikirkannya membuatku sempat merasa putus asa. Memikirkan segala kemungkinan buruk yang tidak pasti akan terjadi. Namun begitulah aku, sulit berdamai dengan diriku sendiri.
▪▪▪
Usaha tidak mengkhianati hasil, kini aku percaya dengan kalimat itu. Setelah masa-masa menyusahkan itu berhasil kulewati, kini aku lulus. Masa-masa indah di SMA yang telah usai, kenangan yang terlaku sayang untuk dilupakan dengannya, semua masih tersimpan manis dalam ingatanku.
Aku mengatakan pada nenek dan kakek bahwa aku ingin berkuliah di Jakarta. Dan untunglah mereka mengizinkannya, lagipula kota Jakarta adalah kota kelahiranku.
Aku berhasil, percayalah aku berhasil mewujudkan niatku. Pergi menyusulnya, mencarinya, dan mengatakan hal itu. Tapi aku masih bodoh, sama sekali tidak terpikirkan olehku dimana dia sekarang. Bahkan sebuah kemungkinan saja tak sanggup kubayangkan.
Aku mendengus pasrah, kepalaku kusandarkan pada kaca jendela kereta api. Memandangi alam dibalik kaca yang seakan berlari berlawanan arah denganku. Suatu kebiasaanku yang telah mengakar sejak kecil.
Sambil mataku tertuju pada semua pandanganku itu, pikiranku tak habis-habisnya menebak keberadaannya. Aku sudah mencoba menghubungi Reyhand, tapi percuma, nomor teleponnya sudah tidak aktif lagi. Vira? Dia sudah tidak memedulikan Reyhand lagi, cintanya bertepuk sebelah tangan sampai akhir. Aku tersenyum kecut membayangkannya.
Bahkan sampai kakiku memijak kota ini setelah sekian lama, aku masih merasa kehilangan arah. Tak tahu harus kemana. Sebenarnya aku sudah diterima di salah satu universitas di kota ini. Namun apa usahaku akan semudah itu dengan dia yang berada di satu universitas denganku? Mustahil. Apalagi kota ini sangat luas.