17 Desember 2020
Jam 13.00
----Acara Kawinan----
Geprakkk!
Para tamu undangan geger. Seorang Bapak-bapak ambruk di dekat hidangan kambing guling. Bapak-bapak itu kejang-kejang, membuat tamu lain panik. Petugas medis ber-APD yang siap berjaga di sisi gedung langsung memeriksa si Bapak.
"Ppa..para.. Hadirin.. Yang terhormat.." Adren naik panggung ke depan pasangan mempelai, berusaha mengendalikan keadaan. Semua orang berusaha menjauh dari lokasi si Bapak yang kejang-kejang itu.
"Hadiriin, mohon tidak panik.. Para tamu sudah di rapid test dan hanya diperbolehkan masuk jika hasilnya negatif, jadi jangan khawatir, tetap tenang, para petugas medis akan menangani semuanya.." kata Adren, yang padahal juga sama-sama panik.
Petugas medis memasukkan si Bapak ke ambulance, dan melarikannya ke rumah sakit. Keadaan kembali normal meski menyisakan kekhawatiran untuk tamu yang lain. Kambing guling yang biasanya jadi rebutan, jadi sepi karena para tamu lain khawatir kambing guling sudah terkontaminasi virus.
"Para hadirin yang terhormat.. Silakan kembali dinikmati hidangannya.."
Beberapa orang memilih pulang karena takut, beberapa langsung pakai masker dan bertahan di gedung. Ketika keadaan sudah terkendali, Adren pun turun dari panggung.
Adren ke sisi gedung kampusnya yang dipakai kawinan itu untuk menenangkan diri. Tangannya masih bergetar karena kejadian tadi. Meski mengenakan masker, face shield dan sejak pagi ia berdiri antara pemain band dan mempelai yang lumayan jauh dari para tamu, ia tetap merasa khawatir. Orang EO menyuruh Adren makan dulu, tapi Adren menolak. Ia hanya ingin istirahat keluar gedung dan merokok sambil menenangkan diri. Masih dengan setelan MC, celana bahan dan baju batik, ia memilih parkiran sebagai spot merokoknya, melewat jajaran karangan bunga berisi ucapan-ucapan selamat. Lalu tiba-tiba Adren mendengar suara yang cukup ia kenal, agak berteriak.
"Cup! Ucup!"
Adren menoleh, memperlambat jalannya. Ada Nuril dan tiga orang lainnya nongkrong di dekat tangga basement, beberapa meter dari tempatnya berdiri.
"Ucup! Lo enggak pameran hari ini cup?!"
"Enggak euy Ril! Diundur!"
"Kenapa Cup!?"
"Ada kawinan di kampus! Hahha.."
"Ahaha.. Kampus kok dipake kawinan! Absurd kampus maneh mah!"
"Coba jadi MC Cup! Lumayan dapet cuan! Haha.." kata Nuril. Percakapan palsu itu mereka buat untuk menyindir Adren. Mereka mengkonfrontasi Adren karena masih tidak terima pameran pra sidang diundur karena acara kawinan. Sementara itu Adren hanya menatap mereka dengan sinis, lalu lanjut jalan menuju motornya yang parkir di dekat situ.
.
.
.
.
.
18 Desember 2020
Jam 09.00
----Kantor Radio Sirih FM----
Adren duduk menunduk di sofa. Pak Jaja berdiri di depannya, tolak pinggang sambil merokok kretek. Raut Pak Jaja saat itu bukan raut bahagia, sebaliknya, marah, kecewa.
"Bodo sia teh nya!?" Pak Jaja memarahi Adren dengan Bahasa Sunda. Adren tidak menjawab, masih menunduk.
"Kerja belom beres, balik we kitu! Segitu ada tanggung jawab ge!"
"Mm..maaf Pak.." kata Adren, bergetar.
"Lain maaf-maaf! Rek nanaonan sia teh kitu? Ngerakeun aing we sia mah! Inget atuh nu mawa sia teh aing! Naha ngerakeun kitu kalakuan teh? Kalakah mabur weh keur digawe teh!"
Artinya, apa-apaan kamu begitu? Malu-maluin saya saja kamu! Ingat dong yang bawa kamu itu saya! Kenapa malu-maluin begitu kelakuanmu? Malah kabur lagi kerja juga!
"Maaf Pak, saya mengakui saya salah. Maaf, sebetulnya saya dari awal memang enggak mau ngambil job itu. Saya enggak suka jadi MC, saya cuma ngehargain Bapak."
"Enggak ada alasan! Dasar!" sentak Pak Jaja.
"Ada yang ambruk Pak! Harusnya semua orang bubar, tapi malah lanjut. Saya takut Pak! Maaf saya pulang." Adren membela diri.
"Si Bapak itu mah epilepsi! Ayan! Sudah dikonfirmasi sama rumah sakit!"
"Ya saya kan enggak tau Pak.. Kalo saya tau.."
"Enggeus cicing! Ngabantah we sia mah, k*hed!" potong Pak Jaja.
Artinya, Sudah diam! Ngebantah aja kamu, s*alan!"
Adren pun diam, menunduk lagi. Ia tahu ia salah.
"Ini hari terakhir kamu siaran! Besok kamu jangan kemari lagi! Jangan siaran lagi!" kata Pak Jaja, yang langsung membuat Adren menoleh dan bertanya-tanya,
"Serius? Gue dipecat?!!!" katanya dalam hati.
"Kamu saya pecat! Sesuai mandat dari owner!"
Perasaan Adren tidak menentu. Antara sedih, kecewa, atau bersyukur. Sedih karena bekerja sebagai penyiar adalah salah satu cita-citanya (meski tidak di radio dangdut), kecewa karena ia tidak menjalankan profesinya dengan baik, bersyukur karena akhirnya ia terbebas dari jeratan predikat penyiar radio dangdut yang selama setahun lebih melekat pada dirinya. Adren menerima keputusan itu dengan lapang dada, selapang lapangan bola yang sering dipakai konser oleh Bang Haji Rhoma Irama. Ia pun mengemas barang-barangnya yang ada di kantor, lalu pamit.
.
.
.
.
Jam 02.00
----Kantin Kampus----
Mona sedang menflon gebetannya, di jam makan siang. Adren di depannya sedang makan ayam geprek, terlihat merengutkan kening sambil senyum tipis-tipis mendengar Mona telfonan.
"Ini lagi di kampus!
Sama si Adren! Mau bahas TA!
Ih! Aku lagi makan makanya telat ngabarin!
Si Adren satu kelompok TA sama aku!
Cemburuan banget! Si Adren Gay kok! Udah!"
Sontak Adren tersedak ketika mendengar alasan Mona. Mona menahan tawa ditengah-tengah gusarnya.
"Hmmpsh.. Iya! Bye! "
Mona menutup telfon dengan ketus dan langsung minta maaf pada Adren.
"Gay gey gay gey! Nini sia gey!" kata Adren sambil menguyah, merasa kesal.
"Hahaha.. Sorry gue keinget joke lo tempo hari! Kan lo tau ini bohong, biar cepet kelar, Dre.. Maaf lah... Cemburuan banget abis! Males lah!"
"Harus banget ngebohong soal orientasi seksual gueee!? Salah aing apaa!!!??? Nyesel gue bikin joke itu!" gerutu Adren sambil mengunyah.
"Lagian kalo lo straight kenapa enggak pernah ngegebet gue?" tanya Mona menggoda Adren.
"Ogah! Pasti banyak cowok jadi pindah haluan gitu karena lo kecewain!" Adren mengejek Mona.
"Anjrit lah! Emang gue se-fakgirl itu!?" Mona gantian sebal.
Adren melirik ke arah ruang sekre. Terlihat sepi disana.
"Mon, lo udah ke ruang sekre hari ini?"
"Belum. Katanya lagi pada rapat, tapi gue enggak diajak."
"Gue juga enggak.. Kayaknya kita dikucilkan, Mon."