You Sound Awesome!

Jonem
Chapter #16

Si Skeptis Dan Pikirannya yang Bercabang

6 Januari 2021

Jam 00.30

----Balkon Rumah Adren----

Adren duduk di balkon, malam itu. Dihangatkan kopi, dan rokok, dipeluk jaket denimnya. Kendaraan lewat depan rumah, barang satu atau dua, lalu sepi lagi. Selain suara Liza yang sedang ia telfon, hanya terdengar suara binatang-binatang malam.

"Enggak ngantuk Dre?" tanya Liza.

"Masih betah denger suara kamu." jawab Adren.

"Emang enggak bosen?"

"Enggak lah. Suara kamu itu ibarat obat stress, iringan meditasi." jawab Adren.

"Suaramu suplemen diet kesepianku, kalau gitu." timpal Liza.

"Tiap abis telfonan sama kamu bawaannya pengen bilang, Namaste.." kata Adren lagi.

"Tiap telfonan sama kamu lambungku meronta-ronta." jawab Liza lagi.

"Hemm.. Karena lama telfonannya ya?" Adren tersenyum.

"Hehe.. Iya, gapapalah, kan diet. Kamu bilang aku obat stress? Mikirin apa sih?"

"Nanti kamu bosan dengernya kalau aku jawab."

"Pasti soal keamanan aku."

"Hmm.. Iya."

"Segitunya ya buat kamu?"

"Ceritamu enggak dilebih-lebihin kan?" tanya Adren, dingin.

"Ya enggaklah, buat apa."

"Kalo gitu, boleh kan aku cemas? Aku khawatir kalau kenyataannya memang begitu. Aku senang kamu tenang, tapi kalau tenang berarti diam dan enggak ngelawan, sedangkan Bapak tiri kamu bisa melakukan apapun, aku enggak rela."

"Maaf, aku enggak berniat nambah beban pikiran kamu. Tapi kamu tenang aja. Aku enggak sepasrah yang kamu kira kok."

"Setelah kamu cerita, entah kenapa aku merasa punya tanggung jawab, Liz. Apalagi aku pacar kamu. Meskipun online."

"Iya, itu kenapa sebetulnya awalnya aku lebih nyaman dengan tetap jadi stranger tanpa hubungan apa-apa."

"Kamu nyesel ya, Liz?"

"Enggak gitu.. Aku senang sama kehadiran kamu, tapi kalau ternyata jadi pacar malah bikin kamu merasa punya tanggung jawab, aku jadi merasa bersalah. Harusnya ini cukup buatku aja."

"Aku enggak masalah punya tanggung jawab. Aku tulus mau nolong kamu, asal kamu kasih tau aku caranya." jelas Adren.

"Dre, mungkin terdengar gampang, tapi ini rumit, membayangkan kedepannya kalau aku bicara. Sebenarnya.. Aku enggak sepenuhnya membenci Bapak tiriku, Nerd. Dia membiayai Ibuku, aku dan adikku. Dia merawat kami, dia.. Disamping kelakuan brengs*knya kalau lagi kambuh, dia tetap seperti sebagaimana seorang ayah kok."

"Liz, enggak gitu dong!

Seorang manusia adalah manusia, tapi kalo dia mencuri, memperkosa, membunuh, dia melanggar hukum manusia! Dia kriminal! Bapak tiri kamu juga manusia, tapi setelah dia melecehkan kamu, dia kriminal! Terlalu mewah kamu sebut dia Ayah, padahal dia bukan Ayah biologis kamu! Dia cuma orang tua tiri yang memanfaatkan kamu buat kebutuhan biologisnya!"

"Maksud aku, peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah terpenuhi, Dren. Dan aku enggak mau menampikkan itu."

"Kalo bicara tanggung jawab seorang Ayah, justru harusnya dia memastikan hal tersebut enggak terjadi ke anaknya, bukannya malah membuat itu kejadian. Jadi stop berpikir kayak gitu! Enggak bisa gitu! Pokoknya enggak bisa!" Adren berargumen.

Liza tiba-tiba terdiam.

"Aku.. Aku enggak terima Liz, kalo kamu pasrah gitu aja.

Please, Liza.. Apa yang kamu takutin? Apa? Perceraian? Perceraian enggak seburuk yang kamu bayangkan kok! Aku buktinya. Justru itu menyudahi penderitaan yang disembunyikan, lho." Adren bicara dengan lebih tenang.

"Bukan itu Dre."

"Lalu apa? Khawatir sama Mama? Emang mau sampe kapan kamu menyembunyikan ini semua dari Mamamu? Mamamu enggak tau apa-apa saat ini, Liz. Dia masih berpikir semua berjalan sebagaimana mestinya. Padahal.. Anak gadis kesayangannya dilecehkan oleh seorang laki-laki yang dia pilih jadi suami! Apa kamu tega? Mau sampe kapan, Liz?"

"Sampe Tuhan memberikan jalan keluar."

"Mungkin akulah jalan keluar."

"Betul! Kamu memang malaikat penolongku kok.

Tapi tugasmu enggak sebesar itu.

Tugas-tugas kecil kayak memastikan aku ceria dan enggak kesepian, itu udah cukup buat kamu. Dan aku udah berterimakasih. Udah yaa.. Jangan cemas." Liza juga bicara pelan-pelan.

"Hhhh.." Adren melenguh.

"Liz.. Tau enggak?" Adren bicara lesu. "Ibuku katanya ada rencana menikah lagi. Aku dan Adik perempuanku, Dova, berarti bakal punya Bapak tiri. Dan mengingat-ingat cerita kamu aku jadi khawatir soal Dova. Aku jadi khawatir berlebihan." ungkap Adren.

"Jadi begitu.. Itu yang bikin kamu khawatir?

Dre, hal seperti yang aku alami gini enggak semua orang alami kok. Mungkin hanya satu banding seratus, Bapak tiri yang tega melakukan itu ke anak perempuannya."

"Dova adikku, udah duapuluh tahun. Dan cantik dia. Itu kenapa aku takut ketika dia harus sering bersinggungan atau satu rumah sama seorang laki-laki yang baru dia temui beberapa bulan aja. Dia orang asing. Enggak ada hubungan darah sama sekali. Dan kita tau, laki-laki tetaplah laki-laki, entah jadi Bapak tiri atau Sepupu tiri atau apapun!

Aku terus menerka-nerka apa kemungkinan yang seorang laki-laki parubaya pikirkan, ngeliat anak gadis seperti Dova, apalagi setelah dengar ceritamu. Memang terdengar lebay, tapi.. Entahlah. Semua terasa saling berhubungan. Aku takut kecemasan yang aku rasakan ini sebetulnya firasat buruk. Entah buat kamu, atau buat Dova."

"Hmm.. Ya, aku ngerti. Tanpa tau ceritaku pun masuk akal kalau kamu khawatir. Maaf kalau ceritaku memperburuk kekhawatiran kamu. Harusnya memang aku enggak pernah cerita. Tapi kamu terlanjur dengar."

"Enggak, Liz. Justru aku mau kamu cerita. Sama aku, sama siapapun yang kamu percaya bisa nolong kamu!"

"Aku masih belum butuh pertolongan, Dre. Waktu itupun aku merasa hanya butuh cerita."

"Tapi kan terlanjur. Aku udah dengar.

Jadi tolong dimaklum kalau..

Aku membayangkan ketemu Bapak tiri kamu, lalu menghajarnya sampai cacat, lalu aku ingin ketemu calon Bapak tiriku, buat ngasih tau bahwa dia akan mengalami hal yang sama kalau macem-macem sama Dova. Mungkin setelah itu, kelak aku bisa tenang." ujar Adren.

"Dre.. Nyebut..! Kalaupun aku butuh ditolong, enggak begitu caranya." kata Liza, singkat.

"Ya, Maaf."

"Dre, tidur gih. Istirahatin pikiran kamu. Semua akan baik-baik aja. Dova akan baik-baik aja bahkan aku akan baik-baik aja."

"How could you be this calm?"

"Kita kan pernah bahas soal berdamai dengan masalalu. Aku sedang berusaha berdamai, makanya aku bisa cerita."

"Emang kamu yang belum berdamai kayak gimana?"

Lihat selengkapnya