23.00
----Bar Setiabudhi----
"Teteh, saya pengen.. Nikola Tesla satu." kata Berry, ketika Waiters datang untuk mencatat pesanan. Berry adalah teman Reza, partnernya dalam mengelola aplikasi.
"Saya.. Stanley aja!" kata Reza.
"Hmm.. Steve Jobs itu apa ya Teh?" tanya Adren.
"Itu Apple Martini." jawab waiters.
"Oke, satu."
Waiters pun pergi ke bartender.
"Senang bisa ketemu lagi Bro!" Reza menyodorkan tinjunya ke Adren, mengajak fist bump. Adren menyambutnya, mereka beradu kepalan tangan.
Malam itu Adren dan Reza ketemuan di sebuah bar kecil di daerah Setiabudhi, milik salah satu teman Reza. Mereka nongkrong tertib mengenakan masker meski kadang diturunkan di dagu.
"Kenalin ini Berry, teknisi IT gue!" kata Reza.
"Halo Bro!" sapa Berry. Mereka juga bersalaman, tepatnya beradu sikut.
"Thanks buat waktunya ya, Mas." kata Adren.
"Santai.. Kebetulan gua baru kelar, abis ngawal lembur si Berry dan teman-temannya.
Dari kapan lo di Bandung, Dre?"
"Kemaren. Gue lagi ngerjain proyek tugas akhir."
"Mantap, anak semester akhir! Pantesan performa lo menurun, ternyata lagi skripsi, gue kira karna cewek. Haha.." canda Reza, mencoba mencairkan suasana.
"Emm.. Soal cewek ada benernya sih.." jawab adren, malu-malu. Tiba-tiba Adren menepuk jidatnya, "Ya ampun! Gue lagi siaran belum distop!"
Reza terlihat heran.
"Ha? Serius?"
"Ya, baru satu segmen. Tapi gue puter musik sih.. Wah kasian pendengar gue!"
"Hadeh.. Yaudahlah, sponsorship angus berarti. Tapi gue kira lo enggak akan terjerat masalah asmara gitu di aplikasi ini!" Reza melirik Berry sambil tertawa kecil, "Ada lagi Berr! Haha!"
"Emang kenapa gitu Mas?" tanya Adren, heran.
"Banyak yang tersandung asmara di aplikasi gue, Dre. Gue aja aneh, perasaan ini aplikasi radio streaming, kenapa malah kayak aplikasi kencan, Minder."
"Iya, banyak yang baper sama orang yang bahkan mereka enggak tau mukanya kayak apa? Real life nya kayak gimana? Jadi... Cuman berdasarkan dari suara doang! Banyak lho yang email ke admin kita dan minta info pribadi salah satu user kita. Itu kan privasi user ya kita enggak kasih lah!" sahut Berry.
"Itu kekuatan audio enggak sih?" sahut Adren.
"Bener, Dre! Tapi aneh aja, motif orang buat main aplikasi gue udah agak melenceng." jelas Reza lagi. "Yaudahlah cocok kalo emang lagi galau, kita minum-minum dikit."
"Iya, biasa lah ada drama-drama di aplikasi mah." timpal Berry.
"Ini.. Ini tuh masalahnya beda." Adren gelisah, bingung untuk bercerita.
"Eh iya, bukan maksudnya bilang bahwa lo double standard atau gimana ya, Dre! Sorry! Jangan salah paham! Gue mah tau kok motivasi lo main app gue emang passion dan buat cari uang. Tapi kalo lo ternyata terjerat kasus asmara mah gue paham. Wajar kok." jawab Reza.
"Tapi serius gue bukan mau sekedar curhat, Mas. Gue beneran mau minta tolong."
Reza dan Berry saling lirik.
"Minta tolong apa? Kalo soal privasi kita enggak bisa bantu. Sorry.." kata Reza.
"Gue jelasin dulu deh..
Gue ketemu cewek.
Dia.. Dia korban pelecehan dan kekerasan seksual."
Reza dan Berry sontak menatap Adren dengan seksama.
"Pelecehan?" tanya Reza, merengut matanya.
"Jadi.. Ini cewek sering masuk room siaran gue, bahkan masuk top five pendengar setia gue."
"Lo bisa tau ceritanya dari???"
"Dia yang cerita sendiri, dan mengaku hanya cerita sama gue. Harusnya juga gue enggak cerita sama siapapun, karena itu ngelanggar janji gue sama dia."
"Lo yakin itu cerita asli?" tanya Berry.
"Enggak tau, tapi sangat meyakinkan."
"Banyak scammer di aplikasi, Dren. Lo jangan langsung percaya." sahut Reza.
Pembicaraan terpotong sebentar karena si Teteh waiters datang mengantarkan pesanan.
"Emm.. Teh, rambah French Fries ukuran buat bertiga!" Reza menambah pesanan. Si Teteh waiters pun pergi lagi.
"Sampe mana tadi?" tanya Reza.
"Scammer." jawab Berry.
"Oh, iya, banyak penipu di aplikasi, Dre. Orang-orang manipulatif."
"Kayaknya enggak. Gue kenal dia. Seperti yang gue bilang, gue terlibat masalah percintaan dengan dia. Kami pacaran, tapi hanya pacar online. Yes, it is lame! Tapi kami saling jatuh cinta. Tadinya gue pikir dimulai dari langkah ini gue bisa dapet kepercayaan lebih dari dia, kepercayaan untuk dapetin info pribadinya, sosmednya, alamat rumahnya, lalu datang menyelamatkan dia. Tapi, kayaknya gue kurang sabar. Gue terbakar emosi dan cemburu setelah denger suara Bapak tirinya."
"Hmm? Kok cemburu sama Bapak tirinya?" tanya Reza. Ia berpikir, berspekulasi. Keadaan hening beberapa detik.
"Ooh Sh***ttt!!! Maksudnya, pelakunya Bapak tirinya sendiri?!" Reza terkejut, heboh, baru menangkap maksud Adren.
Adren menjentikkan jari.
"Itu dia!!! Bapak tirinya, baj*ngan ini yang melecehkan dia, dan mereka masih tinggal satu rumah!" ungkap Adren. "Kemarin gue dengar Bapak tiri sial itu masuk ke kamarnya waktu kami lagi telfonan, lalu dari situ telfon mati dan dia enggak ada kabar seharian. Gue khawatir sejadi-jadinya. Lalu akhirnya tadi kami cekcok karena itu. Karena gue marah sebab dia menyepelekan kekhawatiran gue. Lalu dia ngilang lagi."
Reza dan Berry speechless. Saling bertatapan satu sama lain.
"Lo baru balik ke Radiocraft, udah dapet masalah lagi aja, Dre."
"Tapi kembali lagi, dia bisa aja cuma scammer. Ini aplikasi audio, gampang buat ngebodohin orang." sahut Berry.
"Tapi apa motifnya ngescam dengan bilang bahwa dia korban pelecehan?"
"Fame, sympathy, attention, esteem." Berry meminum minumannya.
"Tapi dia bener-bener bukan orang yang populer di Radiocraft, Mas. Suaranya bagus, tapi enggak pernah berani nyanyi di siarannya sendiri. Kalo dia siaran, di roomnya cuma ada lima orang. Dia cuma nyetel playlist pengantar tidur. Sengaja katanya, enggak mau roomnya ramai. Dan dia juga enggak pernah speak up soal ini di room gue, padahal dia user yang deket sama gue, dan room gue top two. Sangat mudah untuk bisa didengar banyak orang, tapi dia cuma cerita sama gue." jelas Adren.
"Lo pernah tukeran info pribadi enggak sama dia? Mungkin nama aslinya, atau social medianya?"
"Cuma email yang dia pake buat bikin akun RC dan Google Hangout tempat kami kontekan. Selebihnya, dia sangat amat menutup diri. Info lain yang dia kasih ke gue adalah ciri-ciri mukanya, tahi lalat di pipi kiri, mata coklat, kulit sawo matang dan badan berisi. Itu pun belum tau, bener apa enggak." Adren membuka HP-nya, ingin menunjukkan pada Reza dan Berry soal gambar imajinasinya, tapi ia berubah pikiran dan mengurungkan niat. Tidak semua orang akan mengerti, pikirnya.
"Cantik enggak katanya?" Reza penasaran, menyeringai. Aren menatapnya. Reza pun segan.
"Okay, bagaimanapun bentuknya. The point is, you're into her." sahut Reza untuk pertanyaannya sendiri.