You Sound Awesome!

Jonem
Chapter #24

Ada Udang Di Balik Batu

Jam 01.20

Adren masuk kamar pelan-pelan, berjalan agak jinjit berusaha tidak bersuara. Ia berniat mengambil sweater dan tidur d sofa ruang tengah. Ia mengambil sweater dari dalam tasnya, sambil berjongkok di sudut ruangan, lalu segera berjalan keluar kamar, sambil memakai sweaternya. Tiba-tiba terdengar suara Eren,

"Pacaran Online?"

"Hemmph! Apaan?" Adren terkejut, sambil berusaha mengeluarkan kepalanya dari lubang sweater.

"Denger kok gue! Gue enggak tidur kali! Bahkan barusan lo masuk jinjit-jinjit juga gue masih melek!"

Adren berniat keluar kamar meninggalkan Eren.

"Lupakan! Lo salah denger!" kata Adren dingin sambil melangkah.

"Gue denger obrolan lo sama teman-teman online lo barusan! Sorry." kata Eren. Adren langsung berhenti dan menoleh lagi. Eren berpindah posisi. Ia kini duduk di sisi kasur, menghadap jendela, memunggungi Adren.

"Sorry gue sering emosi.. Sorry harusnya gue tau kalo lo lagi punya masalah juga. Harusnya gue tau ketika liat lo mabok waktu itu."

"Oh jadi lo yang jemput gue waktu gue mabok?" tanya Adren. Ia tidak bisa melihat raut Eren.

"Ya, temen lo di bar nelfon gue. Sorry juga gue ninggalin lo di mobil, soalnya Bokapnya Mona masih bangun, enggak enak kalo liat lo mabok."

Adren meredam egonya.

"Huhh.. Thanks kalo gitu, Ren. Untung ada lo."

"Fine. Lagipula gue juga ngerasa bersalah karena enggak bisa ngendaliin emosi." Eren menunduk.

Adren terdiam, canggung. Ia pun membuka diri untuk damai.

"Kalo soal kejadian di kafe.. It's okay. Gue ngerti kok, pressure mahasiswa semester akhir. Maaf juga kalo.. Gue enggak fokus ngerjain TA-nya."

"Enggak, gue emosi karena cemburu." sahut Eren.

"Heh?" Adren mengerutkan kening. "Cemburu maksudnya?"

"Gue.. Gue naksir Mona, Dre." ungkap Eren. Adren tercengang.

Eren naksir Mona!? tanyanya dalam hati. Benarlah kini dua orang laki-laki yang sedang patah hati berbicara satu sama lain dengan suara sama lesu dan suasana sendu dalam hati mereka masing-masing.

"Ya ampun.. Ren, karena itu lo marah-marah sama gue di kafe?"

"Ya.. Akumulasi dari panasnya perasaan gue tiap kali liat lo sama Mona."

"Haduhh... Sorry gue enggak tau, Ren! Sejak kapan!? Lo pasti baru-baru ini kan naksir Mona? Sebelum TA kayaknya? Soalnya gue sama Mona dari dulu sedekat ini! Gimana bisa lo cemburu sedangkan lo tau gue sama Mona cuma.."

"Enggak. Udah dari lama." potong Eren. "Udah lama, Dre. Tapi dulu gue kira lo sama Mona itu pacaran atau... lo suka sama Mona."

"Enggak ada apa-apa diantara kami kok Ren. Udah santai aja. Lagian sekarang kan lo tau gue punya pacar, meskipun online." Adren malu.

"Tapi lo masa enggak pernah suka sedikitpun sama Mona?"

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Jawab aja. Cuma pengen tau kok."

"Jujur ya.. Ya gue pernah suka Mona, tapi itu duluuuu banget, waktu dia belum populer di kampus kayak sekarang dan.. itu waktu gue masih punya pacar." ungkap Adren.

"Oh ya? Ketika lo putus sama mantan lo, kenapa lo enggak pernah jadian sama Mona?" tanya Eren lagi.

"Karena.. Pas gue putus sama mantan gue, Mona yang gue suka udah berubah. Jadi perasaan suka itu ilang dengan sendirinya dan kami cuma berteman. Lagian makin dewasa gue makin realistis soal perbedaan keyakinan, dan belum tentu Mona suka sama gue, Ren. Pokoknya gue sama Mona cuma bersahabat. Udah." jelas Adren dengan tenang.

"Emang bisa perasaan lo ilang sama Mona? Biasanya perasaan hilang karena bosen, atau ilfil." Eren masih penasaran.

"Atau.. Udah terlalu dekat sampe enggak kepikiran lagi untuk suka satu sama lain." sambung Adren.

"Susah untuk gue percaya itu, Dre. Lo pernah suka sama Mona, dan Mona sekarang semakin cantik, apa iya?" Eren sangsi.

"Lo pasti termakan stigma, cewek sama cowok enggak mungkin sahabatan tanpa nyimpen rasa, ya?" tanya Adren. "Enggak, Ren. Sumpah! Gue suka Mona yang dulu.. Sebelum jadi glowing, sebelum populer jadi selebgram Sukabumi dan masih gemuk. Hehe.."

"Jadi lo enggak pacaran sama Mona karena lo terlalu deket sama dia, karena perbedaan agama, atau karena lo ilfil dia jadi komersil?"

"Ya pokoknya akumulasi dari semuanya.."

"Hmm.. Lo suka sama orang yang jadi korban pelecehan, lalu lo suka sama Mona yang suram dan masih dibully kayak dulu, lo ini kenapa?" potong Eren.

"Eh bentar.. Kok lo ngejudge gue berdasarkan cewek yang gue suka? Apaan sih Ren! Haha.." Adren tertawa, menyangka Eren bercanda.

"Serius gue nanya. Kenapa lo kayak gitu, Dre? Hmm..?" Eren menolehkan kepala sebentar.

"Kenapa Dre? Supaya orang bilang bahwa lo mencintai dengan tulus tanpa mandang fisik dan golongan?" Eren malah menyindir Adren.

"Emm.. Ren, lo sebenernya mau ngajak damai apa enggak nih?" Adren mulai gusar. Ia tersenyum canggung.

"Secara pertemanan we're fine. Tapi.. Gue harus mengakui bahwa keberadaan lo mengganggu, Dre. Kalo lo emang enggak mau macarin Mona, bisa enggak lo sedikit jaga jarak?"

"Haha.. Ya gue tau diri kok, Ren. Tanya aja Mona! Gue enggak pernah ngusik Mona deket sama siapapun atau ganggu dia pacaran. Kalo lo emang mau macarin Mona, silakan!" Adren mencoba membuat Eren mengerti.

"Lo bilang gitu karena lo tau, siapapun yang Mona pacarin, pada akhirnya Mona akan selalu nyari lo, kan? Lo tau enggak akan ada yang bisa gantiin posisi lo, Dre.

Yang gue baca adalah, lo sebenernya masih suka sama Mona, tapi lo terlalu takut menerjang kesenjangan yang ada. Kalo lo emang suka, entah sama Mona yang dulu atau sekarang, kenapa enggak coba aja? Tembak dong! Kalo gagal, tinggal pergi!

Dont stay around the door way and do nothing! You are blocking the traffic!

Jangan jadi pengecut dan berlindung dibalik predikat sahabat, Dre! Lo kayaknya minder ya karena sekarang Mona cantik? Kayaknya lo tipe yang suka sama orang yang di society kastanya lebih rendah dari lo, sehingga lo bisa jadi pangeran berkuda dan penyelamat mereka! Gitu?" Eren mengkonfrontasi Adren. Adren masih diam, dengan perasaan terusik.

Adren menggelengkan kepala pelan-pelan. "Setelah denger kata-kata lo, gue rasa.. Lo enggak pantes buat Mona, tau nggak?!" kata Adren.

"Kenapa?"

"Karena dengan ngomong gitu, lo nganggap gue rendah. Dan lebih parah lagi, lo nganggap orang yang dilecehkan secara pergaulan, fisik dan seksual, lebih rendah dari seorang gue yang udah lo anggap rendah."

"No! Maksud gue enggak gitu kok!" Eren berbalik. Matanya tajam, membela diri.

"Lha? Itu yang barusan baru lo omongin kok! Gue yakin lo adalah salah satu orang yang ketawa ketika Mona muntah dulu waktu ospek! Lo bilang lo suka Mona dari lama, waktu Mona dibully dan dikatain, lo kemana Ren!?"

"Ya karena gue belum kenal Mona jadi gue enggak ada di samping dia!"

"Prodi kita sebelahan Ren! Lo liat Mona setiap hari kok, tapi lo enggak noleh. Kenapa? Karena waktu itu dia gelap? Enggak bersinar kayak sekarang? Terus lo jadi enggak ngeliat, gitu?"

"Tepatnya, waktu itu gue masih punya pacar, Dre!"

"Gue juga Ren! Tapi gue ada di samping Mona sebagai temen! Dan sekarang lo cemburu sama gue?! Ya ampun.. Siapa lo dan berapa lama lo kenal Mona, sampe lo merasa berhak cemburu sama gue?"

Adren memakai penutup kepala dari sweaternya.

"Jadi jangan pernah lo ngejudge gue berdasarkan cewek yang gue suka! Lo aja naksir Mona pas dia udah bersinar! What are you gold digger, hah?!" balas Adren.

"Eh Dre! Dari dulu gue netral! Lo boleh tanya siapapun di kampus, apa gue pernah ngomong yang jelek-jelek soal Mona atau menertawakan dia waktu dulu dia belum seperti sekarang?" sahut Eren balik.

"Gue enggak punya waktu buat survey semua orang, Ren. Gue juga mesti ngurusin persoalan gue! Lo tanya aja diri lo sendiri, waktu temen-temen nempelin merk aneh di jidat Mona, lo percaya label yang mereka kasih enggak?

Hmm.. Jangan-jangan lo macarin Mona cuma buat naikin harga diri lo?"

"Maksud lo apa?" Eren tidak terima.

"Ya banyak yang bisa lo taksir, kenapa ujuk-ujuk naksir Mona?"

"Lho! Namanya juga rasa! Kok lo ngatur?!" Eren sewot.

Lihat selengkapnya