You Sound Awesome!

Jonem
Chapter #26

FTV: Tugas Akhirku Ternyata Intuisiku

14 Januari 2021

Jam 21.00 Malam

----Kamar Adren----

Malam sejuk di kamar Adren. Ia membuka jendela, membiarkan angin malam dan 3 atau 4 ekor nyamuk berkunjung. Adren sedang menyempurnakan gambar Liza di laptopnya, memoles matanya dengan warna coklat dan mengukir tahi lalat kecil di pipinya, di gambaran imajinasinya, sesuai yang Liza beritahu. Smartphonenya di sisi kiri Laptop tergeletak, sesekali ia lirik penuh harapan. Notifikasi Radiocraftnya ia nonaktifkan, supaya tidak terganggu oleh notifikasi berisi pertanyaan-pertanyaan pendengarnya, tentang mengapa sudah dua hari Adren tidak siaran. Pikirannya masih dipenuhi rasa galau soal Liza. Rasa galau itu, rasa galau yang sudah lama tidak ia rasakan sejak hubungan percintaan terakhirnya.

Liza menghilang kabarnya, dan kali ini seakan benar-benar pergi tidak akan kembali. Senyap-senyap lagu Love So Right milik the Beegees berputar lewat speaker di lampu smartlednya di langit-langit kamar, sekaligus memancarkan warna favoritnya, hijau tosca yang di setting redup.

Where did she go, when I need her close to me?

And the perfect story ended at the start

I thought you came forever and you came to break my heart

Now I'm hanging on, on the chance that you'll come back to me

How a love so right, can turn out to be so wrong, oh my darling?

How a love so right, can turn out to be so wrong, oh my darling?...

Drrrt.... Drrrtt....

Smartphone Adren bergetar. Adren langsung menoleh, rupanya ada chat Whatsapp masuk dari Berry, di atas chat-chat tak terbaca dari grup kelompok tugas akhirnya, yang berdiskusi soal bimbingan besok. Tentu Adren hanya peduli dengan chat dari Berry, yang berjanji akan membantunya soal Liza. Jika lupa, Berry adalah teknisi IT aplikasi Radiocraft, teman Reza yang ia temui di bar.

Berry: Dre?

Adren membalas segera,

Adren: Ya Mas Berry? Gmn?? Ada kabar?

Berry: Dia hapus akun Radiocraftnya euy! Kayaknya dia emang enggak mau berurusan lagi sama lo.

Adren lesu, dia sudah tahu kalau itu.

Adren: Gk ada kabar baru, Mas?

Berry: Blm Dre, cuma itu. Dia msih g ada kbr?

Adren: blm ada kbr smpe skrg, Mas.

Berry: Ydh nnti gw pantau lg Dre.

Adren: Ok Mas, tolong bgt ya

Berry: Y Dre, catch u latter.

Adren membuka Google Hangoutnya, melihat lagi chat dengan Liza. Banyak chat-chat Adren yang tidak terbalas, bahkan tidak terbaca. Adren membuka foto profil Liza, gambar yang sama seperti yang Liza pakai di akun Radiocraftnya. Gambar perempuan bersayap, jika dilihat sembarang. Jika diklik dan diperbesar, sayap perempuan itu adalah tangan manusia. Yang Adren tangkap dari maksud gambar itu, seperti perlindungan sekaligus pengekangan di saat yang bersamaan. Besar sayap yang seukuran badan gadis itu juga mengambarkan bagaimana kedua sayap berbentuk tangan itu bisa menjaga maupun menyakiti pemiliknya sendiri.

"Tangan.. Alat peraba.. Sentuhan.." gumam Adren.

Adren: Liza? Apa kamu udh enggak mau knal denganku lg?

Adren mengetik pesan tersebut, lalu mengirimnya, meski agaknya ia merasa itu takkan dibalas. Adren mencoba sedikit berdamai dengan situasi, pasrah menikmati kegalauannya, sambil lanjut memberi sentuhan-sentuhan akhir di gambarnya, untuk pemanis.

Malam itu Adren menyelesaikan gambarnya. Cantik orang di dalamnya, cantik juga designnya. Penuh warna, bernuansa klasik ceria. Ia menatap gambar itu, gambar Liza, kekasih dunia mayanya, yang dengan perasaannya ia imajinasikan, lengkap dengan sedikit panduan Liza sendiri, perihal coklat warna matnya, dan manis tahi lalat di pipi gemuknya.

Adren menaruh drawing pen nya di atas drawing tablet. Ia merasai gambar itu, sambil tangannya merayap memeluk mouse. Ia putar rekaman suara Liza, ketika ia bernyanyi tempo hari.

Suara Liza terdengar lewat speaker laptopnya. Adren membayangkan gambar buatannya itu bernyanyi untuknya.

.

.

.

.

15 Januari 2021

Jam 13.00 Siang

----Kampus----

Keesokan harinya. Adren baru sampai kampus. Ia berjalan sambil menengok kanan-kiri, cara berjalannya khas seperti orang paranoid. Adren melihat Mona di koridor kampus, berdiri sambil main HP di depan ruang Patas(Pak Muntas), dosen pembimbing mereka. Adren menghampiri. Mereka janjian untuk ke kampus dan mempresentasikan hasil terakhir pengerjaan karya tugas akhir mereka.

"Hey.." sapa Adren sambil melirik ke Mona. Mona terlihat dingin, tidak gembira seperti biasanya menanggapi kehadiran Adren.

"Belum masuk Mon?" tanya Adren, basa-basi.

Mona menggelengkan kepala, tidak menoleh sama sekali. Adren menyerah, tidak mencoba melakukan apa-apa pada Mona. Ia hanya duduk di lantai, menyibukkan diri dengan HP-nya.

Tak lama Eren keluar dari ruangan Patas, sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas.

"Giliran lo Mon!" kata Eren dengan raut ramah, sebelum akhirnya ia melihat Adren duduk di lantai dan ekspresinya berubah jadi ketus.

"Gimana?" tanya Adren pada Eren.

"Beres lah! Tinggal punya lo." jawab Eren dengan jumawanya. Eren berdiri di tempat Mona tadi tanpa bicara apa-apa, seolah tidak mengenal Adren dan mereka tidak di kelompok yang sama. Adren dan Eren kini hanya berdua di koridor, karena Mona sudah masuk ruangan Patas.

Keadaan hening, canggung, se-canggung saat dia hanya berdua dengan Mona tadi. Eren juga menggunakan cara yang sama, pura-pura sibuk dengan HP-nya, mengabaikan Adren. Adren kini yang merasa seperti orang dari luar, di kelompoknya tugas akhirnya sendiri. Hari ini Mona dan Eren mengacuhkannya. Sudah jelas sebabnya apa, karena keduanya punya problematika perasaan yang sama-sama berkaitan dengan Adren, dimana satu sama lainnya adalah rahasia yang dipegang masing-masing. Masalah ini tidak se-sederhana cinta segitiga, bahkan arah dan tujuannya pun belum jelas kemana.

"Giliran lo." Mona membuyarkan lamunan Adren. Mona keluar dari ruangan Patas agak cepat, sebab karyanya sudah selesai dan diapprove. Ia terlihat berusaha memasukkan kertas absensi bimbingan ke adalam tasnya.

"Oh.. Oke." Adren berdiri.

Adren menatap Mona yang hari itu terasa seperti bukan sahabatnya lagi, sambil tangannya menahan pintu ruangan Patas.

"Ayo masuk! Pintunya jangan dipelongoin AC-nya jadi enggak dingin!" kata Patas dari dalam ruangan. Adren pun masuk, jalan sambil menunduk-nunduk agar terlihat sopan.

"Punten Pak.." kata Adren, tersenyum sungkan.

"Mana karyanya? Buruan saya buru-buru nih, ada urusan."

"Hmm.. Karyanya, masih.. Gimana ya Pak.."

"Ya gimana? Kok nanya saya? Ada enggak karyanya? Masih belum nemu, jangan-jangan? Ya ampun.. Itu temen-temenmu aja udah kok! Mereka udah pada santai tuh tinggal nunggu karya kamu aja!" omel Patas.

Adren menunduk, diam.

"Jadi belum ada karyanya?" tanya Patas lagi.

Adren pun mengeluarkan laptopnya di dalam tas. Ia taruh laptop di meja Patas, lalu ia membuka gambar Liza yang semalam ia selesaikan.

Adren memutar laptopnya 90 derajat supaya baik dirinya dan Patas bisa melihat ke layar.

"Sebetulnya idenya udah ada, dan sedang dikerjakan, tapi terhambat Pak."

"Apa ini? Cuma gambar digital art muka perempuan biasa!" Patas mengomentari gambar Adren.

"Niatnya, karya saya tidak ngejar kelebihan di produknya Pak, tapi di idenya."

"Gimana? Jelasin atuh kamu teh!" Patas mengerutkan kening sambil menatap Adren, ragu.

"Jadi.. Saya kan penyiar radio Pak, dulu."

"Radio apa?"

Lihat selengkapnya