17 Februari 2021
Jam 15.00 Siang
----Rumah Mama, Jakarta----
Dova pulang dari kampus, siang itu. Ia memarkir mobil depan rumah. Dova jalan masuk gerbang, menuju pintu rumah. Ia mengetuk pintu.
Duk..Duk..Duk..!
"Kak..!
Kak Adren?
Kak..????!
Hmm.. Kebiasaan!"
Dova membuka HP-nya, seperti biasa ia harus menelfon Adren yang tidak kunjung membuka pintu untuknya.
Tuuut..
Tuuut..
Adren mengangkat telfon Dova.
"Kak! Bukain pintu ih....!" Dova terlihat kesal. Ia terdiam dengan muka cemberut, tapi rautnya tidak bertahan lama.
"Emang.. Lo?" Dova seperti terkejut mendengar Kakaknya bicara di telfon.
.
.
.
.
1 Jam yang lalu.
Adren berdiri di samping mobil Almarhum Papanya. Hanya berdiri, mematung menatap gagang pintu untuk beberapa saat, hingga perlahan tangannya bergerak masuk ke saku celana, meraih HP-nya. Ia membuka whatsapp Berry lagi, yang berisi info tentang Liza.
Ia melihat alamat rumah Liza, lalu mencopynya ke Google Map. Ia mendapatkan ternyata lokasi itu hanya sekitar dua jam dari tempatnya. Cukup dekat.
Tapi, Adren masih ragu. Ia takut. Sebagian kecil dalam dirinya ingin melupakannya dan melanjutkan hidup begitu saja, tapi tekanan yang ia rasakan terasa begitu berat, menyerang alam sadar maupun bawah sadarnya.
Gue mungkin hanya berurusan sama orang aneh..
Atau..
Mungkin gue sudah membunuh orang itu dengan mulut gue?
Mulut orang rasanya lebih parah dari gue, tapi..
Apa benar gue sejahat itu?
Adren bertanya-tanya dalam benaknya, sambil menatap bayangannya sendiri di kaca mobil.
Hanya ada satu cara untuk tau.
Adren pun membuka pintu mobilnya. Ia masuk, lalu meyakinkan diri untuk berangkat, berempat, ditemani si rasa bersalah di yang duduk di sebelahnya, dan si rasa takut dan cemas yang duduk di belakang, yang ribut mengomporinya, saut-sautan dengan suara mesin Nissan X-Trail tua bekas Papanya itu.
Ia berangkat. Tidak ngebut, tidak pelan, dengan sengaja mematahkan estimasi waktu yang diberitahukan Mbah Google. Buatnya, tugas si Peta Internet itu hanya memberitahu lokasi, bukan memberitahu kapan harus sampai. Adren tidak tahu dan tidak mau tahu kapan dia sampai tujuan. Jika bisa memilih, ia bahkan akan memilih untuk tidak pernah sampai, alias tidak menemukan tempat itu, alias tempat itu tidak pernah ada,
alias Liza hanyalah fiksi.
.
.
.
Jam 15.00
Di Perjalanan.
Jalanan ramai, sebab orang-orang mulai pulang dari kantor. Adren masuk pom bensin di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan ngantri karena lumayan padat. Cuaca agak mendung hari itu, memberikan kesan kelabu yang membuat Adren merasa sedang berada dalam sebuah scene di film misteri. Pikirannya berputar disitu-situ saja, tentang itu-itu saja. Ia takut, membayangkan apa yang akan ia temui, Ia belum pernah ke tempat itu sebelumnya, tidak tau tempat seperti apa, yang jelas hatinya tidak tenang.
Drrrrt.. Handphonenya tiba-tiba bergetar, memaksanya kembali berbaur dengan dunia nyata. Dova menelfon. Ia mengangkatnya.
"Halo?"
"Kak! Bukain pintu ih....!" Dova terdengar kesal.
"Oh.. Kuncinya ada di pot bunga sebelah kiri lo." jawab Adren dengan tenang.
"Emang.. Lo...?" Dova terdiam sejenak, seakan mencoba menerka. "Lo lagi di jalan ya? Kemana?" tanyanya.
"Nyelesaiin masalah gue dulu, Dov. Titip motor. Gue pake mobil Papa." jawab Adren.
"Ih! Lo gila! Kenapa sendirian?! Kenapa enggak ngajak gue!?" Dova heboh, terdengar khawatir.
"Enggak apa-apa. Biar cepet."
"Tapi Teh Mona nyuruh gue nemenin lo, kemanapun! Kenapa enggak tunggu gue dulu!"
"Udah santai aja. Doain De. Udah dulu ya, gue lagi di pom bensin. Bye.."
Adren menutup telfon, tidak ingin berdebat dengan adiknya.
Ia terdiam, melirik ke kanan dan kiri, merasai suasana jalanan. Ia membuka kaca mobilnya tanpa khawatir mobilnya disambangi virus. Ia ingin sendiri, tapi tidak ingin merasa sendirian. Satu hal yang membuat dia tidak gentar adalah mengetahui bahwa ia masih dikelilingi orang-orang yang ia lihat jalanan. Manusia-manusia yang masif menyebar mengadu nasibnya masing-masing di dunia nyata dan nampak di matanya.
Tiiiiiiiiiiin!
Tiba-tiba suara mobil di belakang Adren mengklakson. Perhatian Adren buyar. Tadi, sebuah mobil menyalip antrian di depan Adren karena Adren tidak kunjung maju. Pengguna mobil di belakang Adren marah. Ia laki-laki botak berwajah seram, tidak pakai masker turun dari mobil. Adren mengambil masker sambil menyaksikan orang itu berjalan mendekat membawa kemarahan, melalui spionnya. Ia ke samping pintu Adren. Adren mengeluarkan sedikit kepalanya.
"Maju gobl*k! gimana sih! Itu orang enggak antri langsung ngisi bensin gara-gara lo!" dia membentak-bentak Adren.
Mata Adren berkedip-kedip kecil, saking kencangnya suara laki-laki itu menghujaninya dengan umpatan. Adren tersenyum tipis,
"Oh iya.. Maaf. Bapak maju duluan habis ini, supaya enggak rugi. Saya setelah Bapak." kata Adren ramah, seramah kota Jakarta hari itu.
"Yaudah mundur lo!" sentak laki-laki itu lagi. Ia kembali ke mobilnya. Adren memasukkan gigi mundur, lalu laki-laki itu maju, mereka bertukar tempat. Laki-laki itu kini giliran mengisi bensin, turun lagi dari mobilnya, petantang-petenteng menatap Adren dengan tatapan buas, masih berlagak gagah, merasa bangga telah mengomeli Adren. Adren hanya menatapnya sambil tersenyum.