-------------------------------------------Seminggu Kemudian-------------------------------------------
"Jadi.. sampe sini aja Dre?"
Pak Jaja menatap Adren. Hari ini hari terakhir Adren men-training penyiar baru, penggantinya.
"Ya, mereka udah sama-sama siap kok, Pak."
"Saya yang belum siap, Dre."
"Yailah si Bapak, saya nanti juga sering-sering kemari kok."
Suasana agak sedikit haru, mengingat sore itu adalah sore terakhir Adren di Radio Sirih FM. Adren sedang berpamitan dengan Pak Jaja, yang sudah bekerja dan membimbingnya selama setahun lebih selama bekerja di radio itu.
"Kamu masih bagian dari radio ini kok Dre, kalo kangen radio ini, kangen siaran, kangen suasana di kantor, kemari aja, nanti Bapak urus."
"Wah, Bapak baik banget.. Makasih Pak!"
"Kamu udah saya anggap anak sendiri Dre!"Pak Jaja menatap Adren.
"Ya ampun, segitunya ya Pak? Anak Bapak kan banyak, ada lima."
"Iya tapi cuma kamu yang enggak minta duit Dre." Pak Jaja menepuk-nepuk pundakAdren. Adren tertawa.
"Yaudah.. Minta duit Pak, buat ongkos bensin!" canda Adren.
"Ah pergi sana, saya tidak kenal kamu anak muda!" balas Pak Jaja.
Mereka tertawa bersama, lalu bersalaman untuk terakhir kalinya.
Dari sekian banyak penyiar yang pernah dan sedang bekerja di radio tersebut, Adren adalah orang yang cukup dekat dengan Pak Jaja, mungkin karena Adren punya masalah di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Ketika remaja sebaya Adren pulang ke rumah, bicara dengan orangtua mereka masing-masing, Adren menetap di kantor lebih lama dan Pak Jaja selalu jadi partnernya dalam bertukar pikiran.
"Sehat-sehat Pak!"
"Cepat lulus dan sukses Dre! Semoga jadi pelukis pasir terkenal!" kata Pak Jaja.
"Ameeen..!" Adren melangkah ke motornya.
"Pulang Pak! Assalamualikum!"
Adren berencana pulang ke rumah, membawa segala keberaniannya untuk meminta bapaknya membayar hutang pada keluarga Nuril. Mungkin kali ini dengan lebih keras dan sedikit paksaan, bahkan jika taruhannya dia tidak akan pulang ke rumah dan bertemu bapaknya lagi. Ia memacu motornya yang berisik itu melewati jalanan kota, sambil harap-harap cemas tidak mogok di jalan.
----------------------------------------------Di Rumah------------------------------------------------
Adren berhenti depan rumah, mendapati garasi kosong tanpa mobil ayahnya, dan gelap. Semua penerangan di rumahnya mati seperti tidak berpenghuni. Adren pun memasukkan motornya dan menyalakan lampu garasi. Ia masuk dengan kunci yang ia punya sendiri, dan menyalakan semua lampu. Ia berjalan pelan mengelilingi isi rumah, memastikan memang tidak ada siapapun. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mengambil sertifikat rumah di kamar ayahnya. Di atas lemari, ada sebuah koper yang ia ingat sering digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen. Adren bahkan ingat sampai ke nomor kuncinya.
"0-0-0-0, 0-0-0-0.."
Koper terbuka. Tidak ada map berisi dokumen dan arsip yang luput dari pemeriksaannya, tapi entah kenapa ia tidak menemukan apa yang ia cari. Dengan agak geram ia pun menutup dan menaruh koper di tempat semula, seolah tidak pernah kesana malam itu.
Adren naik ke kamarnya. Dipikulnya tas soren dan perasaan yang rumit, memijak tiap anak tangga dengan gontai. Di kamar, ia banting lagi tubuhnya di kasur empuk yang jarang ia temui itu. Di bawah lampu smart bulb kini yang ia setel menjadi warna biru. Ia hubungkan musik dari handphonenya ke speaker yang tertanam di lampu dan memainkan lagu reggae klasik berjudul Life milik Bob Andy pelan-pelan. Ia rebahan, dengan handphone di dadanya, dengan satu tangan di atas dahi, mencoba membaurkan pikirannya yang gaduh, dengan senyap-senyap musik yang damai itu.
"If everything in life was right..
Then we would never have to fight..
So if we never used the brain..
Then only carcass would remain..
If man had never used his hands..
Then he could never understand..
The joys of making this and that..
Like winning money from the slot.."
Tiba-tiba handphone Adren bergetar. Ia menebak-nebak dalam hati sebelum mengangkatnya, namun nomornya tidak bernama.
"Nomor siapa ini.."
Adren pun mengangkat telfon, dan ia berdiam, sampai si penelfon bicara duluan.
"Halo?" kata si penelfon, suara laki-laki yang tidak Adren kenal.
"Ya?"
"Halo selamat malam!"
"Ya, Halo..?"
"Ini betul nomornya Ad..re.., Eh.. Adren? Adren Suwarno?"
"Ini siapa ya?"
"Ini Reza."
"Reza?" Adren mengingat-ingat. Ada beberapa Reza yang ia kenal salam hidupnya. Dia tidak tahu pasti itu Reza yang mana.
"Reza mana ya? Tau nomor ini dari mana?" tanya Adren.
"Ini Reza yang Note FM! Saya dapet nomer kamu dari CV kamu di lamaran kemarin!"
"Ohh.." sontak Adren bangun dan duduk di sisi kasur.
"Inget saya kan? Saya yang seleksi kamu kemarin waktu test tiga menit." kata Reza.